Liam berjalan santai menuju kelas Sheila dengan mengabaikan segala tatapan penasaran yang tertuju kepadanya. Andreas dan Christian sudah terlebih dahulu menuju kantin, Liam tidak ingin membuat kedua sahabatnya harus menyaksikan permainannya kepada Sheila. Untuk sementara, biarlah hanya Liam yang mengetahui hal-hal apa yang akan dia lakukan untuk gadisnya.
Liam mengerutkan keningnya bingung saat tidak mendapati Sheila didalam kelasnya, hanya ada dua orang perempuan berkacamata tebal duduk dikursi paling depan sambil membaca buku. Tiba-tiba Liam merasakan sesuatu yang tidak beres, dengan langkah lebar Liam masuk kedalam kelas Sheila dan memukul meja yang ditempati kedua siswi berkacamata tadi.
Keduanya terpelonjak kaget, Liam tidak perduli dengan reaksi kedua siswi itu, yang ada dipikirannya hanyalah keberadaan Sheila. "Kalian lihat Sheila dimana?" tanya Liam dengan sorot mata tajam.
Didalam ingatannya masih hangat menyuruh Sheila untuk menunggunya agar kekantin bersama, namun yang mengejutkannya adalah Sheila tidak berada dikelas untuk menunggunya. Liam menggeram marah, Sheila harus mendapat hukuman darinya. Gadis itu telah menolak ucapan Liam.
Salah seorang gadis dengan rambut terikat tinggi disana tergagap, matanya bergerak gelisah. "A-anu...Sheila tadi pergi ke perpustakaan bareng Abra —"
Liam bergegas beranjak dari sana, "Kamu bakalan dapat akibatnya, sayang." Geraman Liam terdengar rendah dan kelam.
Liam tiba di perpustakaan yang sepi, matanya berpendar mencari keberadaan Sheila. Tangan Liam mengepal keras saat melihat Sheila duduk bersebelahan bersama Abraham—ketua kelas XII IPA 4, kelas Sheila. Mereka tampak serius membaca buku.
Liam bergerak menuju posisi gadisnya berada, Liam tidak menyukai dan menoleransi perselingkuhan bentuk apapun meski mereka baru mengenal semalam. "Wah, hebat banget kamu, aku cariin ke kelas rupanya disini berduaan sama cowok lain." Ujar Liam penuh penekanan dan sindiran.
Sheila mendongak cepat dan menemukan Liam menatapnya dengan rahang mengeras sambil bersidekap angkuh. Gadis yang menjadi kekasih Liam itu terkejut bukan main, mulutnya terbuka kemudian tertutup lagi. Hendak mengatakan sesuatu tetapi dia urungkan.
Abraham yang mengerti dengan kondisi menanggapi dengan sabar, tidak ingin terjadi kesalah pahaman antara Liam dan Sheila yang menjadi hot topic sekolah. "Liam, semuanya bukan seperti yang ada didalam pikiran lo. Gue sama Shei —"
"Gue nggak bicara sama lo!!" sentak Liam marah.
Sheila tersentak, debaran jantungnya menggila. Tidak pernah terlintas didalam pikirannya mengenai Liam ketika marah, nyatanya sangat menakutkan dan mendebarkan. "Liam, kamu dengerin aku...kita selesaikan diluar. Ini perpustakaan jangan ribut," Sheila berdiri dan menarik Liam dari sana. Melihat Liam yang menatap Abraham lekat, Sheila yakin tidak lama lagi cowok tampan itu akan menghajar Abraham sampai babak belur.
Liam hanya diam saat diseret paksa oleh Sheila menuju taman belakang sekolah, hatinya terlalu panas untuk mencoba biasa saja. Sheila adalah mainannya, tidak ada yang boleh mengambil gadis itu darinya.
Sheila melepaskan pegangannya dari lengan Liam, dia menatap Liam dalam. "Aku minta maaf gak nungguin kamu ke kelas aku, tapi itu ada alasannya," Sheila menarik nafas sejenak, kemudian menghembuskannya pelan. "Aku disuruh sama Bu Kadek untuk cari buku tentang sejarah perang Indonesia, aku kurang tau soal begitu, kebetulan Abraham ada dikelas dan aku minta tolong sama dia."
"Kita harus baca satu-satu buku Sejarah untuk menemukan tentang Perang Indonesia, makanya aku gak sempat sama sekali lihat kamu." Sheila tidak mengerti mengapa harus menjelaskan kepada Liam, tetapi melihat raut kurang bersahabat yang cowok itu tampakkan sedari tadi membuat hatinya kurang tenang. Kemarahan Liam seperti tadi adalah hal terakhir yang diinginkan oleh Sheila.
Liam terlihat menghela nafas, selanjutnya meraih Sheila kedalam pelukannya. Rengkuhan yang pertama ini begitu erat, Sheila dapat merasakan Liam bergetar saat memeluknya. Sheila merasa Liam menginginkannya, tetapi dengan cepat pula Sheila mengenyahkan pikiran konyol itu. Liam dan dirinya baru mengenal dua hari, tidak mungkin Liam menyukai Sheila.
Liam melepaskan pelukan itu mengacak-acak rambut Sheila. "Maaf aku tadi udah emosi, seharusnya aku tanya dulu sama kamu. Mau kan maafin aku?" tanya Liam lembut.
Sheila sangat percaya Liam berusaha membuatnya jatuh kedalam pesona cowok itu, dan hal tersebut membuat Sheila takut. Jika Liam berhasil membuatnya jatuh, Sheila tidak tau harus berpegangan kemana, Sheila tidak punya penyanggah yang tidak akan membiarkannya terluka. "Nggak secepat itu, kamu harus turutin satu permintaan aku."
Liam mengernyit heran namun tetap juga mengiyakan permintaan Sheila, karena kata maaf dari gadisnya adalah yang terpenting untuk saat ini. "Kamu mau apa?"
Sebuah senyum geli terukir diantara bibir Sheila. Sheila berjinjit dan berbisik kearah Liam, "Aku mau kamu minta maaf sama perempuan-perempuan yang udah kamu buat sakit hatinya."
Liam menatap Sheila horor. Dia pikir Sheila akan diminta dibelikan jam tangan keluaran terbaru, nyatanya menyuruh Liam melakukan hal yang sangat diluar pemikiran. "Ke—"
"Mau maaf dari aku kan?"
Liam mengangguk lemas. "Iya,"
"Iya udah, kamu turutin permintaan itu."
Liam rasa, akan lebih baik jika Sheila memintanya membelikan barang mahal. Hal itu akan jauh lebih mudah, tetapi kalau seperti ini Liam hanya bisa pasrah dan mengangguk lemas. "Iya aku bakalan minta maaf sama mereka." Demi maaf dari Sheila!