Liam mendesah malas, berulang kali melirik kearah Sheila yang menatapnya dengan tatapan penuh harap dan binar bahagia. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau Liam sering berucap kasar kepada kaum hawa. Liam tidak pandang bulu dalam melontarkan kata-kata pedas, jika dia memang tidak suka, dia akan mengucapkannya secara blak-blakan tanpa perduli perasaan oranglain.
Ini sudah jam pulang sekolah dan Liam hanya baru berhasil mengucapkan kata maaf kepada satu gadis saja. Mulutnya terlalu kelu untuk terbuka, Liam merasa gengsi yang selama ini dia simpan serta jaga dengan baik dihancurkan oleh Sheila dengan sangat sempurna pula.
Liam menatap ragu lima orang gadis didepannya, Liam tidak tau apakah gadis-gadis didepannya ini pernah dia sakiti hatinya. Liam tidak pernah susah payah menghapal nama-nama oranglain yang tidak membawa dampak besar terhadap hidupnya. Sheila hanya bertanya apakah Liam pernah menyakiti hati mereka dengan ucapannya karena kelima gadis itu kebetulan lewat.
Liam menghela nafas, "Gue minta maaf sama kalian, gue tau kata-kata gue suka nggak disaring kalau kesal." Nada datar Liam menunjukkan seberapa enggannya cowok itu meminta maaf kalau bukan permintaan Sheila.
Kelima gadis itu mengulum senyum malu-malu membuat Liam sangat mual, itu sebabnya dia terlalu malas untuk berbuat seperti ini. Kaum hawa terkadang suka berekspektasi terlalu tinggi terhadap sesuatu. Menurut Liam itu sangat konyol dan tidak masuk akal.
Seorang gadis dengan tidak tahu malunya malah mengulurkan tangan kearah Liam, senyumnya sengaja dibuat semenggoda mungkin. "Iya, kita-kita udah maafin kamu kok Liam. Oh iya, nama aku Sheyra bisa dipanggil Rara." Liam menatap uluran tangan itu tanpa membalasnya. Sheila menyenggol lengan Liam, dari matanya dia tahu bahwa gadisnya itu menyuruhnya membalas jabatan tangan itu.
Liam membuang nafas kasar lalu membalas jabatan tangannya dengan cepat. Setelah itu, Liam menarik tangan Sheila menjauhi mereka yang mendesah kecewa karena kesempatan berbicara dengan pentolan sekolah itu sangat langka serta susah sekali untuk didapatkan.
Sheila tertawa tanpa suara melihat telinga Liam yang memerah, "Kamu kenapa sih Prince?" tanya Sheila disela-sela kegiatan tawanya.
Liam berhenti mendadak, matanya menatap Sheila dengan sorot tanya. "Prince?"
Sheila mengangguk kemudian menepuk lengan Liam, "Itu panggilan khusus dari aku buat kamu, biar beda sama yang lain." Sheila mengedipkan matanya dengan sengaja untuk menggoda Liam yang kini tersenyum lebar.
Liam rasa bersama Sheila hidupnya akan lebih berwarna. Gadisnya. Sheila adalah milik Liam satu-satunya, tidak ada yang bisa mengambil itu dari dia. Liam tidak akan mengelak jika dia hanya menginginkan Sheila sebagai mainan sementara, tetapi juga tidak akan menolak kalau dikatakan gila dengan menuruti kemauan Sheila yang terkesan semena-mena. Liam rela asal mainannya itu tidak pergi meninggalkannya sendiri. "Kamu aku antar pulang sekarang?" tanya Liam sambil melanjutkan jalan mereka menuju parkiran.
Sheila melirik jam tangan berwarna merah jambu yang melingkar sempurna dipergelangan tangannya, "Masih jam tiga, aku rasa aku mau jalan-jalan dua jam. Bosan juga dirumah," tukas Sheila semakin mengeratkan pegangan Liam pada tangannya.
Liam mengambil helm untuk Sheila dan memakaikannya, sejenak berpikir. "Mau kerumah aku? Disana ada Mama, bisa kamu ajak ngobrol."
Sheila tampak menimang-nimang namun tak pelak juga mengangguk antusias. "Boleh, gak masalah kan?"
Liam terkekeh, "Apapun untuk pacarnya Prince."
****
Sheila tidak berhenti berdecak kagum begitu tiba dirumah Liam. Interior rumah tersebut benar-benar mengagumkan, luasnya juga bukan main. Sheila selalu bermimpi mempunyai rumah sebesar rumah Liam.
Liam menggenggam kembali tangan Sheila yang menjadi favoritnya. Genggaman itu terasa hangat dan tepat, seolah menemukan kepingannya untuk saling melengkapi.
Diam-diam didalam hati Sheila terbesit rasa sakit, Liam terlalu pintar memainkan aksinya, membuat Sheila seolah-olah adalah gadis paling beruntung didunia dengan mendapatkan Liam, tapi Sheila kembali dijatuhkan kedasar begitu mengingat Liam hanya mempermainkannya.
Liam tampak bersemangat memasuki rumahnya, "Mama!" teriak Liam dari daun pintu.
Seorang wanita setengah baya tampak berjalan santai dengan pakaian mahalnya, Sheila yakin jika harga pakaian wanita itu bukanlah untuk rakyat menengah seperti dia.
Awalnya wanita itu tampak cuek, namun begitu melihat Liam bersama seorang gadis, wanita tersebut tampak berlari dengan girang. "LIAM KAMU BAWA CEWEK KERUMAH!" Dilihat dari gayanya berbicara Sheila yakin kalau itu adalah Mama Liam.
Liam mendelik, "Terus?" tanyanya setengah mendumel sambil membawa Sheila kehadapan Joy.
Joy menggeleng takjub, "Mama kira kamu bakalan belok abang!"
Liam menatap Joy seolah-olah mamanya gila. "Are you kidding me, mom?"
Joy tidak memperdulikan protesan Liam, fokusnya hanya pada gadis dengan rambut tergerai disamping putranya. Gadis itu begitu cantik dan natural, tidak ada kesan kepura-puraan yang Joy tangkap dari penampilannya. "Nama kamu siapa cantik?" suara Joy penuh keibuan.
Sheila tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Nama saya Sheila Tante,"
Liam memutar bola matanya malas, "Kamu disini dulu ya Shei aku mau mandi keatas." Liam menyempatkan untuk mencium sekilas pucuk kepala Sheila sebelum beranjak, hal tersebut sontak membuat Sheila merona malu.
Joy menggeleng kagum. Sheila tampaknya membawa pengaruh besar bagi putranya yang terlihat lebih sabar. "Kamu mau kan makan malam disini?" Joy sama sekali tidak berkedip menatap Sheila yang sama sekali belum duduk, hanya baru melepaskan sepatunya hingga menyisakan kaos kaki putih membalut kaki.
Sheila tersenyum tidak enak, "Kayaknya nggak bisa deh Tan, soalnya—"
"Nanti Liam yang antar kamu pulang." Kalau hal ini sudah pasti dilakukan Liam sebagai kekasih yang bertanggung jawab, Sheila hanya meragukan keputusannya untuk pulang malam, Mamanya pasti akan marah.
Seolah mengerti dengan keraguan Sheila, Joy memegang lengan Sheila dan mengelusnya lembut. "Nanti Tante yang minta izin sama mama kamu, gimana?" binar harap dimata itu tidak dapat ditolak oleh Sheila. Akhirnya Sheila mengangguk setuju setelah bergulat panjang bersama pikiran.
Joy memekik girang. "Ya ampun, karena terlalu seneng kamu disini, Tante sampai lupa nawarin duduk!" Joy menarik tangan Sheila menuju sofa disana.
"Aduh, Tante pikir Liam itu bakalan suka cowok karena selama ini dia nggak pernah bawa cewek kesini. Kamu yang pertama!" Hati Sheila menghangat mendengarnya. Liam begitu menjaga jarak dengan perempuan karena kesialan itu. Sheila sebenarnya sedikit kasihan dengan Liam, tetapi setelah dua hari menjalin hubungan dengan Liam, Sheila sama sekali tidak pernah merasakan sial. Apa ini pertanda baik?
"Liam itu emang galak banget, egois, suka seenaknya." Sheila membenarkan ucapan Joy terhadap yang satu ini, Liam memang sangat suka memaksakan kehendaknya kepada Sheila.
"Tapi bagaimanapun Liam akan baik banget sama orang yang dia sayang, kamu contohnya." Untuk hal yang barusan dikatakan Joy, Sheila rasa dia lebih memilih bungkam. Sheila tidak mungkin mengatakan kalau Liam hanya menjadikannya sebagai aksi balas dendam. Sheila tidak tau, kalau dia mulai lelah dengan semuanya, dengan perasaannya yang ternyata sudah jatuh kepada Liam dalam kurun waktu dua hari. Secepat dia berkenalan dengan Liam, secepat itu pula dia menempatkan hatinya pada cowok tampan itu.