Chereads / DOKTER TAMPAN JATUH CINTA / Chapter 5 - Senyum Fara

Chapter 5 - Senyum Fara

Sudah beberapa hari aku tak mengunjungi para pasienku, kebetulan ada seminar di luar kota dan mau tak mau aku tak bisa datang berkunjung ke rumah sakit. Tak seperti biasa, hari ini rumah sakit terlihat sepi. Aku berjalan menuju ruang mawar dengan hanya mengenakan kaos dan jeans.

Entah aku sendiri tak mengerti tiba-tiba aku telah parkir di depan halaman rumah sakit setelah pulang dari Bogor dalam seminar yang bertajuk tentang pentingnya menjaga kesehatan sejak dini. Dan acara itu di sponsori oleh salah satu perusahaan ternama di Indonesia, aku hanya bagian dari serangkaian acara tersebut karena aku hanya memberikan sedikit informasi tentang gizi. Aku adalah dokter yang selalu mengkampanyekan tentang pentingnya gizi untuk kesehatan.

Beberapa suster yang mengenaliku berjalan dan berbisik melihat penampilanku saat ini. Aku tersenyum melihat mereka dan tak mempedulikannya. Aku hanya ingin melihat keadaan Fara itu saja tak lebih. Dan aku tahu, pasti saat ini ia sedang kesepian karena kerabatnya pasti tak datang untuk menemaninya.

Ini adalah hari Idul Adha di mana seluruh umat muslim di dunia merayakan hari ini yaitu hari Raya Qurban. Aku tahu karena aku sangat mencintai baca dan aku sering membaca tentang sejarah muslim, hanya ingin sekedar mengetahui tentang islam tak lebih. Seorang satpam melihatku dengan tatapan aneh ketika aku berdiri dihadapannya dan tersenyum.

"Dokter Adam."

Sapanya ketika ia sadar bahwa akulah yang tengah berdiri dihadapannya dan ia berusaha untuk berdiri namun tanganku menyuruhnya untuk tetap duduk dan aku berlalu meninggalkannya menaiki anak tangga. Aku berusaha memperlahan langkah kakiku agar tak terdengar langkah kakiku dari ruang atas. Ketika aku tiba di lantai dua aku melongokkan wajahku, sepi, tak ada suster dan dokter muda berjaga bangsal pagi ini. Masih pukul setengah delapan pagi.

Aku terus berjalan, dan ketika di depan ruang 113 aku menghentikan langkah kakiku melihat ke dalam dari kaca pintu, sepi. Ku buka perlahan pintu kamar tak ada siapa-siapa namun ruangan telah rapi dan bau segar aroma terapi dari pembersih lantai.

Pintu ke balkon terbuka dengan lebar, aku perlahan berjalan menuju balkon. Dadaku berdebar dengan kencang dan aku menghentikan langkah kakiku ketika aku mendengar sebuah percakapan dari balkon suara yang tak asing di telingaku Fara dengan siapa ia berbicara.

Aku melongokkan kepalaku penasaran, Suster Maria tengah berdiri di pagar balkon dan Fara duduk di kursi dengan masih memegang tiang penyangga untuk infus di tangan kanannya. Ternyata infusnya sudah dipindahkan ke tangannya yang semula di kaki atas permintaannya agar ia bisa sholat dengan duduk tapi kenapa kini infus itu ada di tangannnya. Apakah ia sedang tak sholat, aaahhhh kenapa aku terlalu memikirkannya.

"Yakinlah Fara, kamu pasti sembuh segera menemukan laki-laki yang baik dalam hidupmu."

"Terima kasih Suster. Tapi aku enggak mau memikirkan hal itu lagi."

"Hei, kamu masih muda Fara. Hari ini khan Hari Raya Qurban untuk umat muslim, kamu bisa berdoa kepada Allah sebagai Tuhanmu untuk kebaikan dirimu. Kamu jangan khawatir, Allah akan mempertemukan kamu dengan laki-laki yang nanti mencintaimu dengan tulus."

"Suster bisa aja menghibur pasien. Aku sangat senang bisa berbagi cerita sama Suster Maria."

"Fara, bukankah dengan kamu masih bisa duduk di sini menikmati Hari Raya Qurban walau kau enggak bisa berkumpul dengan keluarga pertanda Allah sangat mencintaimu, iya khan!"

Fara mengangguk pelan.

"Ya Suster."

Mereka terdiam dan suster Maria melangkah maju, ketika aku hendak pergi, terlambat.

"Dokter Adam? Apa yang dokter lakukan di sini?"

Ah suster Maria melihatku sebelum aku pergi.

Aku tersenyum, mau tak mau aku sudah terlanjur basah, Fara menoleh, dahinya berkerut melihatku dengan penampilan aneh. Aku tersenyum dengan terpaksa dan berusaha mencairkan suasana.

"Eh Suster, kebetulan ada kepentingan di rumah sakit dan karena aku ingin tahu keadaan pasien aku datang ke ruangan ini." Jawabku mengelak, aku terpaksa berbohong, ampuni aku Tuhan.

"Tumben Dok." Suster Maria sengaja membuatku merasa kurang nyaman, senyuman dia..

Lagi, aku tersenyum Suster Maria sedang mengejekku. Dan lagi-lagi Fara memandangiku dengan tatapan aneh, hatiku tak bisa tertahan tatapan mata itu.

"Baiklah Dokter, bisakan Dokter membantu menemani Fara. Kebetulan saya harus melihat beberapa pasien di ruangan sebelah." Suster Maria meringis, aku mengangguk cepat.

"Fara, semangat ya! Aku yakin itu, kamu bisa kuat." Suster Maria memegang pundak Fara.

Fara mengangguk, mereka terlihat sangat akrab. Aku paham dengan apa yang tengah mereka perbincangkan karena secara tidak kebetulan aku menemukan buku harian Fara di ruang praktekku mungkin terjatuh saat ia berada di ruangan ku dan aku maaf telah lancang membacanya, namun aku tak bisa mengembalikannya ke Fara. Aku masih belum bisa mengembalikannya.

"Dokter, kelihatan beda seh. Aku hampir enggak ngenalin loh."

Fara menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki, aku yakin wajahku semu saat ini. Aku melangkah maju dan berdiri bersandar di pagar besi balkon berhadapan dengan Fara. Wajah Fara bersinar terkena sinar matahari, aku menyukainya tatapan teduh mata Fara.

"Keluarga kamu enggak ada yang ke sini?" tanyaku mencairkan suasana atas keheningan sesaat tadi, mengapa aku jadi canggung bukankah aku seorang dokter yang sedang berhadapan dengan pasiennya.

"Mereka sibuk sama perayaan Qurban Dok." Jawabnya kalem menatap jauh ke gedung sebelah.

"Oh iya sekarang lebaran ya, aku bisa menemani kamu kalau enggak keberatan."

Ops!

Apa yang aku katakan, Fara menoleh dan memandangku, ia tersenyum.

"Dokter suka becanda juga yah."

"Kebetulan hari ini aku lagi enggak ada kegiatan. Oh yah Fara, kenapa kamu bisa memilih rumah sakit ini. Semenjak kamu masuk ke sini aku enggak pernah sekalipun melihat ayah kamu."

Fara tertunduk lama dan kemudian ia mengangkat wajahnya.

"Benar Dok. Bapak sangat marah dengan apa yang aku lakukan. Beliau sangat marah ketika aku memutuskan masuk ke rumah sakit ini dan melakukan operasi di sini. Aku enggak tahu dengan apa yang aku lakukan. Mungkin Bapak enggak setuju karena aku memilih tempat ini. Bapak bilang banyak rumah sakit lain enggak seharusnya aku di sini."

"Kenapa kamu bersikeras untuk masuk ke tempat ini yang jelas-jelas enggak sesuai sama kehidupanmu."

"Aku mau sembuh. Entahlah aku sendiri enggak ngerti kenapa aku yakin sama tempat ini. Dan kenyataannya benarkan dok. Aku masih bisa duduk di sini bersama Dokter. Sebelum masuk sini sudah banyak yang aku pertimbangkan, dokter pasti paham. Seorang wanita muslim enggak boleh memperlihatkan auratnya kepada yang bukan muhrimnya apalagi dengan kalian non muslim, haram hukumnya. Tapi aku berusaha untuk mencari tahu, dan selama itu untuk sebuah pengobatan boleh dilakukan, toh ketika aku melepaskan jilbab aku dalam keadaan enggak sadarkan diri. Aku sudah menjelaskan kepada semua anggota keluarga, tapi hanya ibu yang memahamiku."

Fara menahan butiran bening di pelupuk matanya, aku bisa merasakan apa yang sedang ia rasakan. Tak mudah baginya melakukan ini semua, keputusan yang membuatnya sangat bertentangan dengan keluarga dan keyakinannya.

"Tapi, Dokter. Aku yakin mereka sekarang paham sama keputusanku. Aku sangat ketakutan, Dokter tahu berapa banyak kasus pasien seperti aku yang terkena musibah dengan malpraktek walau rumah sakit berkelas. Itu yang aku khawatirkan. Awalnya aku ingin menyerahkan hidupku aku enggak peduli kalau aku mati dalam ruang operasi aku sudah siap. Tapi ketika aku bertemu dengan Suster Maria dan ia sangat banyak membantuku membuka jalan pikiranku tentang hidup. Aku sangat berterima kasih kepadanya."

"Kenapa kamu mau mengakhiri hidup kamu, Fara?" Aku berpura-pura bertanya walau aku tahu dari buku diary miliknya yang saat ini ada di atas meja kamarku dan ku baca hampir tiap hari.

"Hmm.. kok aku jadi banyak ngomong yah hehe.. Maaf ya Dok." Fara tersenyum, aku sangat menyukai senyum itu.

Bukan, bukan aku mengambil kesempatan di saat Fara tengah mengalami masalah dalam hidupnya namun rasa ini telah hadir ketika aku belum mengetahui tentang Fara. Aku menyukainya karena senyuman itu yang bisa membuat hatiku berdebar dengan hebat seperti saat ini. Membuat aku ingin selalu bersamanya dan melupakan waktu yang aku punya. Aku memandangi wajah Fara dengan amat dekat dan Fara masih terus tersenyum.

"Dokter, kok baru kelihatan. Terus enggak biasanya Dokter berpakaian kayak gini."

"Kebetulan tadi abis pulang dari seminar di Bogor, terus mampir ke sini karena ada yang mau di ambil"

Ah, aku terpaksa berbohong.

"Oh yah, aku hampir lupa." Fara memukul kepalanya sendiri.

"Dok, aku enggak perlu minum obat lagi kan kalua udah di rumah"

"Hmmm... kamu hanya butuh beberapa obat untuk mengeringkan luka jahitan kamu saja. dua minggu pasti sudah kembali normal. Tapi kamu harus rajin kontrol yah Fara."

"Ok Dok, Siap!"

Nah kalau kalimat terakhir, aku sengaja biar bisa ketemu Fara lagi, kebetulan besok Fara sudah bisa kembali pulang karena kondisinya sudah membaik. Sepekan aku sengaja memberikan ke rekan yang lain untuk mengontrol Fara, bukan tanpa alasan, aku berusaha menghindari Fara tapi ternyata tidak semudah itu. Lalu aku tidak ingin lagi melarikan diri. Aku hanya ingin menikmati semua perasaanku saat ini.

"Kamu baca buku apaan?"

"Ini." Fara mengangkat bukunya. Aku dapat membaca judulnya dengan jelas.

Theologi.... aku mendekati Fara dan kuambil buku itu.

"Kamu membaca buku seperti ini."

Entah sejak kapan aku merasa dekat dengannya, seperti bukan diriku sendiri yang selalu menjaga jarak dengan siapapun.

"Yah, kenapa Dok. Ada yang salah?"

"Enggak sih! Cuma ..."

"Aku suka baca. Jadi terkadang aku suka penasaran dengan buku yah termasuk buku yang sekarang Dokter pegang. Aneh yah Dok"

"Enggak seh, karena setahu aku enggak banyak orang yang mau membaca buku seperti ini terkecuali orang-orang tertentu."

"Termasuk aku ya Dok. hehehe ..."

Fara tersenyum lagi kali ini wajahnya terlihat sangat manis, ah.. jantungku sepertinya enggak pernah bisa diajak kompromi dalam situasi seperti ini. Matahari mulai mencuat, hamper seluruh tubuh Fara tersinar matahari, pertanda dia harus kembali ke kamar

"Fara, udah waktunya masuk."

Fara mengangguk, dia berbalik berjalan memasuki ruangan, aku mengikutinya.

"Kamu istirahat ya Fara, biar besok kamu bisa pulang dalam keadaan benar-benar sehat. Dan perlihatkan kepada semua orang bahwa keyakinan kamu benar untuk saat ini. Kamu bisa pulang dengan selamat."

"Semua ini atas kerja keras Dokter Adam." Fara tersenyum, aku sangat menyukai senyuman itu.

"Ok, kamu istirahat ya."

"Terima Kasih Dokter udah ditemani."

Aku mengangguk sambil mengembalikan buku miliknya lalu berjalan ke luar, pintu ku tutup dengan perlahan agar tak mengeluarkan suara. Untung saja di luar sepi hanya ada Suster Maria yang tengah duduk di meja ruang jaga, ia tersenyum ketika melihatku keluar dari ruangan Fara, aku membalasnya dengan senyuman dan aku dengan cepat berjalan menuju pintu belakang, pintu para dokter keluar ruangan.

Selamat tak ada satupun yang melihatku, aku tersenyum sendiri, menertawakan sikapku.

Apa yang baru saja aku lakukan.

Fara ...