Maisa adalah seorang gadis manis yang tangguh, dia merupakan seorang siswi di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sangat pintar. Maisa tidak terlihat seperti orang berada, tapi dia sama sekali tidak terpengaruh oleh hal itu, dia orang yang ceria dan selalu bisa membuat teman-temannya nyaman saat bersama dirinya. Maisa merupakan murid kesayangan guru di sekolah karena dia memiliki kecerdasan yang luar biasa, dia juga sangat baik. Maisa memiliki dua orang teman dekat, mereka lebih terlihat seperti saudara dari pada dikatakan sekedar teman, namanya Sukma dan Tesa. Sukma merupakan anak orang kaya, namun dia tidak mau berteman dengan geng gadis-gadis manja yang ada di sekolah tersebut, dia lebih tertarik berteman dengan orang yang hidup sederhana bahkan kekurangan seperti Maisa. Sedangkan Tesa kehidupannya tidak jauh berbeda dari Maisa, hidup dalam kesederhanaan, ayahnya seorang sopir dan ibunya hanya penjaga warung kecil yang ada di rumahnya. Sukma selalu membantu mereka dalam hal keuangan dan kebutuhan, dia sering kali membawakan kedua temannya bekal makan siang dan sering mentraktir mereka. Sementara Maisa juga selalu membantu dalam hal belajar. Dan Tesa terasa seperti orang tua mereka, Tesa merupakan seorang yang detail, selalu menjadi pengingat bagai alarm bagi mereka, Maisa dan Sukma adalah dua orang yang sering melupakan sesuatu terlebih lagi hal-hal kecil, dan Tesa lah yang selalu ada untuk mengingatkan mereka. Tesa juga memiliki jiwa yang positif dia selalu bisa menyelesaikan masalah, namun dia tidak secerdas Maisa dan tidak seberuntung Sukma. Namun semua kekurangan mereka dapat tertutupi antara satu sama lainnya dengan ikatan persahabatan yang erat.
" Mai, kalau diingat-ingat, kita berdua belum pernah berkunjung ke rumah mu, apakah kau tidak mau mengajak kami kesana?", tanya Sukma.
" A...itu benar sekali, kalau di ingat-ingat sudah satu tahun kita berteman, tapi kami belum pernah berkunjung ke rumah mu Mai", tambah Tesa.
" Hmmm...bukannya tidak mau ngajak, tapi tidak ada apapun di rumahku, kalian kan juga tau, kalau orang tua ku sudah tidak ada, dan rumahku juga seadanya, tidak ada yang bisa aku berikan kepada kalian jika ke rumahku, aku hanya berfikir begitu", ucap Maisa.
" Hahaha....kami cuma ingin berkunjung ke rumah mu saja, hanya ingin tau dimana rumahmu, bukan pergi mencari sesuatu kesana", canda Tesa.
" Baiklah jika kalian tidak keberatan dengan kondisi rumah ku, nanti habis pulang sekolah kita ke rumah ku, bagaimana?", ajak Maisa.
Tiba-tiba saja percakapan mereka berhenti dengan datangnya beberapa orang cowok mendekati mereka.
" Lihatlah si rambut pirang ini, untuk kalian ketahui, dia adalah anak dari sopir ku, harusnya dia tidak pantas bukan bersekolah di sini, disini hanya tempat orang-orang terpandang seperti aku dan Sukma, benarkan Sukma?", ucap laki-laki itu dengan suara lantang sekali, dia memang bermaksud mempermalukan Tesa dan dia selalu mengukur seseorang dari status sosial nya.
Namanya Diki, dia adalah anak seorang CEO perusahaan ternama, dia juga termasuk siswa yang pintar di sekolah, namun dia selalu memandang rendah orang lain, terlebih pada Tesa, entah apa masalah yang dimilikinya dengan Tesa, sehingga dia selalu mengganggunya dan menyudutkannya.
Mendengar semua itu Sukma sangat marah,
" Berhentilah mengukur orang lain hanya dari keadaan sosialnya, dasar pecundang, kau itu tidak bisa apa-apa selain merendahkan orang hanya karena kau lebih beruntung dari pada orang lain!", ucap Sukma dengan rasa kesal sekali, dia tidak terima temannya dihina seperti itu.
" Hey Sukma, mengapa kau marah, lagian apa manfaatnya berteman dengan orang seperti dia, dan kau rambut pirang, harusnya kau mengepel lantai dan menyuci baju saja di rumahku, itu kelihatan lebih cocok untuk mu!", ucapan laki-laki sombong itu terasa pedas sekali.
" Apa salah ku padamu, apa yang sudah aku perbuat kepadamu, sehingga kau bersikap begitu padaku, aku bahkan tidak pernah menganggu mu, tapi mengapa kau selalu memperlakukan ku seperti ini?!", ucap Tesa dengan mata yang mulai berkaca.
" Hey...Hey...mengapa kau begitu, ayolah, jangan sedih begitu, aku hanya berusaha menunjukkan tempatmu yang sebenarnya", jawab laki-laki itu seraya tertawa kecil.
" Parrrr..", tanpa disadari satu tamparan langsung hinggap di pipi Diki, tamparan dari seorang perempuan dengan emosi yang meluap.
" Cukup!!, cukup kau bicara pecundang, atau kau akan menyesalinya nanti, aku tidak bisa lagi melihat temanku dihina seperti itu, aku dan temanku memang bukan orang kaya sepertimu, nasib kami memang tidak sebaik dirimu, tapi setidaknya kami masih punya harga diri, sedangkan kau memiliki begitu banyak harta dan kekuasaan, tapi kau tidak punya harga diri sama sekali, cobalah untuk melihat betapa menyedihkannya dirimu itu, kau itu sebenarnya tidak punya apa-apa melainkan harta orang tuamu saja, apa itu patut untuk kau banggakan, hidup dengan terus bergantung pada orang tua mu, dan aku bertaruh kau tidak punya kemampuan apapun selain menghambur-hamburkan dan memamerkan harta orang tua mu itu, kau tidak lebih dari seorang anak yang selalu minta dilindungi, coba bayangkan dimana letak harga diri mu itu!", ujar Maisa dengan sangat emosi sekali, seakan dia ingin menampar laki-laki itu sekali lagi.
" Dasar anak yang tidak punya orang tua, mulut mu itu kasar sekali, o iya itu mah pantas saja karena tidak ada yang mengajari mu cara bicara yang baik", lagi-lagi Diki menghina.
Mendengar itu semua jelas membuat emosi Maisa semakin meningkat, namun dibalik semua itu dia juga sangat terluka, terutama dengan apa yang melanda keluarganya dulu.
Dengan rasa luka yang terungkit kembali itu, Maisa memegang kerah baju Diki seraya berkata, " Hey laki-laki yang ngak punya harga diri, sebelum kau menghina orang lain, sebaiknya lihat dulu dirimu, memang tidak ada yang mengajariku cara bicara yang baik, karena aku memang sudah tidak memiliki orang tua, tapi kau, lihat lah dirimu itu, betapa menyedihkannya dirimu, kau punya kedua orang tua mu, tapi tidak ada yang mengajarimu bagaimana bersikap yang benar, apa kau pikir menghina orang lain itu terpuji?, apa kau pikir merendahkan orang lain itu perbuatan baik?, bahkan kau tidak bisa membedakan antara yang baik dan buruk!".
Baru saja Diki ingin membalas kata-kata Maisa, bel masuk berbunyi. Diki menghela nafasnya karena tidak sempat membalas kata-kata Maisa, sesaat akan pergi dia berkata, " Aku pasti akan membalasmu karena berani mempermalukan aku begitu!", ucap Diki sambil menunjuk ke arah wajah Maisa.
Diki bukanlah teman sekelas Maisa, diperjalanan menuju kelas, Diki terlihat sangat kesal.
" Mengapa kau tidak beri saja cewek itu pelajaran, lagian apa yang bisa dia lakukan, kau bisa membuat dia di keluarkan bukan?!", ucap salah seorang teman Diki.
Diki menghela nafas, dan berkata, " Kalau saja dia bukan pengharum nama sekolah ini, mungkin sekarang juga aku bisa membuatnya keluar dari sini, tapi apapun yang akan aku lakukan kepala sekolah pasti akan mempertahankan dia untuk tetap sekolah disini".
" Sepertinya kau harus mencari cara untuk mengunci mulut perempuan itu kalau kau tidak ingin di permalukan setiap hari", ucap teman Diki lagi.
Diki terdiam, lalu dia menuju kursi tempat duduknya. Dia duduk tanpa mengucapkan sepatah katapun, sepertinya perkataan Maisa tadi cukup mengganggu dirinya.
" Aku pasti akan membalasmu, liat saja nanti!", kata Diki dalam hati.
Beberapa jam kemudian bel pulang pun berbunyi. Seperti yang sudah direncanakan tadi, Sukma dan Tesa akan berkunjung ke rumah Maisa. Mereka pergi menggunakan mobil Sukma, dimana biasanya Tesa dan Maisa menggunakan angkot. Dari kejauhan Diki memandangi mereka, dan mengikuti kemana mereka pergi. Jalan menuju rumah Maisa kurang baik sekali, jalannya kecil dan sempit, serta berlubang. Diki si anak manja itu tentu merasa kesal dengan kondisi jalanan yang begitu, namun semua itu kalah dengan keinginannya untuk membalas Maisa. Tidak begitu lama melewati jalan rusak itu, tepat di sudut perkampungan, disanalah rumah Maisa, mereka berhenti di halaman rumah Maisa, yang hanya seukuran satu mobil. Tampak rumah Maisa hanya berupa gubuk kecil, tapi cukup terawat. Maisa langsung membuka kunci, tapi dia tidak menyuruh temannya untuk langsung masuk, melainkan meminta mereka untuk menunggu.
" Tunggu sebentar di luar ya, aku akan merapikan tempat duduk untuk kita dulu", ujar Maisa.
" Tidak perlu begitu, biarkan kami yang membantu mu, lagian kita ini kan teman, jadi jangan terlalu sungkan begitu", ujar Sukma menawari diri untuk membantunya.
" Tidak!", kata Maisa yang cukup membingungkan.
" M...Maksudku, kalian tidak perlu repot-repot, lagian walaupun kalian temanku, tapi kalian tetap tamu disini, tidak mungkin aku membiarkan kalian bekerja", lanjut Maisa.
" Baiklah kalau begitu", ucap Sukma.
Kemudian Maisa masuk, dan menutup pintunya, dari sela-sela Sukma melihat Maisa sengaja menyembunyikan sebuah foto yang terpajang di rumah nya. Namun, tanpa curiga Sukma terus mengamati sekitar rumah Maisa bersama Tesa. Tak lama kemudian Maisa membuka pintunya dan meminta Sukma dan Tesa masuk. Lalu Maisa menyuguhkan teh panas.
" Minumlah, cuma ini yang ada di sini, aku belum masak, jadi aku tidak punya makanan, kalau kalian tidak keberatan tunggulah disini sebentar, aku akan memasak untuk makan kita", ucap Maisa seraya berdiri.
Tesa memegang tangan Maisa dan berkata,
" Mai, tadi kami kan sudah bilang, kami kesini hanya ingin mengetahui dimana rumahmu bukan pergi makan-makan", ucap Tesa yang melarang Maisa memasak untuk mereka.
" Itu benar, teh ini saja sudah lebih dari cukup, teh buatanmu terasa lebih manis", Tambah Sukma mencoba merayu Maisa.
" Kamu bisa saja Sukma", ucap Maisa sambil tersenyum.
Sementara mereka minum dan ngobrol-ngobrol di dalam rumah, tanpa mereka ketahui, Diki sudah ada di luar rumah, dia sengaja memotret rumah Maisa, tentu saja tujuannya untuk menghina Maisa untuk membalaskan kejadian tadi.
Kemudian seorang bapak yang sudah agak berumur melihat Diki, lalu menegurnya,
" Apa yang sedang kamu lakukan anak muda?!", tanya bapak itu yang sontak membuat Diki kaget.
" Anu...aku hanya memotret daerah sekitar sini pak", kilah Diki.
" O...begitu, apa kamu temannya Maisa?, seragammu tampak seperti seragam Maisa", tanya bapak itu lagi.
" Hehe..iya pak", jawab Diki.
" Begitu ya, silahkan lanjut memotret", ucap bapak itu seraya berlalu.
Diki tampak puas sekali karena dia pasti bisa membalas Maisa kali ini. Ketika mau jalan pulang, dia melihat bapak tadi sedang duduk di teras rumah, ternyata rumah bapak itu dekat dengan rumah Maisa.
Begitu melihat bapak itu, timbul pikirannya yang ingin mengetahui lebih banyak tentang kehidupan Maisa, karena dengan lebih banyak informasi yang dia dapatkan, akan lebih mudah untuk memukul Maisa. Diki pun berjalan menuju rumah bapak itu dan menyapa bapak yang sedang duduk di teras rumah.
" Boleh saya ikut duduk pak?", sapa Diki dengan sopan.
" O....anak muda yang tadi ya, silahkan nak, apa kamu sudah selesai memotret?", tanya bapak itu.
" Sudah pak", jawab Diki singkat.
" Tunggulah sebentar disini, bapak akan membuatkan teh untukmu", ucap bapak itu seraya berdiri.
Dengan sigap Diki mencegahnya, " Tidak usah pak, terimakasih, bapak ngak perlu repot-repot, saya ngak haus kok pak, saya kesini karena ingin mengobrol saja dengan bapak", ucap Diki.
" Baiklah kalau begitu", ujar bapak itu.
" Ada apa?, sepertinya kamu ingin mengetahui sesuatu", tanya bapak itu yang seakan peka dengan kedatangan Diki.
" Ngak ada apa-apa kok pak, saya hanya sekedar ingin mengetahui tentang Maisa, saya kira bapak tau lebih tentang kondisinya, aku sahabatnya pak, tapi dia sedikit tertutup dengan kehidupannya, saya merasa dia memiliki beban, namun dia tidak mau membaginya, apa mungkin itu perasaan saya saja atau karena memang beban akibat kehilangan kedua orang tuanya ya pak?!", ucap Diki mencoba untuk bisa mendapatkan informasi yang diinginkannya.
" Kedua orang tuanya?!", ujar bapak itu dengan sedikit bingung.
" Ada apa pak, apa saya salah? setau saya Maisa sudah kehilangan kedua orang tuanya saat dia masih kecil", tanya Diki bingung.
" Kamu benar-benar tidak mengetahui sama sekali ya, siapa bilang dia kehilangan kedua orang tuanya? apa dia yang mengatakannya?", tanya bapak itu yang semakin membuat Diki bingung.
" Tidak pak, tapi dari informasi yang aku dengar sewaktu guru menanyainya, aku takut menanya langsung padanya pak, aku tidak ingin membuatnya sedih", jawab Diki meyakinkan sekali bahwa dia memang sahabat Maisa.
" Begitu ya, mungkin dia memang tidak ingin mengungkit kejadian itu, dia tidak mau mengatakannya kepadamu, lalu jika aku mengatakan semuanya padamu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya terhadap dia?", tanya bapak itu yang membuat Diki sulit untuk menjawabnya.
" Bagaimana aku akan mencari obat, jika sakitnya tidak diketahui pak", jawab Diki yang mencoba agar terus bisa mendapatkan informasi.
" Hmm...kamu pintar sekali anak muda, kamu benar, aku akan menceritakan semuanya pada mu, dengarkan baik-baik, tapi tolong jika kamu bisa, buat Maisa bahagia!", ucap bapak itu.
" Akan aku usahakan sebisa ku pak", jawab Diki dengan perasaan senang karena akan mendapatkan apa yang dia cari.
Bapak itu pun menceritakan segalanya tentang masa lalu Maisa yang diketahui nya. Setelah mendengar semuanya Diki sangat kaget dan terdiam, dia tidak dapat berkata apa-apa, dia memang mengharapkan informasi, tapi bukan informasi seperti ini yang dia harapkan. Niat semula untuk membalas Maisa, tiba-tiba hilang begitu saja karena cerita dari bapak itu. Cukup lama Diki terdiam karena cerita itu, lalu dia sadar bahwa dia harus segera pergi agar tidak di ketahui oleh Maisa dan temannya.
" Begitu ya pak, aku benar-benar baru mengetahuinya sekarang, terimakasih pak, akan aku usahakan yang terbaik untuk Maisa pak, tapi sekarang aku harus pamit dulu, permisi pak", ucap Diki seraya beranjak dari tempat duduknya.
" Iya nak sama-sama, saya senang karena akhirnya ada teman dekat Maisa yang mengetahui kebenarannya", ujar bapak itu seraya berdiri juga mengantar kepergian Diki.
Tidak selang beberapa menit Diki pergi, Maisa dan temannya juga keluar dari rumah Maisa, mereka juga pamit ingin pulang.
" Mai, kita pulang dulu ya!", ucap Sukma seraya melambaikan tangan kepada Maisa yang berdiri di depan pintu.
" Ya, hati-hati di jalan, maaf aku tidak bisa menyuguhkan makanan pada kalian", balas Maisa.
" Mai, jangan berkata begitulah, kan kami udah bilang tadi, tidak masalah, kami senang kok disini, rumahmu nyaman sekali, teh buatan mu juga enak", ucap Tesa yang tak ingin melihat temannya merasa rendah.
" Kalau begitu lain kali datang kesini lagi ya, aku akan memasakan makanan untuk kalian", ujar Maisa.
" Baiklah, akan kami tagih", ucap Sukma seraya memasuki mobil dan mereka pun pulang.
Siang itu, seperti biasa Maisa dan temannya makan siang di kantin.
" Aku ada kabar gembira buat kalian!", ujar Sukma dengan semangat sekali.
" Kabar gembira apa?!", tanya Tesa penasaran.
" Kalian tau, nanti malam ada festival yang akan diadakan di stadion, akan ada artis-artis ternama yang akan di hadirkan juga, dan bakal banyak makanan dan diskon barang-barang murah, pasti akan menyenangkan sekali jika kita bisa kesana, kita akan makan-makan dan berbelanja, aku jadi semangat sekali!", ujar Sukma yang tampak tidak sabar ingin menghadiri festival itu.
" Wah...wah.., sepertinya akan menyenangkan sekali, ayoklah kita datang ntar malam!", ujar Tesa yang tampaknya juga sangat tertarik.
" Maaf Sukma, Tesa, seperti nya aku tidak bisa ikut, aku ada kepentingan lain, lagian aku juga harus belajar, olimpiade tahunan sudah dekat, aku tidak boleh lalai kalau masih ingin sekolah", ucap Maisa yang tidak bisa ikut bersama mereka.
" Ya....Mai, kok gitu sih, kan cuma malam ini aja, malam-malam selanjutnya kamu kan bisa belajar juga, olimpiade kan juga masih lama, sedangkan festival ini kan jarang sekali diadakan", ucap Tesa mencoba membujuk Maisa agar ikut bersama mereka.
" Aku tau itu Tesa, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa, aku punya kepentingan lain, dan aku juga sudah mengatur jadwal ku", tolak Maisa lagi.
" Baiklah kalau begitu, tidak masalah, kita pergi berdua aja Tesa, bagaimana?", tanya Sukma.
" Ya...mau gimana lagi, kalau Maisa ngak bisa, kita berdua aja deh", balas Tesa.
Tak lama setelah makan, mereka segera kembali ke kelas, lalu duduk di kursi mereka masing-masing, hingga bel masuk berbunyi. Mereka merasa aneh seperti ada yang kurang, mereka teringat kenapa Diki tidak datang mengganggu mereka seperti biasanya. Tapi mereka tidak terlalu ambil pusing, justru itu lebih baik bagi mereka.
Malam itu stadion tampak ramai sekali, festival yang diadakan memang cukup besar. Seperti yang mereka janjikan siang tadi, Sukma dan Tesa datang ke festival tersebut. Seperti yang mereka katakan tadi siang, mereka memang datang untuk makan-makan dan berbelanja, mereka juga bermain berbagai macam mainan yang ada di sana, seraya mendengar hiburan dari artis-artis yang juga ikut berpartisipasi dalam Festival itu. Ketika sedang asik main, Tesa kaget melihat ada Diki dan teman-temannya disana. Tesa mencoba menyembunyikan wajahnya dibalik keramaian karena Tesa tidak ingin di hina lagi oleh Diki. Walaupun Tesa berusaha memasuki kerumunan, Diki tetap melihat nya dan memandang tajam kerahnya, Tesa sudah sangat kawatir, dan dia sudah bersiap-siap menerima cacian Diki. Namun Tesa terkejut dengan sikap Diki, bukannya menghina seperti biasanya, dia malah hanya berlalu saja dan tidak mengatakan apapun, namun pandangannya mengarah pada Tesa dan Sukma.
" Ada apa dengannya? dia tidak seperti biasa, padahal ini adalah momen yang tepat baginya untuk menghinaku seperti biasanya", kata Tesa pada Sukma.
" Siapa yang tau apa yang dipikirkannya, lagian bukankah itu bagus, setidaknya kita bisa tenang hari ini", ucap Sukma dengan rasa bersyukur sekali.
" Kamu benar, tapi perubahan yang tiba-tiba itu bukankah aneh?!", ujar Tesa.
" Biarkan saja, tidak usah pedulikan dia", ucap Sukma seraya mulai berjalan lagi.
Setelah puas main dan berbelanja, mereka membeli makanan di sebuah stand makanan, karena tidak ada kursi yang disediakan disana, mereka akhirnya pergi ke bagian pinggir stadion tersebut, dimana tempat itu cukup sepi dan sedikit gelap, tetapi ada tempat duduk disana. Mereka memutuskan untuk makan disana. Namun baru saja akan makan, Sukma melihat ada dua orang perempuan tidak jauh dari mereka, Sukma kaget ketika melihat mereka berdua berciuman tepat di bibirnya. Melihat hal itu sontak membuat Sukma kaget, lalu dia memberitahu Tesa. Bukannya makan, mereka malah melihat pasangan lesbian itu. Mereka terlihat mesra sekali, berciuman dan berkata cinta, semua itu jelas terdengar di telinga mereka karena memang jaraknya tidak terlalu jauh.
Tesa sangat kaget, karena ini pertama kalinya dia melihat pasangan LGBT, dia mendekap erat mulutnya sendiri.
Tapi ada hal lain yang menarik perhatian Sukma, dia merasa tidak asing melihat salah seorang dari dua perempuan itu.
" Tesa, coba perhatikan perempuan yang disebelah kanan itu, ntah mengapa aku merasa tidak asing dengan dia", ucap Sukma kepada Tesa dengan rasa penasaran.
" Kamu juga berfikir begitu ya, aku juga merasa hal yang sama, ntah mengapa orang itu rasanya tidak asing bagiku", balas Tesa.
Dengan rasa penasaran yang tinggi mereka berjalan pelan mendekati dua perempuan itu, mereka juga was-was agar tidak diketahui.
Setelah begitu dekat, alangkah terkejutnya mereka, firasat buruk mereka kini jadi nyata dan tepat di depan mata, perempuan yang mereka rasa tidak asing itu, memang bukan orang asing melainkan itu adalah Maisa.
Sukma dan Tesa tidak dapat berkata apa-apa, ada banyak hal yang muncul di pikiran mereka. Maisa juga sangat terkejut akan kedatangan temannya dan menyaksikan siapa dia sebenarnya.
" Maisa!", ucap Sukma dengan suara yang hampir tidak terdengar.
" Apa yang terjadi Mai?! apa yang sedang kau lakukan disini?! dan yang kami lihat dan dengar itu tidak benarkan?!", tanya Tesa dengan rasa kecewa.
Maisa hanya terdiam seumpama batu yang tidak begerak ataupun berbicara, hanya air mata yang jatuh dari mata indahnya itu.
" Jawab Mai! ini tidak benar kan?!", teriak Sukma kepadanya.
Tanpa berkata apapun Maisa lari dari tempat itu, meninggalkan Sukma, Tesa dan kekasihnya tadi. Sukma dan Tesa hanya bisa terduduk diam dan tidak berusaha mengejar Maisa sama sekali, mereka merasa begitu terpukul melihat kenyataan temannya itu.
Keesokan harinya Sukma dan Tesa sampai di sekolah, dengan pikiran yang bercampur aduk. Tidak seperti biasa, mereka tidak memperlihatkan wajah ceria sama sekali.
" Nah, itu Tesa dan Sukma sudah datang!", ucap teman sekelas mereka.
" Dimana Maisa? kalian biasanya selalu masuk kelas bersama kan? ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan padanya mengenai tugas kemarin, kami tidak bisa menemukan jawabannya, mungkin dia bisa membantu menjelaskan nya pada kami", tanya teman kelas yang lain.
" Kami tidak tau", jawab Tesa sambil berlalu begitu saja tanpa mempedulikan teman-temannya itu.
Sejak hari itu Maisa tidak pernah masuk sekolah lagi dan tidak ada yang tau kemana Maisa pergi. Tesa dan Sukma berusaha mencarinya hingga ke rumahnya, tapi mereka tidak bisa menemukannya. Dan mereka kehilangan kontak dengan Maisa sejak saat itu.