Chereads / Cinta Dalam Trauma / Chapter 4 - Retakan Tidak Akan Pernah Utuh

Chapter 4 - Retakan Tidak Akan Pernah Utuh

Tempat dengan hawa dingin merasuki tulang, ditambah dengan aroma yang sama sekali tidak menyenangkan, dengan dinding sebagai sandaran di dalam ruangan yang dipenuhi dengan aroma kejahatan, disinilah Maisa harus menghabiskan hari itu. Hingga dua hari setelahnya, Diki datang dengan membawa pengacaranya. Diki baru bisa membebaskan Maisa dua hari setelah Maisa masuk sel lantaran pengacara Diki sedang berada di luar kota saat itu.

Saat keluar dari kantor polisi tersebut, datang dua orang perempuan yang menuju kearah mereka. Mereka adalah Sukma dan Tesa. mereka kaget bercampur senang karena akhirnya bertemu Maisa. Mereka langsung berlari kearah Maisa dan langsung memeluknya. Maisa tidak memberikan respon apapun seperti pada malam itu, hanya air mata yang keluar dari kedua mata indahnya.

" Mai, aku sangat senang kita bisa bertemu, aku sangat merindukanmu, aku juga sangat mengkhawatirkan mu!", ucap Tesa yang tengah memeluk Maisa.

Maisa tidak berkata apapun, dia melepas pelukan kedua temannya itu dan langsung memasuki mobil Diki.

" Mai!! kenapa kau begini? setidaknya bicaralah pada kami, walaupun dengan mengatakan kau baik-baik saja, itu sudah cukup, jangan diam lalu menangis begitu!", ucap Sukma dengan rasa sedih.

" Biarkan Maisa dulu, nanti aku akan bicara dengan kalian, berikan nomor ponsel kalian padaku", ucap Diki mencoba menenangkan.

Mereka memberikan nomor ponsel pada Diki, hanya karena bertemu Maisa setelah sekian lama, mereka lupa dengan kejadian antara mereka dan Diki dulu. Mereka bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Diki memasuki mobil dan membawa Maisa bersamanya. Maisa tidak mengucapkan terima kasih ataupun bicara. Diki cukup memahami apa yang ada dipikiran Maisa, dan tidak ingin mengganggu Maisa saat ini. Diki hanya mengantar Maisa ke apartemen, dan menyuruhnya untuk beristirahat. Itulah yang yang terbaik yang bisa dipikirkan Diki.

Setelah mengantar Maisa, Diki segera menghubungi Tesa dan Sukma. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe.

" Dik, apa yang terjadi? mengapa kau bisa bersama Maisa? mengapa Maisa di kantor polisi?", tanya Tesa tanpa basi-basi.

" Sebelum aku menjawab, aku mau bertanya mengapa kalian ada di sini?", Diki balik bertanya.

Sukma menceritakan bahwa mereka tidak ada henti-hentinya mencari keberadaan Maisa sampai dia menemukan foto Maisa dan kekasihnya. Lalu mereka memutuskan untuk mencari kekasihnya yang mungkin bisa ditemukan, karena sudah tidak ada cara lagi untuk mencari Maisa. Berkat kerja keras akhirnya mereka mendapatkan titik terang juga. Salah seorang teman dekat kekasih Maisa itu memberitahu keberadaannya. Tujuan mereka mencari kekasih Maisa itu untuk menemukan Maisa. Tapi siapa sangka, mereka justru bertemu Maisa lebih dulu dari pada kekasihnya.

Setelah mendengar cerita mereka, Diki pun menceritakan dari pertama dia bertemu Maisa. Lagi-lagi air mata jatuh dari dua orang wanita itu lantaran mendengar kondisi temannya. Mereka begitu sedih karena tidak mampu berbuat apa-apa lantaran Maisa terus menjauh dari mereka.

" Dik, aku ingin ketemu Maisa, antar aku padanya!", pinta Tesa

" jangan dulu, biarkan dia menenangkan diri dulu, beban dia jauh lebih berat dari kita", jawab Diki.

Sebulan berlalu sejak kejadian itu, Maisa masih tetap tidak mau bicara pada Diki selain urusan pekerjaan. Maisa sepertinya menganggap Diki hanya bosnya di kantor, tidak lebih dari itu bahkan tidak sebagai seorang teman. Diki terus mencoba memahami hal itu dan tidak terlalu memaksakan keadaan. Sampai pada hari ulangtahun Diki, Diki mengumumkan bahwa perayaan ulangtahunnya akan diadakan di sebuah pulau, dengan membawa semua karyawan kesana. Diki sudah menyiapkan segalanya disana.

" Kita akan berada 2 hari di pulau itu, jika ada yang keberatan nanti, silahkan laporkan ke sekretaris atau asisten saya, masalah tempat menginap, makan, dan transportasi sudah saya siapkan, kalian hanya tinggal ikut saja, kita akan berangkat Sabtu jam 8.00, usahakan tidak ada yang terlambat ya!", ucap Diki menyampaikan undangan ulang tahunnya.

Pada hari Sabtu, mereka berangkat ke pulau itu. Perayaan ulang tahun Diki dilakukan di sebuah penginapan mewah dan besar yang memang disediakan di pulau itu. Penginapan itu sering di sewa untuk acara-acara besar orang-orang terpandang. Acara ulang tahun Diki berlangsung meriah sekali, semua karyawan sangat menikmati acara tersebut, kecuali satu orang yang tidak ingin menjadi bagian keceriaan itu, dia adalah Maisa. Maisa hanya duduk dan tidak bicara dengan siapapun atau memakan apapun. Diki menghampirinya dengan membawa kue ulang tahun nya.

" Makanlah walaupun sedikit, kau bisa sakit kalau tidak makan sama sekali", ucap Diki seraya menyedorkan kue kepada Maisa.

Bukannya perhatian itu bersambut, malah pecahan piring yang terdengar. Maisa mendorong kue itu dengan keras, hingga jatuh dari tangan Diki.

" Berhentilah berlagak peduli padaku!! kau seharusnya tidak mengeluarkan aku dari penjara itu, dengan begitu aku tidak ada hutang lagi padamu", ucap Maisa seraya meninggalkan tempat itu.

Seperti yang dikatakan orang, tidak semua niat baik itu disambut baik, tidak semua kebaikan dibalas dengan kebaikan, namun begitulah hidup dan waktu yang akan menjawab segala rahasia. Diki bukannya tersinggung dengan sikap Maisa, dia malah mengikuti kemana Maisa pergi. Maisa duduk di atas bebatuan di tepi pantai. Maisa itu menyimpan banyak misteri, dia yang bersikap buruk pada orang, dia juga yang menangis, Diki yang selalu bersikap baik padanya, malah dibenci. Diki mendekati nya dan duduk di sampingnya, Maisa langsung beranjak dan melangkah pergi. Diki menahan tangan Maisa, seraya berkata,

" Sampai kapan kau akan menghindari ku? sampai kapan kau akan terus berlari?"

" Aku akan berlari sampai aku tak sanggup lagi", jawab Maisa.

" Memiliki masa lalu yang buruk itu memang sakit ya Mai", ucap Diki dengan wajah tertunduk.

Mendengar perkataan itu, Maisa kaget, seketika ingatan buruknya muncul.

" Lepaskan aku!! aku tidak mengerti maksud mu!", teriak Maisa seraya melepaskan tangannya dari genggaman Diki dan mulai berlari menjauh.

" Tidak perlu lari lagi Mai! aku tau segalanya", ucap Diki yang sontak membuat Maisa berhenti berlari.

Diki mendekati Maisa dengan perlahan, lalu berkata,

" Apa yang terjadi pada ayahmu Mai?", tanya Diki.

" Dia sudah mati!", jawab Maisa.

" Berusaha untuk selamanya menutupi dan menyimpan luka itu tidak akan ada gunanya Mai! hanya akan membuat sakit hati dan dendam yang berkepanjangan, aku sudah tau segalanya, tetanggamu yang memberitahu ku", ucap Diki.

" Jika tau, mengapa harus bertanya lagi?! aku sudah melupakannya!" balas Maisa.

" Aku ingin mendengar dari mu Mai, karena seseorang tidak akan mengerti sakit sebelum dia merasakannya sendiri", ucap Diki.

" Dimana ayah mu sekarang Mai?! lepaskan perih di hati mu itu, jangan menahannya lagi, jangan membawanya berlari lagi, karena aku ada disini, tepat di depanmu, aku ada di depanmu untuk menghentikan agar kamu tidak berlari lagi", tambah Diki.

Maisa duduk kembali di bebatuan itu dengan air mata yang kembali berjatuhan, Diki duduk di hadapannya. Hari ini dia harus mengenang kisah yang tak ingin dia kenang, tapi hanya sekedar mengeluarkan beban dalam hati, cerita yang sudah tidak bisa diubah itu mungkin tak apa diceritakan. Ini adalah kisah masa lalu Maisa.

Nama ku Maisa Khaira, tidak, itu bukan namaku, nama asli ku Vania Khairani Putri. Aku anak tunggal yang sangat dicintai. Hidupku waktu kecil begitu beruntung, hidup dalam kemewahan dan limpahan kasih sayang kedua orang tuaku. Ayah memiliki sebuah perusahaan, dan ibu juga seorang wanita karier, tapi setelah melahirkan aku, ayah melarangnya untuk bekerja, dan memintanya hanya mengurusku saja karena ayah tidak ingin aku dibesarkan dengan kasih sayang orang lain. Ayah begitu perhatian pada kami, dan Ibu sangat dermawan, ibu sering memberikan sumbangan untuk kemajuan RT di kompleks rumah kami dan juga sering membantu orang-orang yang membutuhkan. Setiap Minggu kami pergi liburan sama-sama, mulai dari ke taman, mall, tempat-tempat wisata baru dan banyak lagi. Aku sangat bahagia waktu itu. Namun tampaknya takdir tidak membiarkanku bahagia selamanya. Bahagia berubah menjadi sakit, tawa berubah menjadi tangis, kemewahan berubah menjadi kesengsaraan, cinta berubah menjadi benci, hati yang terang kini jadi buta, begitulah keadaanku setelahnya.

Peristiwa itu terjadi bertepatan dengan ulang tahun ku yang ke-5. Ya, umurku saat itu tepat 5 tahun. Saat itu dikala kami sibuk untuk mempersiapkan perayaan ulang tahunku yang akan diadakan esok hari, tiba-tiba datang beberapa orang laki-laki berjas ke rumah, mereka menanyakan keberadaan ayah, dia bilang ayah punya hutang padanya dan tidak bisa melunasinya, karena jumlah hutang yang cukup besar, mereka bilang akan menyita rumah kami, dan kami di minta untuk bersiap-siap meninggalkan rumah, malam ini harus kosong, perintah orang-orang itu.

Malamnya ayah pulang dengan beban di wajahnya, mobilnya pun sudah tidak ada lagi, ibu bergegas menemui ayah ke depan pintu, belum lagi ibu sempat bertanya, ayah memeluk ibu dan meminta maaf, lalu mengajak kami keluar dari rumah itu, ayah bilang usahanya mengalami kebangkrutan. Ibu tidak masalah dengan itu, ibu tetap tersenyum manis pada ayah, karena ibu juga berasal dari keluarga yang sederhana dulunya. Berbeda dengan ayah yang memang hidup dalam kemewahan sejak kecil. Malam itu kami berjalan tanpa tau tujuan, tapi ayah berjanji tidak akan membiarkan kami tidur di jalanan. Kehilangan arah, kehilangan tujuan dan kehilangan tempat kembali, itu lah posisi keluarga ku malam itu. Malam yang damai kini sudah pergi, hanya malam yang dingin yang datang menghampiri, terombang-ambing di jalanan, tanpa tau kemana harus melangkah. Di tengah kebuntuan itu, kami bertemu dengan pak RT, dan ayah menceritakan keadaan kami pada pak RT, mungkin karena ibu dulu suka membantu, makanya tanpa ragu pak RT menyuruh kami untuk tinggal di salah satu kontrakannya, walau tidak mewah dan terletak sedikit jauh dari keramaian, setidaknya dapat untuk berteduh dan berlindung.

Sebulan berlalu kami tinggal disana, ayah yang tiap hari keluar rumah untuk mencari pekerjaan, tidak juga mendapatkan pekerjaan tersebut. Kondisi kami waktu itu sudah sangat kritis, kami hanya makan 1 sampai 2 kali sehari, itu pun hanya makan seadanya. Ibu akhirnya meminta izin kepada ayah untuk bekerja, karena kondisi yang sangat buruk itu, namun ayah tetap tidak mengizinkan nya karena aku. Tapi ibu tetap bersikeras, sehingga mereka bertengkar, dan ayah pergi keluar rumah sedangkan ibu menangis. Aku hanya bisa melihat kejadian itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Malam itu sudah larut, tapi ayah tak kunjung juga kembali, sampai aku tertidur. Di tengah lelap tidurku, terdengar suara orang yang sedang bertengkar dari luar, aku keluar dan melihat ayah tengah mabuk. Aku tidak begitu mengerti apa yang terjadi, tapi ayah memukul ibu dan mendorong ibu dengan keras, sehingga terdengar suara dentuman antara kepala ibu dan dinding, dan ibu langsung tidak sadarkan diri. Aku berlari ke arah ibu dan memanggil-manggil ibu dengan isak tangis ku, sedangkan ayah terus berjalan memasuki kamar.

Keesokan harinya ayah terbangun dan keluar dari kamar, sementara aku dan ibu masih berada di tempat semalam, hanya saja aku memberikan ibu selimut dan meletakkan kepala ibu di atas pangkuan ku. Ayah kaget melihat kami dan dia bertanya apa yang terjadi, mengapa kami disana, dan ibu kenapa, dia bertanya seolah-olah tidak melakukan dosa apapun, karena memang semalam ayah dalam keadaan mabuk. Aku tidak menjawab satupun pertanyaan ayah, aku yang dulu memandang ayah sebagai tempat berlindung justru kini ketakutan melihatnya. Ayah tidak terlalu menghiraukan ku, dia bergegas membawa ibu ke rumah sakit. Aku dengar dokter bilang kalau ibu mengalami pendarahan di kepalanya dan harus segera dioperasi. Setelah bicara dengan dokter, ayah menemui ibu dan aku, ayah pamit mau bekerja, begitu katanya padaku. Aku yang masih dalam keadaan takut, tidak berkata apapun, dan hanya mengangguk saja. Malamnya, bukannya membawakan aku makanan, karena aku tidak ada makan sama sekali hari itu, ayah justru kembali dalam keadaan mabuk lagi. Bersamaan dengan itu kondisi ibu semakin memburuk, yang pada akhirnya aku mendapatkan luka mendalam yang pertama, ibu meninggal malam itu.

Isak tangis ku pecah lagi malam itu, orang yang menyayangi ku dan orang yang aku sayangi meninggalkan aku, sementara tempat berlindung ku juga sedang tidak dalam kondisi yang baik. Setelah pemakaman ibu selesai, aku melihat ayah merenung dan kadang air mata jatuh dari matanya, tampaknya dia sudah menyadari apa yang dilakukannya. Aku sama sekali tidak mendekati nya ataupun berbicara, aku masih merasa takut, dan ayah pun tidak mendekatiku. Beberapa hari berlalu, kondisi ayah bukannya membaik karena apa yang terjadi pada ibu, ayah malah semakin menjadi, seakan aku tidak mengenalnya lagi. Dia selalu pergi pagi dan pulang malam dalam keadaan mabuk. Kemaren ayah melakukan kekejian pada ibu lantaran dia tidak sadar, tapi sekarang dia melakukan kekejian dengan sengaja padaku. Aku di paksa menjadi pengemis di jalanan, dan harus menyetor uang padanya semuanya, tanpa peduli padaku sama sekali. Aku bahkan waktu itu merasa tidak pernah mengenal pria yang dulu aku sayangi dan juga menyayangi aku itu.

Suatu malam, aku tidak membawa uang, lantaran aku memberikan uang yang aku dapat pada seorang nenek tua yang tengah kelaparan. Tentu saja hal itu membuat ayah marah besar, dia mengikatku pada tiang dan memukuli ku dengan tali yang cukup besar, dia membungkam mulutku dengan kain karena takut ada orang yang mendengar jeritan ku. Dalam usiaku yang begitu muda, tentu kulitku lebih mudah untuk terluka dan luka yang paling parah ada di pinggang ku bagian kiri. Sakit dari pukulan itu tidak terasa begitu sakit dibandingkan dengan luka yang timbul di dalam hatiku. Kondisi itu terjadi dalam beberapa Minggu tanpa ada yang tau. Pada malam itu, untuk kedua kalinya aku tidak bisa membawa uang pulang, dan ayah yang aku temui waktu itu dalam keadaan mabuk juga, dia kembali melakukan hal yang sama pada ku, sehingga tidak terhitung lagi luka yang ada di badanku. Ntah apa yang tengah terjadi padanya, dia bagaikan monster pada malam itu, dia menjadi begitu kejam, ayah tampak seperti ingin membunuhku pada malam itu, karena tampaknya tetangga sudah mulai curiga dengan ayah dan melihat tubuh ku yang sering penuh dengan luka. Namun, takdir berkehendak lain, saat ayah tengah memukuli ku, pak RT datang dengan membawa polisi, pada malam itu juga, ayah di bawa ke kantor polisi, dan aku tidak tau apa yang terjadi padanya setelah itu. Sementara itu aku segera di bawa ke rumah sakit untuk mengobati luka di tubuhku dan ada beberapa luka yang dijahit, kemudian aku di bawa ke psikiater. Mereka bilang aku mengalami penurunan mental yang cukup parah dan butuh waktu yang lama untuk menyembuhkan nya, aku hidup bagaikan orang yang kehilangan jiwa dan pikiran. Aku bisa berjalan, berdiri, duduk, dan lainnya, tapi aku merasa diriku sudah tidak ada, tatapan kosong, mulut terasa berat dan ketakutan dikala melihat pria dewasa.

Aku menerima perawatan psikis selama satu tahun, karena memang cukup sulit untuk mengembalikan kesehatan mental ku. Setelah selesai menjalani perawatan selama setahun, aku diberi tempat tinggal oleh pak RT, sebuah rumah kecil di pinggir desa, rumah yang pernah di kunjungi oleh Tesa dan Sukma dulu. Aku juga disekolahkan oleh pak RT, dan diberi biaya hidup. Sejak aku selesai pemulihan, aku di jaga dari hal-hal yang akan mengingatkan aku pada kejadian yang mengundang trauma itu. Itulah mengapa pak RT tidak membiarkan aku tinggal di rumah yang sebelumnya, nama ku pun diganti sejak saat itu menjadi Maisa Khaira. Aku tinggal sendiri di rumah itu lantaran aku tampak tidak nyaman dengan keberadaan laki-laki di sekitar ku, tapi adik pak RT yang tinggal di dekat tempat aku tinggal selalu mengunjungi ku, membawakan makanan, dan menyiapkan segala keperluanku. Dia adalah istri dari bapak yang menceritakan tentangku kepada mu dulu. Meskipun telah menjalani perawatan dan pemulihan mental, aku seperti nya tidak bisa kembali ke keadaan semula. Selama aku sekolah SD aku tidak banyak bicara, dan juga tidak berteman dengan siapapun, aku masih sedikit tertunduk ketika melihat laki-laki, terutama laki-laki dewasa, sebenarnya itu bukan rasa takut lagi, lebih tepatnya benci bercampur dendam yang ada di dalam jiwa ku. Dendam akan kekecewaan, benci akan kekerasan dan kehilangan rasa percaya pada orang yang dulu diyakini sebagai tempat berlindung. Kehilangan mungkin tak akan menyisakan dendam, tapi kecewa pada orang yang sangat dicintai itulah yang menimbulkan rasa benci dan dendam yang tak pernah usai.

Setelah menamatkan SD, aku masuk SMP, dan keadaan ku sudah sedikit membaik, aku sudah mulai berteman, namun jika ada laki-laki yang mendekati ku, aku akan berusaha membuatnya menjauh dan bersikap buruk padanya. Aku hanya punya satu orang teman waktu itu, dia gadis yang baik dan juga cantik. Namun dia memiliki kekasih sewaktu kami kelas 2, aku tidak terlalu masalah dengan itu, hanya saja aku menjaga jarak dengan kekasihnya itu, bahkan aku tidak tau namanya. Tapi lagi-lagi hal yang tidak ingin aku lihat, kembali hadir di hadapanku, kekasih temanku itu bersikap kasar pada temanku, hal itu membuat rasa benci semakin mendalam. Sehingga aku memutuskan tidak akan pernah berhubungan dengan laki-laki lagi, karena telah tertanam di pikiran ku bahwa semua laki-laki itu kasar, egois dan jahat. Di waktu SMA aku merasa jauh lebih baik lagi, lantaran aku bertemu dengan Sukma dan Tesa. Mereka mampu membuat ku tersenyum kembali walaupun tidak sepenuhnya dari hati. Aku berpura-pura menjadi orang yang ceria demi mereka. Kemudian aku bertemu dengan mu yang akhirnya menambah kebencian ku. Dan pada waktu itu juga aku bertemu Kinan, di saat olimpiade pertama ku. Ntah mengapa aku memandang nya beda, dia mengerti rasa sakit ku, dia memberikan kehangatan pada ku dan menjadi sandaran untuk ku yang selama ini tidak pernah aku dapatkan. Dia perhatian padaku, dia memberi kasih sayang tanpa aku harus takut di sakiti, aku jadi begitu menyayangi dan mencintai nya. Namun siapa sangka dia juga memiliki perasaan yang sama pada ku, kami sering bertemu dan pergi jalan-jalan bersama, dan aku pun menjalin hubungan dengan nya sampai sekarang. Aku merasa bahagia, aku merasa tidak akan sakit lagi, aku membangun hubungan tanpa harus takut kecewa lagi dan juga itu menjauhkan aku dari kemungkinan orang akan menyakiti ku.

Dan ntah mengapa sekarang kau datang memisahkan kami, dan aku harus berada di dekat mu setiap saat, aku ingin sekali mengakhiri ini semua dan mencari keberadaan Kinan. Tapi sebelumnya ada yang ingin aku perlihatkan padamu.

Maisa mengangkat bajunya sebelah kiri sampai batas rusuknya, dan tampak bekas luka itu masih ada.

Diki yang melihat luka itu, langsung memeluk erat Maisa tanpa berpikir apapun lagi.

" Aku tau sakit mu Mai!".

Pelukan itu membuat Maisa kaget, tapi dia merasa tidak mampu menjauhkan nya, sehingga dia membiarkan Diki memeluknya dengan erat.