Titik embun membasahi bumi, terdengar lantunan suara azan, bercampur dengan sejuknya udara pagi, disaat itulah seorang gadis yang tak mengingat apapun terbangun. Kepala terasa pusing, lantaran sesuatu yang tak seharusnya dia minum, dan kini ditambah dengan rasa bingung akan keberadaan nya.
Perlahan dia mulai berjalan meninggalkan tempat tidurnya menuju sebuah jendela kecil, dia membuka jendela tersebut dan melihat dimana sebenarnya dia berada. Dia berusaha mengingat sesuatu sampai terlintas dipikirannya walaupun samar, dia ingat bahwa semalam ada laki-laki yang membawanya ke rumah itu. Ingatan yang sebelumnya membuat dia penasaran justru sekarang membuatnya kaget bercampur rasa takut. Dia bertanya-tanya siapa laki-laki itu. Beberapa pikiran buruk datang menghantuinya. Dengan segera dia mengambil tasnya dan bergegas keluar dari kamar itu.
" Sudah bangun Mai?", ucap seorang laki-laki yang bersandar pada dinding di dekat pintu kamarnya.
Maisa kaget, karena dia sangat takut akan apa yang ada dipikirannya itu benar.
" Siapa kau?! mengapa kau membawaku kesini?!", ucap Maisa tanpa menjawab pertanyaan laki-laki itu.
" Tak ku sangka walaupun tidak bertemu hanya 2 tahun, kau sudah melupakan ku, atau karena kau masih dalam pengaruh alkohol semalam?", sahut Diki seraya membalikkan badan menghadap Maisa.
" Diki?!", ucap Maisa kaget.
" Mengapa kaget begitu, aku bukan hantu, lagian tidak ada juga hantu sepintar dan setampan aku", canda Diki sambil tertawa kecil.
Melihat Diki Maisa terdiam kaku, tidak tau apa yang harus diucapkannya.
" Duduklah dulu!, aku akan membuatkan teh untukmu, setidaknya pengaruh alkohol semalam bisa benar-benar hilang", ucap Diki.
Maisa tidak menjawab apapun, dia hanya langsung duduk, berusaha mengingat beberapa hal yang terjadi semalam. Ingatan itupun akhirnya muncul juga, dia ingat saat dia dikejar-kejar polisi. Justru ingatan itu semakin membuatnya canggung, karena Diki telah menyelamatkannya. Dia tidak tau harus bersikap seperti apa, lantaran dia sangat membenci laki-laki apalagi itu adalah Diki, orang yang selalu merendahkan orang lain sewaktu sekolah dulu.
" Ini teh nya, silahkan diminum", ujar Diki.
Maisa terlihat tidak menghiraukan perkataan Diki, dia tidak menyaut perkataan Diki ataupun berkata apapun, diam yang sulit untuk diartikan.
" Ada apa? apa kau tidak mau minum? aku tidak menaruh racun di dalamnya kok!", ujar Diki mencoba mengolok Maisa.
" Kenapa kau membawa ku kesini?! mengapa kau menolong ku?! mengapa kau peduli padaku?!", tanya Maisa tanpa melihat pada Diki.
" Mengapa kau tanya begitu? aku ini teman mu juga, sudah kewajiban ku untuk menolong teman yang dalam kesulitan", jawab Diki.
" Aku tidak minta pertolongan mu sama sekali, aku tidak minta perlindungan mu sama sekali, jadi berhentilah bersikap manis padaku, aku sangat membencimu!!", ucap Maisa dengan lantang sekali.
" Apa begitu sikap mu kepada orang yang telah menolongmu?!", Diki balas membentaknya karena kesal.
" Aku sudah bilang aku tidak meminta mu untuk menolong ku, jadi minum saja teh mu itu sendiri, aku akan pergi, aku akan anggap perbuatanmu itu hutang, aku pasti akan membayarnya nanti!", ujar Maisa seraya berjalan mendekati pintu.
" Ooh...sekarang kau ingin pergi ya?, pergi lah jika kau mau, tapi jangan menyesali aku nanti begitu kau keluar disambut oleh polisi", balas Diki.
" Kau mengancamku?!", tanya Maisa kesal.
" Iya! karena kau berhutang padaku dan aku tidak ingin dilunasi nanti, kau harus membayarnya mulai dari hari ini!", jawab Diki seraya mendekati Maisa.
Maisa terdiam, Maisa memang membenci Diki, tapi dia bukanlah tipe orang yang mengabaikan kebaikan orang lain. Maisa menghela nafas seraya berkata,
" Apa yang kau mau? katakan cepat agar aku bisa pergi jauh darimu", tanya Maisa.
" Duduklah dulu! akan aku jelaskan" jawab Diki .
" Tidak perlu, cepat saja katakan apa yang kau mau!", ucap Maisa.
" Baiklah, mulai hari ini kau akan ikut denganku, bekerja untuk ku dan menuruti segala perkataan ku", ucap Diki.
" Apa?! aku tidak mau! untuk apa aku menuruti orang sepertimu!", tolak Maisa.
" Hmmm....aku rasa kau tidak bisa menolaknya, aku hanya perlu menghubungi polisi dan semuanya selesai", balas Diki.
Meskipun tak sudi, Maisa terpaksa mengikuti kemauan Diki, jika memang dia tak ingin berujung di penjara. Dengan rasa kesal Maisa kembali duduk di kursi dan meminum teh yang dibuatkan Diki untuknya. Selang beberapa jam Diki dan Maisa berpamitan kepada Ciko dan langsung berangkat. Maisa yang tidak tau akan dibawa kemana itu hanya bisa menurutinya. Selama perjalanan suasananya terasa sunyi sekali, tidak ada satupun diantara mereka yang memulai percakapan, hingga Maisa benar-benar tidak tahan ingin tau kemana laki-laki ini akan membawanya.
" Kau akan membawa ku kemana?!", tanya Maisa.
" Lihat saja nanti!", jawab Diki singkat.
" O iya, apa kau mempunyai pekerjaan?", tanya Diki, setelah diam beberapa saat.
" Punya, tapi aku baru saja kehilangannya, tepat pada peristiwa semalam", jawab Maisa.
" Hilang?! apa pekerjaan mu? apa kau mencuri? sekarang aku jadi tau kenapa kau dikejar polisi semalam, ternyata kau maling ya, apa yang kau ambil?! kembalikan kepada orangnya!", desak Diki sambil melirik kearah tas Maisa.
Muka Maisa tiba-tiba saja berubah jadi merah, darahnya seakan sampai di ubun-ubun. Ingin rasanya memukul Diki, namun dia tidak bisa melakukannya karena hutangnya pada Diki.
" Mulut kau masih seperti dulu ya! tidak berubah sama sekali, pekerjaanku mungkin bukan pekerjaan yang baik, tapi aku tidak pernah mengambil hak orang lain!", balas Maisa.
" Lalu apa pekerjaanmu?", tanya Diki lagi.
" Sebaiknya kau tidak perlu tau, lagian bayar hutangku hanya untuk mengikuti perkataan mu, bukan memberi tau mu siapa diri ku", jawab Maisa.
Diki tidak meneruskan percakapan, hingga sampai ke sebuah gedung. Ya, itu adalah perusahaan Diki, lebih tepatnya perusahaan keluarganya Diki.
Diki dan Maisa masuk ke perusahaan itu. Diki membawa Maisa ke ruangannya, dan meminta Maisa untuk duduk.
" Mulai sekarang kau akan jadi asisten ku, karena kau berada disini, maka kau harus mengikuti peraturanku, pertama, kau tidak boleh minum minuman keras lagi, kedua, kau tidak boleh bertemu dengan kekasih mu lagi ataupun berkomunikasi, ketiga kau tidak boleh bertemu dengan satupun teman bar mu, kau akan selalu dalam pengawasanku, mulai hari ini kau tidak akan tinggal di tempat tinggalmu lagi, kau akan tinggal di apartemenku yang ada dekat kantor ini, ini perintah!", ujar Diki mencoba menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh Maisa.
" Kau pikir kau itu siapa?! berani sekali membatasi gerak ku! aku mau komunikasi sama siapapun, aku mau bertemu siapapun, itu bukan urusanmu! aku juga tidak mau tinggal di apartemen mu!", balas Maisa dengan nada tinggi.
" Hey!!...kau lupa sama hutangmu?! aku cuma minta kau melunasi nya", ucap Diki.
" Sudahlah! aku tak tahan lagi, aku tidak mau berhutang pada mu lagi, kalau mau telpon polisi, telpon saja! aku ngak peduli!", balas Maisa.
" Owh gitu, ok, itu urusan gampang", ucap Diki seraya mengotak-atik hp nya.
Tak butuh waktu lama, Diki langsung menghubungi polisi.
" Hallo pak, saya mau melaporkan orang yang lari....". Ucapan Diki terpotong lantaran Maisa merebut hp dari tangan Diki.
" Maaf pak, kami salah sambung, selamat siang!", kata Maisa pada polisi itu, lalu mematikan telponnya.
" Ada apa ini?!", tanya Diki.
" Baiklah, aku akan ikuti perkataanmu, tapi aku ingin tau sampai kapan aku akan mengikuti kemauan mu?", tanya Maisa dengan rasa terpaksa.
" Sampai aku bilang selesai!", jawab Diki.
" Aishh...kau bersikap semau mu hanya karena aku berhutang", ucap Maisa dengan sedikit kesal.
" Terima saja, nanti kau bakal senang", balas Diki.
Tak lama kemudian mereka menuju kontrakan tempat Maisa tinggal dan membawa semua barang yang diperlukan, lalu mengantarnya ke apartemen Diki.
" Ini apartemen ku, mulai hari ini kau akan tinggal disini, kau boleh gunakan sesuka mu, tapi jangan merusak barang-barang ku yang berada disini dan kau harus ingat aturan yang disampaikan tadi, paham?!", jelas Diki.
" Iya!", jawab Maisa singkat.
" Baiklah silahkan rapikan barang-barang mu dan bersihkan apartemen ini, tidak terlalu kotor sih, hanya sedikit berdebu, aku akan kembali ke kantor, jika kau butuh sesuatu, hubungi saja aku, nomorku ada di dekat telepon rumah itu, jika kau ingin keluar dari apartemen jangan lupa bilang padaku", jelas Diki panjang lebar.
" Iya!", lagi-lagi Maisa menjawab singkat.
" O iya aku lupa, kau mulai bekerja besok, tolong berpakaian yang rapi", ucap Diki.
" Iya", jawab Maisa singkat lagi.
Disinilah Maisa menemukan sesuatu dalam hidupnya, entah ini harus disebut sebuah cahaya atau kegelapan. Entah hidupnya akan berubah setelah ini atau hanya akan mengulang luka lama.
Keesokan harinya, sesuai perintah Diki, Maisa pun datang ke kantor dengan pakaian rapi. Tapi karena tidak begitu tau tentang jam masuk kantor, dia malah menemukan kantor masih terkunci dan terpaksa menunggu di luar. Selang waktu beberapa menit, satpam membuka pintu kantor, dan beberapa karyawan juga datang. Tak lama kemudian Diki pun juga datang.
" Udah lama Mai?", tanya Diki sambil berjalan.
" Tidak juga", jawab Maisa seraya mengikuti Diki.
" Nanti sekretaris ku akan menunjukkan catatan kegiatanku, nanti dia akan menjelaskan padamu apa saja yang perlu kau lakukan", ucap Diki.
" Baik", jawab Maisa.
Seminggu berlalu Maisa bekerja untuk Diki, dan dia tampak sudah mulai terbiasa, dan tidak terlalu membenci Diki lagi. Namun siang itu kejadian tak terduga pun terjadi. Sehabis makan siang, tiba-tiba datang beberapa orang polisi ke kantor Diki. Diki cukup kaget mengapa tiba-tiba ada polisi di kantornya.
" Dik, kau menghubungi polisi? aku kan sudah setuju dengan syaratmu, aku tidak melanggar aturan mu kok", tanya Maisa pada Diki dengan sedikit rasa takut.
" Tidak, aku sama sekali tidak menghubungi polisi", jawab Diki.
Belum sempat Diki keluar untuk menemui polisi, polisi pun sudah masuk ke ruangannya dan langsung menangkap Maisa.
" Ada apa ini? maaf pak, mengapa karyawan saja ditangkap pak? dan bapak tidak seharusnya masuk ke ruangan saya begitu saja!", ucap Diki cukup kesal.
" Maaf pak, kami diperintahkan untuk menangkap salah seorang karyawan bapak yang bernama Maisa karena ada beberapa laporan yang terkait dengan dirinya", jelas polisi itu.
" Maaf pak, tapi apa salah karyawan saya pak?, bapak tidak bisa menangkapnya begitu saja", cegah Diki.
" Maaf pak, tapi kami memiliki surat perintah, dan perihal kesalahan akan kami jelaskan di kantor nanti, permisi", ucap polisi seraya membawa Maisa pergi.
" Tapi pak....pak! tunggu!", teriak Diki seraya mengejar polisi yang membawa Maisa.
" Mohon kerjasama nya pak!", cegah seorang polisi. Diki tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat polisi membawa Maisa, dan mengikutinya dari belakang.
Kali ini Diki terpaksa untuk berurusan dengan polisi, hal yang sama sekali tidak dia inginkan. Walaupun dia tidak tau apa yang telah diperbuat Maisa, tapi dia tidak akan membiarkan Maisa dipenjara. Sesampainya di kantor polisi, Diki segera duduk di samping Maisa yang akan diintrogasi. Tapi, belum lagi polisi berbicara, Diki sudah lebih dulu bertanya.
" Pak, mengapa karyawan saya ditangkap pak?"
" Berdasarkan laporan yang kami dapatkan dari beberapa tahanan dari bar yang dibersihkan seminggu yang lalu, Karyawan bapak ini, Maisa khaira, merupakan salah seorang yang berperan penting dalam pengelolaan bar tersebut, Maisa merupakan jembatan masuk bagi miras dan obat terlarang ke bar tersebut, ini adalah pengakuan langsung dari pengelola bar tersebut, Dina Loren", jelas polisi.
Diki hanya diam tidak bisa berkata apa-apa, karena dia sendiri tidak tau apapun tentang Maisa, terutama sejak dia menghilang selama 2 tahun kemaren. Diki tidak punya pengetahuan apa-apa untuk membela Maisa, tapi dia tetap berusaha untuk bisa membebaskan Maisa. Sehingga pada hari itu Maisa terpaksa masuk dalam kurungan karena dia tidak membela diri dan tidak pula ada yang membela nya.
" Aku tidak punya hutang lagi padamu", ucap Maisa pada Diki seraya berjalan menuju sel.