Jennie berulang kali menghubungi anak sulungnya itu, namun tidak ada jawaban, padahal hari sudah jam 8 malam, kemana anaknya itu tidak biasanya dia begitu.
Perihal shani, dia membiarkan anaknya berkutat dengan emosinya, karena dia benar benar lelah untuk sekedar memberi pengertian kepada anak nomor duanya itu.
"Anak gue kak....
"Iya Ali lagi cari Lisa ya, lo makan dulu ya Jen, kasian anak lo belum dapat asupan dari siang"
"Anak gue kak... Anak gue"
"Iya Lisa pasti ketemu kok, makan ya dek..."
"Kak Lisa...
"Iya Lisa pas...
"Assalamualaikum...
"Kakak.... Ya Allah kak bunda khawatir"
"Bunda nungguin kakak?, Handphone kakak lowbet bun maaf ya"
"Kak... Hikss"
"Bunda kenapa?"
"Alat bantu denger lo mana Lis?"
"Oh itu di injek Shani tante"
"Lisa bener?"
"Apa???"
"Kakak liat bibir bunda... Alat bantu denger kakak di injek Shani?"
Lisa langsung memberikan tatapan tajam kepada wanita bermata kucing disampingnya ini, dia mati matian untuk menyembunyikan itu semua dari keluarganya namun Ruby malah dengan entengnya membocorkan itu semua.
"Anak itu keterlaluan..."
"Bunda... Tadi cuma ke injek, kakak gak sengaja jatohin dari saku"
"Kakak liat bibir bunda... Mata kakak bukak jangan merem, mata itu gak bisa boongin bunda kak, kamu jadi anak bunda udah 16 tahun, bukan sehari dua hari"
"Bunda... Jangan marahin Shani, kakak yang salah, please bunda nanti Shani tambah benci sama kakak"
Jennie memejamkan matanya erat, hatinya terluka lagi, Lisa nya kembali merasakan ketakutan yang luar biasa tentang kebencian lagi dan lagi, entah kapan semua itu berakhir, dia takut Lisa tumbuh dengan kalut dalam tekanan.
"Gak ada yang akan benci kamu kak... Bunda yang jamin"
Pelukan dan ciuman dipucuk kepala itu sedikit menenangkannya, rasa sakit tidak disukai bahkan sudah menjadi makanan sehari hari untuknya, jadi untuk apa lagi dia menangis untuk hal yang sama, tidak akan juga berubah.
"Pulang ya kak"
"Gak ya bun... Kakak disini aja boleh? Biarin Shani tenang dulu, besok kalau Shani udah baikan kakak pulang ya, kakak janji"
"Kak...
Ruby meneteskan air matanya, dalam diam dia ikut hanyut dalam rasa sakit ini, betapa besar hati yang Lisa miliki, memaafkan yang jelas jelas yang sudah menginjak harga dirinya, membuat sekelilingnya biasa saja padahal dirinya terluka luar biasa.
"Ruby pulang dulu ya tante, bunda"
"Eh iya Ruby makasi ya, maaf jadi dicuekin deh"
"Gak papa kok tante... Lis gue cabut ya"
"Apaan?"
"Lisa liat bibir bunda, Ruby pamit mau pulang"
"Oh iya makasi ya Ruby... Gue gak tau lagi kalo gak ada lo tadi"
"Sama sama, Assalamualaikum"
"Walaikumsalam"
"Bunda tidur sama Oca ya, kakak pengen sendiri boleh?"
"Kakak...
"Jen.. kasih dia waktu ya"
Cup !
Jennie melepaskan kepergian anaknya dengan was was, dia tau anaknya terluka begitu dalamnya, tapi apa yang bisa dia lakukan, selain berdo'a untuk segala hal tentang Lisa nya.
"Kita keknya harus pesen baru lagi alat bantu denger anak lo"
"Iya...
Sementara itu, Lisa menutup pintu kamarnya pelan mengunci segala macam akses untuk masuk ke kamarnya.
Sakit... Iya sangat sakit. Dia meluruh di lantai dingin itu, memeluk tubuhnya erat menangis tanpa suara, getaran hebat itu menadakan pedih yang luar biasa, sebegitu besarkan salahnya hingga kebencian yang sedemikian rupa selalu dia dapatkan. Dia bahkan mencintai adik kecilnya itu, sungguh demi tuhan tak akan dibiarkan satu orangpun menyakiti Shani dan Sheno, bahkan ayahnya sendiri.
Lisa menggenggam serpihan alat bantu dengarnya, linangan air mata itupun sontak membasahi tangan dan alat itu, tak dapat dibendungnya lagi, kesedihan ini sudah berada ditumpukan paling atas dari rasa sabar yang dia pupuk selama ini.
"Apa salah kakak dek, kenapa kamu benci banget sama kakak"
Lisa menggigit bibir bawahnya kuat, menahan isakannya agar tak terdengar oleh bundanya, bahkan di foto keluarga yang ada di dalam kamarnya tidak ada satupun fotonya yang terpampang di dalam sana, namun dengan lapang dada dia selalu memaklumi, asalkan mereka bahagia dia terluka tiap haripun tidak masalah untuknya.
"Bilang bunda ya dek jangan lagi ajak kakak buat tinggal di rumah, biar kasih sayang mereka bisa full buat kalian"
Lisa tersenyum disela tangisannya, dia tau dia bukan lagi dunia mereka, adiknya sudah mulai remaja dan terus bertumbuh, mereka butuh kasih sayang ayah dan bundanya, iya mereka lebih layak untuk itu.
Lisa mengusap jahitan pasca operasi di tubuhnya, kembali mengurai senyum disana, paling tidak dia sudah mengorbankan harta paling berharga di tubuhnya, yaitu hati dan ginjalnya.
"Semoga kalian bisa hidup lebih baik dengan hati itu ya dek, dan untuk Om jaga ginjalnya ya Om, Lisa cuman punya satu lagi, tapi kalau Om gak bisa jaga bilang Lisa ya, Lisa mau kok donorin satu lagi biar om bisa hidup sehat lagi"
Usapan terakhir pada foto Nobani, meruntuhkan pertahanannya, dia berlari ke dalam kamar mandi dan menangis sejadi jadinya disana, bahkan dia tidak cukup kuat untuk menanggung ini sendirian.
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
"Anak lo udah balik makan ya"
"Lisa belum makan kak"
"Iya nanti gue bikin nasi goreng tericasin buat dia biar dia ngiler mau makan"
"Tapi...
"Jangan egois ya anak lo butuh asupan, lo mau anak lo lahirnya busung lapar gara gara kurang gizi"
"Jingan lo...
"Jen...
"Hmm?"
"Jangan siksa Lisa ya"
"Maksud lo?"
"Jangan cerai ya sama Noban? Lo pasti tau kan kalau lo cerai sama Noban akan nimbulin kebencian baru untuk Lisa, Lisa gak sekuat itu jen, dia lemah"
"Sampai kapan kak? Lisa gue menderita?"
"Luka pasti akan sembuh pada waktunya Jen"
"Gue tau... Tapi kapan kak, anak gue udah terlalu menderita"
"Kasih waktu ya Jen..."
Huh...
Air mata itu kembali meluruh begitu saja, dia bahkan sudah lelah berteriak untuk keadilan anaknya, dia berusaha ikhlas untuk menunggu sebuah jawaban untuk segala do'a-do'anya.
"Bantu gue jaga Lisa ya kak"
"Tanpa lo minta gue pasti jaga dia buat lo"
"Gue akan bawa Noban untuk minta maaf sama Lisa atas semua perlakuannya"
"Semangat pokoknya buat lo"
Jennie tersenyum hangat dibalik air matanya, dia tidak akan menyerah kali ini, dia pasti akan menyeret ayah anaknya itu untuk mengucapkan maaf ataa kekacauan yang telah dia lakukan selama ini.
"Sekarang makan ya"
"Hmmm kak"
"Apaan?"
"Gue lagi mau gudek Jogja"
"Yaudah ke Block M yuk sekalian kulineran"
"Gak mau...
"Trus gimana? Kan lo tau gue gak bisa bikin gudek Jogja"
"Ya iya gue tau"
"Lah terus?"
"Gue mau gudek Jogja tapi dari Jogja langsung"
"ALLAHUAKBAR, SEMUA ANAK LO DOYAN BANGET NGEREPOTIN GUE"