Chereads / I'am Not Your Bitch / Chapter 3 - CHAPTER 3.

Chapter 3 - CHAPTER 3.

PLAK!!

Tamparan yang cukup keras mendarat di wajah Erza meninggalkan bekas tangan berwarna merah yang begitu kontras dengan kulit putihnya.

Anggun memasang wajah geram, wajahnya tak kalah merah dengan bekas merah di wajah Erza. Kemarahannya menyulut hingga ke ubun ubun sementara lelaki di depannya hanya memasang wajah datar tak merasa bersalah.

Kemarahan Anggun semakin naik melihat ekspresi itu, sekali lagi ia melayangkan tangannya namun Erza dengan mudah menangkisnya.

"Satu kali tamparan apa belum bisa membuat mu puas.? Atau jangan bilang kalau kamu ketagihan menyentuh wajah ku." Godanya mengeluskan tangan Anggun ke pipinya. Hal itu sontak membuat Anggun menarik tangannya kembali.

"Psikopat gila.!" umpatnya kesal.

"Yah, aku memang gila. Tergila gila pada mu, Anggun Puspita Silsilia."

"Bagaimana bisa?,, " Anggun terheran. Berkenalan pun tak sempat bagaimana bisa Erza mengetahui namanya.? Demikian pikirnya.

"Sudah ku bilang aku mengagumi mu, kan.? Bisakah tidak memasang wajah seperti itu. Aku terlihat seperti seorang penguntit oleh cara mu memandang."

"Ya, anda memang seorang penguntit." dengus Anggun membenarkan. Emosi Erza mulai terpancing. Karena tidak terima di tuding sebagai penguntit ia meraih pergelangan tangan Anggun dan mencengkramnya.

"Tarik kembali kata-kata mu.!" perintah Erza.

Karena kuatnya cengkraman Erza, Anggun hanya bisa mengaduh kesakitan sambil berusaha melepaskan tangannya.

"Sakit, " gumamnya dan ucapan itu seketika menyadarkan Erza lalu spontan cengkramannya terlepas.

Sadar wanita yang ia cintai tersakiti Erza tak mampu memaafkan dirinya dan terus memohon untuk dimaafkan. Bukannya kesal senang ataupun berusaha menghindar Anggun malah bingung melihat sikapnya. Baru saja lelaki itu melototinya dengan raut wajah geram seakan ingin menerkam lalu beberapa saat berubah seolah kepribadian lain mengambil alih tubuhnya.

"Aku sungguh minta maaf, bukan niat ku menyakiti mu. Aku sadar itu salah tapi tolong jangan berpikir buruk tentang ku." sesal Erza.

Udara sesak seketika mengubah suasana hati Anggun mendengar itu. Erza, dia memohon untuk dimaafkan sesaat setelah membuat pergelangan tangannya sakit lalu mana permohonan maaf setelah ia merenggut first kiss nya beberapa menit lalu.?

PLAK!!

Satu tamparan yang lebih keras mendarat di wajah Erza.

"Itu balasan karena sudah merenggut first kiss ku. Dasar lelaki berengsek.!" ketus Anggun pergi. Erza hanya bisa diam tak bersuara. Ekspresi bingung sekaligus kaget terlukis jelas di wajahnya. Dua kali, dalam sehari dua kali ia menerima tamparan dari seorang gadis. Tak habis pikir.

Erza beranjak ketika kesadarannya kembali. Bekas merah di wajahnya jadi perhatian oleh sejumlah karyawan yang berpapasan dengannya, tak terkecuali papanya sendiri.

"Dari mana aja kamu, dan itu pipi mu kenapa.?" tanya pak Tama begitu dia tiba di ruangan.

"Di gigit nyamuk." ketusnya. Dalam hati ia menggerutu kesal karena merasa malu. Siang itu bekas merah di pipinya sudah jadi topik perbincangan oleh para karyawan dan itu sangat memalukan menurutnya. Pak Tama pun berhenti kepo setelah menyadarinya lalu fokus pada layar komputernya.

Lima belas menit berlalu tak ada yang bersuara hanya dentingan jam dan bunyi keyboard komputer saling bersahutan mememuhi udara.

"Aku mau cari asisten baru." gumam Erza begitu kerjaannya rampung.

"Kenapa.?" tanya pak Tama masih fokus pada layar komputernya.

"Aku gak cocok sama pak Hidayat."

"Alasannya.?" kali ini pandangannya beralih.

"Apa itu butuh alasan.?" Erza balik tanya.

Pak Tama menghela nafas, ada nada paksaan dapat ia baca dari ucapan anaknya.

"Nak, kita udah tau kinerja pak Hidayat seperti apa kenapa nyari yang lain lagi, toh orang baru belum tentu kinerjanya sebaik dia." jelasnya.

"Aku tidak mencari orang luar pa, dia masih termasuk staf di sini. Namanya Anggun."

Pak Tama berpikir sejenak mengingat nama Anggun di kepalanya sampai keningnya mengkerut.

"Anggun Puspita Silsilia." Erza mengabsen nama Anggun dengan sempurna setelah itu barulah pak Tama mengingatnya.

"Owh,,, Anggun yang itu.?"

"Memangnya ada Anggun lain.?" Erza memutar mata malas.

"Tapi, apa kamu yakin.?"

"Aku yakin pa, serahkan saja pada ku." kata Erza percaya diri.

"Baiklah kalau begitu, sementara Pak Hidayat akan papa mutasi ke perusahaan yang di Bandung. Tolong siapkan suratnya."

"Siap bos." Erza bersemangat. Ia kembali menyalakan komputer dengan cekatan mengerjakan perintah pak Tama. Dalam waktu sepuluh menit saja surat pun selesai di cetak. Ia tersenyum sambil memegangi kertas tersebut. Pak Tama yang melihatnya pun ikut terseyum.

"Senang sekali kelihatannya." ucapnya. "Papa jadi penasaran."

"Penasaran kenapa.?"

"Kamu antusias sekali ingin mengangkat Anggun sebagai Asisten. Apa jangan jangan ini ada hubungannya dengan bekas merah di wajah mu.?"

Tebakan yang sangat tepat.

"Tapi bagaimana papa tau.?" tanya Erza heran.

"Itu mudah saja. Papa tau betul sifat mu seperti apa. Bagaimana mungkin seorang ayah tidak mengerti dengan putranya. Asal tau saja, sifat mu itu turun dari papa mu ini. Dan papa sangat yakin, bekas itu pasti jejak kenakalan mu pada wanita. Iya kan.?"

Erza tercengang mendengar penjelasan papanya. Tepat sasaran dan sangat mengena. Mulutnya menganga saking takjubnya.

"Hey, jangan biarkan mulut mu menganga seperti itu. Sudah berapa udara yang masuk kedalam tenggorokan mu.?"

"Hm." Erza mengatup mulutnya.

"Buah yang jatuh memang tak jauh dari pohonnya.?" dengus pak Tama kembali menyibukkan dirinya.

Sudah berapa lama sejak Erza tak lagi berurusan dengan wanita. Satu tahun, dua tahun atau bahkan tiga tahun.? Waktu yang cukup lama bukan.? Cukup lama bagi seorang lelaki yang sekedar ingin move on dari satu wanita.

Satu bulan yang lalu dia tinggal di Singapur menyelesaikan S2 nya sengaja menjauh dari kampung halaman demi mengejar satu impian. Namanya tercantum sebagai mahasiswa jenius ketika itu. Banyak prestasi yang berhasil ia capai. Namun, ada satu kegagalan yang membuatnya menyesal. Masalah asmara.

Memang rasa yang melambangkan dewa Amor ini kerap kali mengatup seseorang hingga ke dasar ketidakberdayaannya. Erza terhenti pada konflik ini dan hampir menyerah dengan impiannya. Ketika itu trauma besar harus ia alami selama bertahun tahun dan bertekad tak pernah ingin serius bergelut dengan Asmara.

Selama akhir pendidikannya di Singapur Erza telah berkali kali gonta ganti pasangan. Menjadi anak hotel ketika malam dan bergaul dengan cara terbuka hingga pesta sex sudah menjadi hal yang biasa baginya. Bahkan salah satu dosen wanita di kampusnya sudah pernah ia kencani.

Tak terhitung wanita yang sudah ia tiduri dari bule hingga beberapa mahasiswi sesama orang Indonesia juga sudah pernah ia bawa ke hotel.

Baginya gampang memikat wanita, selain memiliki wajah tampan Erza juga memiliki sisi finansial yang sangat mendukung. Papa nya memiliki kesuksesan besar dalam bidang bisnis baik di dalam maupun luar negri sehingga membuat wanita berpikir dua kali untuk menolaknya.

_._