Chereads / I'am Not Your Bitch / Chapter 4 - CHAPTER 4.

Chapter 4 - CHAPTER 4.

Anggun berjalan malas ke dalam elevator sambil menggerutu dalam hati. Sepuluh menit setelah tiba ia langsung mendapat panggilan dari Pak Tama. Setibanya di lantai sepuluh ia langsung mengetuk pintu dan di persilahkan masuk.

Pak Tama menyilahkannya duduk lalu tanpa basa basi langsung menyodorkan map hijau.

"Maaf karena memanggil mu secara mendadak. Itu adalah surat promosi kenaikan jabatan yang harus segera kamu tanda tangani. Perihal karena pak Hidayat akan di mutasi ke Bandung maka posisinya saat ini sedang kosong, saya lihat kinerja mu bagus jadi menurut saya kamu pantas mengisi posisi ini." jelas Pak Tama

Anggun tertegun. Siapapun yang menerima penawaran ini pada dasarnya tidak akan menolak begitu pula dirinya. Hanya saja kondisi ini sangat mendadak sehingga terkesan ada sesuatu yang aneh. Ia memutar bola mata melirik Erza. Lelaki itu terseyum penuh kemenangan sambil melipat tangannya di atas dada.

"Sudah ku duga." dengusnya dalam hati.

Erza memicingkan mata seolah berkata bendera kemenangan sudah ada di tangannya. Sungguh ekspresi yang sangat Anggun benci seakan ingin melempar wajahnya dengan map yang ia pegang. Ia tidak berpikir Erza akan melepasnya begitu saja malah lelaki itu semakin ingin mengikatnya.

Anggun kembali melirik map di tangannya kemudian beralih menatap Pak Tama.

"Bagaimana.?"

"Sejujurnya saya senang mendapat promosi ini. Tapi pak, tidakah ini terlalu mendadak.? Bukannya saya menolak tapi, "Anggun tak tau akan memberi alasan apa karena sebenarnya ia tidak ingin menjadi asisten di bawah lelaki yang ia benci.

Kesan yang Erza berikan terlalu buruk di matanya jelas akan mempersulit dirinya menjalani kehidupan kantor yang seyogyanya antara Asisten dan atasannya harus selalu berkesinambungan.

Pak Tama memahami keterkejutan Anggun dari caranya diam menimang antara setuju dengan tidaknya menerima jabatan tersebut. Ia juga sempat melihat Anggun melempar tatapan kesal ke arah Erza dan dari situ ia menyimpulkan bahwa Anggun mencoba untuk menghindarinya.

"Saya tidak akan memaksa mu menerimanya, intinya keputusan ada di tangan mu. Kamu boleh mempertimbangkannya. Kami akan tunggu keputusan mu sampai siang nanti." ucap Pak Tama. Anggun sedikit lega. Ia kembali meletakkan map ke atas meja lalu pamit pergi.

Tidak banyak yang bisa ia ucapkan. Saat di elevator Anggun memikirkan tawaran itu antara terima dan tidaknya tak kunjung ia temukan solusi terbaiknya.

Secara finansial jabatan itu jelas akan sangat mendukung kehidupannya. Selain bisa meringankan beban bibinya ia juga bisa menabung untuk mempersiapkan masa depannya nanti. Hanya saja Anggun terlalu sulit menghapus bencinya pada Erza.

Dilema.

Anggun berjalan gontai ke dalam ruangan begitu tiba di lantai bawah. Sebuah telpon masuk dengan cepat ia meraihnya.

"Hallo." suara lelaki yang sangat ia kenali di seberang sana. Yah, siapa lagi kalau bukan Erza.

"Ada apa lagi kadal berengsek ini menelpon.?" dengusnya dalam hati.

"Kenapa kamu tidak menjawab panggilan ku.?" Erza kesal karena Anggun tak langsung membalas panggilan nya. Ia hanya terus menggerutu dalam hati.

"Iya pak, ada yang bisa saya bantu.?" Anggun memperlembut cara bicaranya mengingat Pak Tama masih berada di ruang yang sama dengan Erza. Ia tidak mau terlihat bermusuhan dengan putra atasannya itu, maka sebisa mungkin ia harus bersikap formal.

"Ada yang bisa saya bantu pak.?" tanya nya lagi.

"Pindahkan barang barang mu ke ruangan saya sekarang juga."

"Apa.?" Anggun tak bisa menahan keterkejutannya mendengar perintah Erza yang tiba tiba.

"Apa maksud anda menyuruh saya memindahkan semua barang saya.? Saya belum mengeluarkan keputusan apapun."

"Aku tidak butuh keputusan mu. Jangan lupakan bahwa akulah atasannya di sini. Lakukan apa yang ku perintah dan bawa barang mu sekarang juga.!"

"Hey!!. Enak saja main perintah seenaknya. Aku tidak mau.!" Anggun tak kalah kekeh mempertahankan pendapatnya.

"Baiklah kalau kamu tidak mau, aku bisa menyuruh orang lain untuk membawanya." Erza menutup panggilan. Pak Tama yang memperhatikannya sedari tadi hanya bisa tersenyum kecil.

"Kamu bisa melanjutkan aktifitas, sekarang papa mau pulang. Papa serahkan urusan di sini pada mu. Ingat jangan kembali seperti dulu lagi, papa lebih senang kamu seperti ini."

"Baik pa." sahut Erza sebelum pak Tama keluar dan menghilang di balik pintu

....

"Sudah ku bilangkan, jangan membantah jika ku suruh melakukan sesuatu." Erza melipat tangan di dada seraya bersandar ke dinding sementara itu Anggun memasang wajah marah sejak pertama kali semua barang yang ada di ruangannya di pindahkan oleh orang suruhan Erza.

"Apa maksud bapak melakukan ini.?"

Anggun meminta penjelasan setelah di dalam ruangan hanya tinggal mereka berdua.

"Apa perlu aku jelaskan lagi.? Kamu lihat kursi itu sedang kosongkan, mulai hari ini kamulah yang menempatinya." tunjuk Erza ke salah satu kursi di dekat mejanya dengan plat nama bertuliskan Anggun yang di garis bawahi tulisan Asisten.

"Tadinya saya pikir ada baiknya saya terima tawaran ini karena memandang pak Tama sendiri yang memilih saya, tetapi sekarang saya akan menolak. Saya tidak mau menerima jabatan ini, silahkan bapak alihkan kepada orang lain." Anggun memunguti satu persatu barangnya lalu di masukkan kedalam kardus kosong. Begitu selesai dan ingin keluar Erza menutup pintu lalu mengantongi kuncinya.

"Kamu pikir kamu bakal aku biarin keluar gitu aja.?" Erza berdiri menghalangi pintu.

"Apa maksud bapak. Tolong buka pintunya saya mau keluar." Anggun mendorongnya menyingkir dan memaksa membuka pintu namun karena sudah terkunci maka usahanya sia sia.

"Kamu gak bakalan bisa keluar." Erza menunjukkan kunci di tangannya.

"Berikan kuncinya pak, saya mau keluar." Anggun berjalan mendekati Erza setelah meletakan kardus yang baru saja ia pegang tanpa curiga ataupun pikiran aneh. Namun, ketika tangannya terjulur hendak mengambil kunci dengan sigap Erza meraih tangannya lebih dulu lalu menariknya hingga terjatuh ke pelukannya.

Saat tubuh mereka tak lagi memiliki jarak alias  menempel, Erza dengan sikap cepat tak tahan melihat wajah Anggun begitu dekat dan langsung menciumi bibirnya.

Sekali lagi Anggun terkejut. Ia tak bisa lagi mengapresiasikan rasa kagetnya menerima perlakuan itu. Kedua tangannya terkekang oleh cengkraman tangan Erza sementara matanya terbuka lebar menatap mata Erza yang tertutup tepat didepannya sedang kedua belah bibir mereka saling terkait satu sama lain.

Anggun membiarkan Erza bermain dengan belahan bibir bawahnya, membiarkan dirinya hanyut dalam hisapan lembut yang menggoda sehingga membuatnya lupa diri.

Menyadari tak adanya perlawanan lagi Erza semakin ganas menaikkan permainannya. Kali ini leher jenjang Anggun menjadi sasaran utama. Ia tinggalkan bekas cupang berwarna merah mengklaim bahwa saat itu Anggun sudah menjadi miliknya. Sementara si gadis tak tahan dengan perlakuan Erza hanya bisa pasrah menahan sensasi yang melanda tubuhnya. Kedua matanya tak mampu lagi terbuka dengan normal menyisakan pandangan sayu serta desahan berat yang membuatnya semakin terlihat cantik di mata Erza.

Selagi Anggun mulai tak mampu menahan nafsunya yang mulai bangkit, Erza semakin menggodanya dengan menyentuh tubuh bagian dadanya dari luar blezz. Hal itu sontak malah membuatnya tersadar dan mendorong Erza sekuat tenaga hingga mereka terpisah.

_._