Naya melirik Dirga yang tengah sibuk dengan laptopnya. Dengan wajah serius dan kacamata yang bertengger di atas hidung mancungnya membuat Dirga jauh lebih tampan dan terlihat begitu dewasa.
Ruangan mereka memang terpisah. Dirga berada di dalam ruangannya dan meja kerja Naya berada di depan ruangan Dirga. Mereka bersebelahan, hanya saja ada kaca pembatas di antara mereka berdua. Jadi, jika Dirga membutuhkan sesuatu maka ia akan menelepon Naya dan menatapnya melalui kaca pembatas.
Naya mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan membuka aplikasi kamera. Perlahan, ia mengarahkan kameranya ke arah Dirga dan diam-diam memotretnya. Ia tersenyum senang ketika ia berhasil memotret Dirga bersama wajah seriusnya.
"Kirim ke Ayu ah,"
Naya membuka aplikasi Whatsapp-nya dan mengirim foto Dirga tadi ke kontak Ayu.
"Liat nih bos gue. Ganteng kan? Ah, gue berasa di surga kalo gini, tiap hari liat yang bening mulu. Bos lo perutnya buncit kan? Dia kotak-kotak bro. Bos lo tua kan? Dia muda, pinter, ganteng, terkenal. Suami idaman deh pokoknya. Uuh sexy abis." lirih Naya sembari menggerakkan jari-jemarinya di atas layar ponselnya.
"Ekhem,"
Naya masih tetap asyik dengan ponselnya. Ia tak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Tujuannya saat ini adalah untuk pamer ke Ayu.
"Ekhem,"
Suara deheman kali ini terdengar lebih keras, membuat Naya berjingkat kaget. Ia langsung berdiri dan tersenyum tipis ke arah atasannya. Siapa lagi jika bukan Dirga.
"Sedang apa kamu?" Suara Dirga terkesan datar namun terdengar begitu menyeramkan.
"Anu, Pak, eh- itu anu,"
"Anu apa?"
Naya memejamkan matanya saat suara ponselnya, menandakan sebuah pesan masuk. Dan ketika ia membuka matanya ia lebih terkejut lagi saat Dirga sudah memegang ponselnya. Ia bahkan sampai membulatkan kedua bola matanya dengan mulut menganga.
"Pak, aduh, Pak."
Naya mulai panik. Ia berusaha mengambil ponselnya. Namun, Dirga malah menghindar dan serius menatap layar ponsel Naya.
Tak lama kemudian, Dirga meletakkan ponsel Naya di atas meja kerjanya. Tanpa berkomentar apapun, Dirga langsung pergi dari hadapan Naya dengan telinga yang merah, membuat Naya bernafas lega. Ia pikir Dirga akan marah padanya.
Namun, rasa lega di hatinya berangsur menghilang digantikan oleh rasa malu dan shock saat ia membaca balasan dari Ayu yang sudah lebih dulu dibaca oleh Dirga.
Ayu Indriana
Oh ya, serius lo?
Gue jadi penasaran deh
Coba kirimin foto telanjangnya. Gue mau liat kotak-kotaknya. Lo ikutin aja waktu dia lagi di kamar mandi. Pasang cctv sekalian. Nah, kan kelihatan tuh kotak-kotaknya
Naya memejamkan matanya sembari menepuk keningnya. "Astaga Ayu. Mau ditaruh dimana muka gue?"
☯☯☯☯
Naya sedari tadi hanya menundukkan kepalanya. Ia tak henti-hentinya mendumel dan merutuki kebodohan Ayu. Namun, ini bukan salah Ayu sepenuhnya. Ialah yang memancing Ayu karena ia telah memamerkan hal yang tidak-tidak.
Kring..Kring
Suara telepon di meja kerjanya berbunyi. Tanpa menunggu terlalu lama, ia langsung mengangkatnya dan menempelkan gagangnya di telinga kirinya. Sedangkan tangan kanannya bergerak untuk meraih pulpen dan bersiap untuk mencatat sesuatu yang penting.
"Kanaya Valentessa dari Corp's group. Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?"
"Naya, tolong belikan saya dua burger di restoran terdekat dari perusahaan."
Naya langsung memalingkan kepalanya saat mendengar suara Dirga dari telepon. Ia sempat bertatapan selama beberapa saat dengan Dirga sebelum ia memalingkan wajahnya.
"Ah, iya Pak"
"Jangan beri mayonaise, dan bawang bombay. Dan saosnya sedikit saja. Oh iya, dagingnya jangan terlalu matang dan jangan terlalu mentah, sedang-sedang saja. Tomatnya sama seladanya tolong diperbanyak."
Naya membulatkan matanya mendengar pesanan Dirga yang terdengar sangat rumit. Ia bahkan sampai memalingkan wajahnya kembali dengan raut wajah bodohnya. Bahkan saat Dirga memesan burger dengan sesuatu yang lebih rumit pun suaranya tetap terdengar tegas, dingin, tajam dan tak terbantahkan.
"Yes, Boss!" ucapnya pada akhirnya.
"Terima kasih."
Tutt..Tutt
Terdengar nada terputus. Dirga mematikan sambungan terlebih dahulu. Naya menghela nafasnya sembari menatap catatan yang tadi ia tulis. Mengapa atasannya tersebut selalu bersikap perfectionis?
Dirga menyunggingkan senyum sinisnya saat ia selesai memerintah sekretarisnya. Dengan senyuman yang nyaris tak kentara, ia berhasil membuat Brian, sepupunya, bertanya-tanya.
"Ga, lo kenapa sih ribet banget nyuruh sekretaris lo? Biasanya juga lo tinggal pesen doang kan."
"Gue mau ngetes dia."
"Ck," Brian berdecak.
"Lo kapan sih berhenti buat bikin sekretaris lo tertekan? Lagian susah Ga cari sekretaris kayak dia. Dia cantik, pinter, penurut, manis pula. Kurangnya dia apa sih? Kalo dia jadi sekretaris gue, gue pertahanin Ga. Bahkan gue jadiin dia istri gue sekalian."
"Sayangnya itu lo bukan gue. Dan dia itu buat jadi istri gue bukan lo."
Brian kembali berdecak mendengar jawaban Dirga. Ia menyenderkan punggungnya pada sofa di ruangan kerja Dirga dan menatap Dirga yang duduk di kursi kebesarannya.
"Lo gila Ga? Mana ada cewek sempurna di dunia ini. Ternyata masa lalu lo berpengaruh sama lo yang sekarang."
"Brian, nggak usah ngomongin masa lalu gue!" Dirga tampak menggertak Brian. Wajahnya tampak menyiratkan rasa tidak suka akan ucapan Brian. Bahkan tanpa sadar tangannya terkepal dengan kuat.
"Oke," Brian mengangkat kedua lengannya, bagaikan seorang tawanan yang berhasil diringkus polisi.
"Tapi lo harus inget, kalo lo masih belum bisa lepas dari masa lalu lo, hidup lo nggak akan tenang, Ga. Dan kalo sikap lo belum berubah juga ke sekertaris lo, gue bisa tuh rebut dia dari lo. Gue jamin itu."
Dirga hanya terdiam. Bahkan ketika Brian keluar dari ruangannya pun ia masih terdiam dan terus memikirkan ucapan Brian.
Semua orang pasti memiliki masa lalu bukan? Lalu mengapa hanya ia saja yang tak bisa lepas dari masa lalunya? Apa yang salah dengan masa lalunya? Dan ada kisah apa di masa lalunya?