Naya menggerutu kesal saat ia harus berjalan mengikuti Dirga kemanapun ia pergi. Tak henti-hentinya mulutnya berkomat-kamit merutuki sikap Dirga yang selalu saja berbuat semaunya tanpa memikirkan orang lain.
Dan disinilah ia, berdiri di belakang Dirga yang tengah berbincang dengan seorang resepsionis sebuah hotel ternama di kota tersebut.
"Tolong siapkan dua kamar." Dirga berkata dengan suara dinginnya sembari mengeluarkan kartu ATM-nya. Entah berapa jumlah uang dalam ATM-nya tersebut.
"Mohon maaf, Pak, namun kami hanya mempunyai satu kamar yang tersisa. Honeymoon suite. Apakah Anda mau menempatinya?"
Naya yang berdiri di belakang Dirga langsung membulatkan kedua bola matanya. Ia langsung maju dan berhadapan dengan sang resepsionis dengan wajah panik.
"Nggak, Mbak, nggak! Kita bakal cari hot--"
"Saya ambil kamarnya."
Seketika itu pula Naya menatap Dirga dengan tatapan terkejutnya. Ia langsung memegangi lengan Dirga.
"Pak Dirga" lirihnya penuh penekanan.
"Apakah kalian ini suami-istri? Bisakah Anda menunjukkan buku pernikahan kalian?"
"Ya, kami suami istri. Tapi kami tidak membawanya."
"Baiklah, kalau begitu, Anda dapat mengisi surat pernyataan ini sebagai bukti bahwa Anda dan istri Anda sah sebagai suami-istri."
Dirga segera mengisi surat pernyataan tadi. Dan hebatnya, ia tahu nama lengkap dan tempat tanggal lahir Naya. Hebatnya lagi, ia dapat mengarang tanggal pernikahan mereka. Benar-benar orang cerdik, dan licik. Setelahnya, Dirga menandatanganinya lalu memberikannya pada sang resepsionis.
"Baiklah, ini kunci kamar Anda."
Resepsionis tadi memberikan kunci kamar hotel pada Dirga dan langsung Dirga terima tanpa sepatah katapun. Dan Naya dengan rasa tak percayanya hanya dapat mengikuti Dirga kemanapun Dirga pergi.
"Pak, Bapak gimana sih? Masa Bapak bohong sama resepsionis tadi? Kalo nanti kita kena masalah gimana coba?"
Naya terus mendumel karena kesal dengan sikap Dirga. Bahkan saat ia sudah berada di dalam kamar hotel dan Dirga menutup pintu pun ia masih mendumel.
Dan omelan kekesalannya terhenti saat ia melihat Dirga membuka kancing kemejanya satu per satu. Naya yang melihatnya otomatis menjerit dan menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
"Oh, saya tahu maksud Bapak ambil kamar ini, karena Bapak mau macam-macam sama saya kan? Jangan mimpi, Pak! Saya bakal teriak kalo Bapak berani sentuh saya!"
Dirga yang mendengar teriakan Naya hanya dapat menaikkan sebelah alisnya sembari memasang wajah datarnya. Kemejanya yang terbuka membuat perut kotak-kotaknya terekspos dengan jelas.
"Pak, mending Bapak cari cabe-cabean yang di pinggir jalan aja deh kalau mau puasin nafsu Bapak, tapi kalau saya, maaf, saya gak sudi, Pak. Saya udah banyak dosanya, saya gak mau nambah dosa lagi."
Tanpa pikir panjang, Dirga langsung melemparkan bantal ke arah Naya yang tepat mengenai kaki Naya.
"Sudah selesai bicaranya? Lain kali jangan sembarangan bicara. Lagipula saya tidak sudi menyentuh kamu. Kamu tidak ada apa-apanya di mata saya."
Penghinaan. Batin Naya berkomentar. Ia bahkan sampai membulatkan kedua bola matanya dan menatap Dirga dengan tatapan tak percaya.
"Sudah sana, lebih baik kamu segera mandi. Benar kata kamu, bau kamu seperti kambing."
Dan sekali lagi Naya membulatkan matanya mendengar ucapan Dirga. Ucapan dari mulut Dirga yang ia ucapkan dengan wajah datar dan santai. Tak bisakah sekali saja Dirga memikirkan perasaan Naya?
"Kenapa gue dapat bos kayak gini?" Bisiknya lirih.
☯☯☯☯
Naya membolak-balikkan tubuhnya dengan tidak nyaman. Matanya sedari tadi terus terbuka. Ia berusaha memejamkan matanya, namun rasa tak nyaman dan was-was terus hinggap di hatinya.
"Astaga, gue harus nih tidur disini?"
Naya menatap Dirga yang tidur di sampingnya dengan sangat tenang, seakan-akan ia begitu menikmati waktu tidurnya. Tak ada guratan tak nyaman di wajah tampannya. Apakah ia nyaman tidur disamping Naya? Dengan gerakan pelan, Naya bangkit dari atas ranjang dan berjalan dengan sangat pelan ke arah sofa di sudut kamar hotel.
Tadi ia terpaksa membagi tempat tidur dengan Dirga karena disini hanya ada satu ranjang. Dan ia merasa tak nyaman karena ini pertama kalinya ia tidur dengan seorang pria selain Ayahnya.
Naya duduk di atas sofa dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia mengaktifkan ponselnya dan melihat ada 25 pesan masuk dan 15 panggilan tak terjawab. Dan semuanya berasal dari Ayu.
Naya membulatkan matanya kala melihat jam yang terpampang di layar ponselnya menunjukkan pukul 00.05. Ini jelas-jelas sudah lewat dari jam tidurnya. Dan itu artinya ia terjaga dengan cukup lama.
Ayu Andriana
Eh lo dimana?
Gue tadi sama Arka muter-muter nyariin lo, tapi lo nya gaada. Lo kemana sih?
Eh kampret, balas napa?! Gue panik nih nyariin lo!
Gue rela belum tidur nih grgr nungguin lo. Lo dimana?
Naya merasa terharu dengan perhatian Ayu. Selama tiga tahun mereka hidup bersama, baru kali ini Ayu terlihat panik karena ia tak ada di dalam Apartemen.
Namun, baru saja ia merasa terharu, ia kembali dibuat jengkel karena pesan terakhir yang dikirim Ayu.
Ayu Andriana
Lo dimana? Kalo nggak ada lo kan nggak ada yang bikinin gue nasi goreng paling enak. Gue laper tauuu~ Arka cuman ngajak nonton sama belanja, tapi dia nggak ngajak mampir ke restoran. Gue kan jadi laperrrr~
"Ah Ayu, gue kira lo beneran care sama gue."
Dengan wajah kesal, Naya pun membalas pesan Ayu dan memberitahukan Ayu bahwa ia berada di luar kota untuk sesuatu yang ia tidak tahu apa.
Dan jauh dari pikirannya, sebenarnya Ayu peduli dan khawatir dengan keadaannya. Karena seorang sahabat akan berusaha untuk menutupi rasa khawatirnya dan menggantinya dengan sebuah lelucon yang kadang membuat kita jengkel.
☯☯☯☯
Naya terbangun dari tidurnya kala mencium aroma maskulin yang perlahan memasuki rongga hidungnya. Dengan mata terpejam, ia mengendus-endus aroma tadi sembari berusaha mendekat.
Brukk!
Karena belum sepenuhnya sadar, ia bahkan sampai lupa jika ia tidur di sofa dan berakibat dirinya terjatuh dari atas sofa.
"Aduhh." Naya memegangi pinggangnya yang terasa sakit. Nyeri di pinggangnya disebabkan karena ia tidur di atas sofa dan karena ia terjatuh dari sofa tadi. Betapa malang nasibnya.
"Segera bersiap karena kita akan pergi menghadiri peresmian cabang baru."
Naya langsung membulatkan matanya karena terkejut. Bukan, bukan terkejut karena perintah Dirga, melainkan terkejut karena ia baru sadar jika ia tengah berada di dalam kamar hotel bersama Dirga. Dan catat! Mereka hanya berdua. Naya mengamati Dirga yang tengah berdiri di depan cermin sembari memasang dasinya. Ia terlihat kesusahan saat akan memasang dasinya.
"Pasangkan dasi saya!"
"Hah?"
Naya yang masih belum sadar sepenuhnya tidak dapat memproses ucapan Dirga.
"Pasangkan dasi saya!"
Dirga berbalik menghadap Naya yang masih terduduk di atas lantai.
"Sa-saya?" Setelah sadar akan ucapan Dirga, Naya langsung menunjuk dirinya sendiri dengan wajah tegangnya.
"Iya, kamu. Cepat!"
Dengan langkah ragu, Naya berjalan mendekati Dirga. Ia berdiri di hadapan Dirga dengan kepala tertunduk. Sesekali ia melirik Dirga yang jauh lebih tinggi darinya.
"Ayo, pasangkan!"
"I-iya, Pak"
Naya meraih dasi biru tua milik Dirga dan dengan tangan gemetar ia memasangkannya di leher Dirga. Tangan gemetarnya berusaha menyimpulkan dasi Dirga dan membentuknya dengan serapi mungkin.
"Su-sudah, Pak."
"Hm," Dirga hanya berdehem, tanpa mengucapkan terima kasih.
Dirga melangkah menuju pintu kamar hotel dan membuka pintunya dengan gerakan super cepat. Sebelum ia benar-benar keluar, ia membalikkan tubuhnya dan menatap Naya yang masih berdiri di depan cermin dengan keadaan berantakan.
"Segera mandi dan jangan lupa gosok gigi."
Apakah Dirga menyindirnya?
☯☯☯☯
Dengan langkah terseok, Naya berjalan di belakang Dirga sembari membawa tasnya dan tas Dirga. Kaki Dirga yang panjang membuatnya langkahnya semakin lebar. Dan ia yang memakai high heels harus berusaha sekuat tenaga untuk menyusul Dirga.
"Pak Dirga, tunggu!" ucapnya dengan nafas terengah-engah.
Dirga membalikkan tubuhnya selama sedetik sebelum ia kembali berjalan dengan sikap tak acuhnya. Dan sikap Dirga tersebut membuat Naya berdecak.
Usahanya dalam menyusul langkah Dirga membuahkan hasil, akhirnya ia dapat berjalan di samping Dirga, selayaknya seorang sekretaris yang berjalan bersama bosnya, bukan majikan dengan pembantunya.
"Selamat datang, Pak Dirga."
Seorang pria berjas rapi menyambut kedatangan Dirga dengan senyuman ramahnya. Ia mengulurkan tangannya dan mereka bersalaman dengan hangat selama beberapa detik.
"Semuanya sudah siap?" tanya Dirga sembari merapikan jasnya.
"Sudah, Pak. Para tamu undangan sudah hadir."
"Kerja bagus." komentar Dirga.
Ia melangkahkan kakinya memasuki gedung yang baru selesai dibangun tersebut.
Gedung tersebut adalah gedung cabang baru perusahaan milik Ayah Dirga. Sudah lebih dari 15 cabang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Dan ini adalah gedung ke 16 yang sebentar lagi akan diresmikan.
"DIRGA!"
Seorang gadis melambaikan tangannya pada Dirga. Senyuman manis tercetak jelas di bibir ranumnya yang tertutupi lipstick berwarna pink cerah. Kulitnya yang berwarna putih terasa pas dengan warna lipsticknya. Naya sangat kenal dengan gadis ini. Gadis yang dulu datang ke perusahaan Dirga dan berpelukan hangat dengan Dirga.
Gadis tadi berjalan mendekati Dirga, dan sekali lagi mereka kembali berpelukan dengan cukup lama. Dirga bahkan tak segan untuk mendaratkan kecupannya di kening gadis tadi.
"Miss you," ucap gadis tadi dengan manjanya.
"Me too." jawab Dirga dengan lirih, nyaris tak terdengar.
Acara berpelukan mereka terhenti kala seorang pria berpakaian serba hitam menghampiri Dirga.
"Pak, acaranya sudah mulai."
Dirga mengangguk. Ia menarik pinggang gadis tadi untuk berjalan dengannya. Ia juga melirik Naya melalui ekor matanya dan menyuruhnya untuk mengikuti langkahnya.
Sekali lagi Naya bertanya-tanya, siapa gadis tadi?