Chereads / My Slave, My Servant, My Daughter / Chapter 20 - Masa Lalu: Three-Leaf Clover

Chapter 20 - Masa Lalu: Three-Leaf Clover

Pagi hari pada desa yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan Kota metropolitan adalah sebuah hal yang menenangkan. Semua orang tidak ada yang memakai motor. Semuanya jalan atau memakai sepeda. Santai, saling menyapa satu sama lain dengan senyum. Hari pagi masyarakat desa umumnya sama. Namun bagi beberapa orang, hal ini bisa jadi sangat menyebalkan.

Hari ini adalah hari Senin, sebuah hari yang menjadi momok tiap anak SMP, tak terkecuali bagi Sumi. Sumi bangun dan tidur lagi. Bangun dan tidur lagi. Sampai kemudian ada air jatuh ke wajahnya.

"Sumitro sampai kapan kau mau tidur!" Bentak Ibu Sumi.

Itu Beatrice, ibu kandung Pak Sumi. Nama yang 'wow' bukan? ya dia keturunan Belanda. Seperti biasa wanita paruh baya itu menyiram anak malasnya dengan air mancur dari selang air taman depan rumah. Meskipun rumah keluarga Sumi sederhana, mereka memiliki taman di depan rumah. Konon katanya itu karena keinginan Beatrice demi kenyamanannya saat di Indonesia.

Menurut Sumi, bapaknya memang jempolan kalau masalah mencari pendamping hidup. Entah bagaimana caranya dia bisa bertemu dan menikah Beatrice. Terlepas dari semua itu, itulah keluarga aneh Pak Sumi. Sekarang Sumi harus bangun dan ke sekolah. Dia mandi. Mereka sarapan roti. Meskipun berkali-kali Pak Suma -Bapaknya Pak Sumi- meminta nasi untuk sarapan, Beatrice tidak pernah menurutinya. Katanya itu tidak baik bagi kesehatan dengan makan nasi 3 kali sehari. Alasan aneh lainnya mungkin ketidaksukaan Beatrice terhadap nasi karena namanya 'beat-rice'.

Sumi berangkat ke sekolah, Pak Suma berangkat kerja ke sawah. Dia adalah seorang petani. Sumi adalah anak tunggal, Beatrice tidak mau lagi punya anak, entah apa maksudnya tapi ya inilah Sumi, seorang anak tunggal. Namun, meskipun berdarah 'bule' sayangnya tidak ada gen yang diwariskan kepada Sumi. Baik wajah maupun cara bicara masuk semua seperti bapaknya. Mungkin yang diturunkan dari ibunya hanya satu, yaitu otak. Sumi otaknya sangat encer.

Sumi selalu mendapat peringkat 1 di sekolah. Entah apa pun yang dia lakukan dia selalu mendapat julukan bintang kelas. Pernah suatu saat dia sengaja tidak belajar dan malah begadang melihat bola (Sepak bola), kemudian dia tetap peringkat 1. Hal lain yang membuat Juara satu mungkin juga dipengaruhi faktor eksternal. Semua teman kelas Sumi yang terlalu Bodoh misalnya.

Kadang Sumi bosan. mendapat rangking tertinggi, ibu seorang bule 'naturalisasi', kedua orang tua yang baik dan selalu mendukungnya, tidak pernah punya masalah finansial, punya banyak teman, juga mempunyai sahabat, tapi menurutnya ini seperti 'diminishing marginal utility'.

Diminishing Marginal Utility. Di teori ini seseorang akan mendapatkan kenikmatan yang lebih sedikit dari pada yang biasanya meskipun dia mendapatkan suatu barang yang sama. Intinya adalah rasa bosan. Perumpamaannya seperti saat Beatrice memasak 'stamppot' - sebuah masakan berbahan dasar kentang yang dilumat (mashed potatoes) lalu dicampur dengan sayur (bukan seperti perkedel) kemudian diberi sosis. Sumi sangat menyukainya, lalu itu segera menjadi makanan wajib saat sarapan. Lalu apa yang terjadi? lama kelamaan Sumi menjadi tidak terlalu menyukainya. Malah dia rindu dengan roti kasar yang biasa dimakan untuk sarapan.

Seperti anak SMP (Sekolah Menengah Pertama) pada umumnya, Sumi memiliki imajinasi yang tinggi. Sampai-sampai, dia memiliki tempat yang disebut 'base camp'. Menjadi kebiasaan mereka untuk datang ke tempat itu saat pulang sekolah. Mereka? Sumi tidak sendiri, ada dua orang lain yang menjadi bagian dalam base camp itu.

Meski mereka beda sekolah, kenyataannya Sumi lebih akrab dengan mereka berdua dibanding dengan teman sekolahnya sendiri. Hal ini karena mereka berdua bisa mengikuti atau setara dengan otak encer Sumi. Mereka yang dimaksud adalah Warno dan Raymond. Seperti hari ini, siang hari setelah sekolah usai, mereka mengadakan pertemuan rahasia dan berlagak seperti orang penting negara.

"Oke guys, seperti yang kemarin kita rencanakan, ee... kita akan ke mana hari ini?" Kata Warno memimpin percakapan.

Bakat kepemimpinannya sudah terlihat dari kecil, tidak mengherankan jika suatu saat menjadi kepala kantor Polda Surabaya.

"Mbak Rupiah? ah kalian yakin kita akan kesana?" Kata Sumi.

"Siapa Rupiah?" Raymond bertanya.

"Tante toked." Jawab Warno.

"Sum sum, ngomong (bicara) saja toked, apa susahnya." Kata Raymond

"Itu... tidak begitu sopan saja menurutku." Kata Sumi polos.

"Hahaha lemah." Kata Raymond.

"Sumi benar ray, jadi pertanyaan selanjutnya apa yang akan kita lakukan di rumah Mbak Toked?" Kata Raymond.

"Woy." Batin Sumi.

"Bukannya kita telah sepakat untuk melakukan penggeledahan disana? Hei apa kalian benar-benar yakin mau kesana? setahuku gubuknya sangat jauh dari sini." Kata Sumi.

"Hm, ya itu benar, jadi selanjutnya kita harus ke gudang alat penyimpanan." Kata Raymond.

"Hei, kalian belum menjawab pertanyaanku." Kata Sumi.

"Ya jelas lah kita kesana, bayangkan saja seperti orang yang naik gunung, kelelahan saat mendaki akan terbayar dengan pemandangan indah disana." Kata Warno.

"Nah itu maksud kami sum, kalau sampai disana, kita bisa melihat pemandangan gu- ah mendapat larva undur-undur yang banyak, kau tahu kan kalau biasanya undur-undur itu banyak di samping gubuk." Sambung Raymond.

"Hei apa kau baru saja bila..." Kata Sumi terpotong.

"Terlebih lagi, kita bisa berpetualang melengkapi peta jalan kita. yosh ayo ke ruang penyimpanan!" Kata Warno

Imajinasi seorang anak. Penggeledahan yang dimaksud adalah mencari larva undur-undur lalu menjualnya ke ayahnya Raymond. Peta jalan adalah sebuah peta yang awalnya digagas oleh Sumi guna membuat suatu peta sederhana yang berisikan jalan dan nama tempat. peta tersebut ditulis di lembaran kertas berukuran A4 dan terus bersambung. Karena 'dedikasi imajinasi' mereka, hingga saat ini telah tersusun 3 desa. Selain itu gudang penyimpanan tidak lain hanyalah kotak kecil tempat mereka menyimpan stik es krim dan sedotan. Setelah siap mereka segera berjalan ke gubuk Mbak Rupiah.

Seperti rencana awal, mereka bertiga menuju ke rumah Mbak Rupiah. Ada dua alasan mengapa warga disana memanggilnya 'toked'. Ya itu karena untuk perempuan 32 tahun dia mempunyai aset yang jumbo, tapi sedikit tidak waras. Orang sekitar tidak menghormatinya, dan mungkin ada yang menganggapnya gila.

Gadis itu kurang beruntung. Dia terlahir di keluarga yang tidak harmonis. Ibunya tidak diketahui ke mana sejak rupiah berusia belia. Bapaknya seorang pemabuk dan pengangguran. Rumahnya tidak lain hanyalah sebuah gubuk reyot yang ada di ujung jalan buntu desa terpencil, desa dari tiga daun klover, Desa Nglampin, Kecamatan Ngambon.

Sebenarnya ada alasan lain mengapa Sumi 'ogah-ogahan' kesana. Itu karena menurutnya ada tempat yang lebih layak untuk mencari larva undur-undur daripada di gubuk itu. Selain itu, Sumi merasa jika kedua temannya memiliki maksud tertentu untuk mencari ke gubuk itu. Seorang anak berumur 15-an tahun pun sudah tahu apa itu wanita. Ya mereka berdua ingin melihat 'aset' wanita gila itu.

Ketiga anak itu sampai di gubuk reyot itu. Pintu depan selalu tertutup setiap saat, begitu pun hari ini. Lalu begitulah, setelah mencari di sekeliling rumah, memang ada pasir yang menjadi sarang larva undur-undur itu. Mereka sudah biasa mencari undur-undur. Tidak butuh waktu yang lama bagi mereka untuk menemukannya.

Sarang larva undur-undur adalah pasir di sebelah rumah atau bangunan yang berbentuk cekungan spiral. Lain dengan Sumi, sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk mencarinya dengan cara memutar-mutar batang kayu kecil – berukuran seperti lidi – dan dengan 'ajaib' larva akan keluar dengan sendirinya. Tapi Sumi melakukannya dengan berbeda dia meniup dengan menggunakan sedotan air mineral gelas. Itu membuat pasirnya terangkat dan hanya menyisakan larva.

Mereka mengumpulkan larva yang terkumpul menggunakan 'cawan keabadian' yang tidak lain hanyalah botol plastik bekas air mineral. Seperti yang disangka oleh Sumi, Sumi melihat mereka berdua sedang mengintip melalui celah-celah gubuk untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Sumi tidak memedulikannya dan tetap mencari larva. Mereka berdua mulai berputar mengelilingi rumah dan melihat di setiap celah yang ada. Gelap.

Tapi apa yang terjadi?

Mereka tiba-tiba memanggil Sumi untuk ikut mengintip. Sumi menolak, mereka terus merayu. Sumi terlalu takut untuk melakukannya. Tapi mereka terus merayu. Mereka memberitahu Sumi jika dia akan kehilangan kesempatan melihat surga dunia. Sumi mulai menelan ludah. Kedua kakak itu (baik Warno dan Raymond) lebih tua daripada Sumi. Mereka terus menggoda dan sambil melihat ke dalam gubuk. Sumi terbujuk dan melihat ke celah. Gelap. Gelap. Tidak ada apa-apa didalamnya.

"WAA!!" Warno berteriak dan menepuk bahu Sumi, bermaksud mengagetkan Sumi.

Dari awal memang mereka tidak melihat apa-apa didalamnya mereka hanya ingin mengerjai (make a joke to) Sumi. Keduanya tertawa, tapi tidak dengan Sumi. Setelah dia tersungkur duduk karena kaget, dengan wajah pucat, Sumi mengintip ke dalam lagi. Kini kedua anak yang lain yang penasaran apa yang dilihat Sumi. Mereka mengintip melalui lubang yang berbeda dengan Sumi. Apa yang mereka lihat menjadi kenangan yang tidak akan hilang dari benak mereka bertiga. Mereka melihat Mbak Rupiah memakai bra dan celana dalam hitam sedang tidur beralaskan kertas koran. Langit-langit gubuk itu tidak terlalu rapat, sinar matahari bisa sedikit masuk ke dalam. Saat mereka berdua mengintip, matahari sedang tertutup awan, namun saat giliran Sumi mengintip awan sudah berpindah dan membiarkan matahari tampak bersinar menerangi gubuk.

Ketiga anak itu kini wajahnya pucat. Kenyataannya Mbak Rupiah sedang tidur beralas koran, memakai bikini. Bukannya terangsang, mereka bertiga wajahnya pucat, karena wanita berperut besar itu tidur dengan membawa pisau yang masih berlumuran darah di samping kepala bapaknya. Disana tampak dua kepala dengan satu badan. Itu yang membuat ketiga anak itu pucat. Warno menepuk punggung kedua anak yang lain dan memberi siasat untuk kabur. Kemudian Mereka lari terbirit-birit.

Keesokan harinya gubuk reyot itu ramai didatangi para penduduk. Tidak ada yang tahu ketiga anak itu datang kesana. Seandainya ada yang tahu, maka ketiga anak itu sudah berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan. Warno, adalah anak dari seorang kepala polisi setempat. Di base camp, Dia memberitahu Sumi dan Raymond jika ternyata Mbak Rupiah tidak ditemukan dan telah menghilang. Polisi hanya menemukan badan bapaknya yang sudah tak bernyawa.

Sumi berkilah menyesal telah melihat hal itu dan menyalahkan kedua temannya karena telah datang kesana. Mungkin dari mereka bertiga yang merasakan hal yang berbeda adalah Raymond. Raymond adalah anak dari pasangan dokter. Rasa keingintahuannya terhadap tubuh makhluk hidup tinggi.

Kemarin mereka tidak mendapatkan Larva untuk dijual ke Bapaknya Raymond, kemudian mereka menebusnya dengan hari ini. Hari ini mereka mencari lagi larva undur-undur untuk dijual. Kali ini mereka benar-benar mencarinya dan berniat mendapatkan tangkapan yang paling banyak dari biasanya, karena mungkin saja ini akan menjadi terakhir kalinya mereka bisa bersama.

Warno telah SMP kelas 3, dia harus masuk SMA. terlebih lagi dia diwajibkan menjadi polisi oleh orang tuanya. Dia harus sekolah di SMA 5 Surabaya (salah satu SMA favorit di Surabaya) apa pun yang terjadi, agar melancarkan jalannya untuk masuk ke kepolisian segera setelah SMA.

Mereka bertiga mendapat tangkapan yang paling banyak dalam hidup mereka. Kegiatan 'Penggeledahan' ini adalah kegiatan penutup sebagai perpisahan mereka setelah dipertemukan oleh takdir dan terus bersama dalam 7 tahun belakang. Kemudian Sumi dan Raymond mengantar hasil tangkapan itu, Warno tidak ikut dan menyerahkan pada mereka semua larva undur-undur tersebut.

Hasil dari tangkapan hari ini hanya akan dibagi dua, Sumi dan Raymond. Sampai di kediaman Raymond, mereka berdua segera menyerahkan Hasil tangkapannya ke Bapaknya Raymond. Pada Akhirnya, oleh Raymond semua uang hasil tangkapan diberikan ke Sumi (Karena biasanya dari hasil Tangkapan Larva undur-undur itu, mereka bertiga akan membeli makanan dan minuman yang akan dihabiskan di base camp, tapi tidak kali ini). Oleh Sumi akhirnya uang Satu Juta Rupiah itu dibagi-bagi ke 4 masjid dan musala sekitar desa, 1 gereja, dan orang miskin yang ia temui saat membagi di kelima tempat tersebut.

Sejak saat itu mereka bertiga tidak pernah bertemu. Base camp selalu kosong, karena kehilangan sosok ketua yang merekatkan, Warno.