Pak Sumi pulang ke rumah dengan perasaan bimbang. Apa yang harus dia perbuat dengan Marie mulai saat ini. Beliau sangat tahu jika dia dan istrinya tidak mungkin terus bergantian merawat Marie, akan menjadi sangat logis jika dia menyewa pembantu. TAPI, Pak Sumi masih memikirkan tentang keadaan Marie. Dia khawatir tentang Aquastor, dia khawatir tentang Marie yang akan melakukan hal yang sama dengan yang diperbuatnya kepada Bu Rati waktu di rumah sakit beberapa bulan kemarin.
Di rumah yang tidak mewah sekaligus tidak kumuh ini, Pak Sumi tinggal. Warna cat yang tidak pernah berubah dari saat Pak Sumi membeli pertama kali rumah ini hingga sekarang. Kebetulan Bu Rati sangat suka warna hijau. Oleh karena itu cat di rumah ini tidak berubah dari awal serah terima kunci.
Pak Sumi datang dan mendapati rumah sedang kosong dengan pintu yang tidak terkunci. Salam Pak Sumi tidak dijawab oleh puan penunggu rumah (Bu Rati). Pak Sumi tenang, ketika melihat ada sepatu Bu Rati di rak, tanda Bu Rati sudah di rumah. Setelah meletakkan tas ranselnya di meja tamu, Pak Sumi masuk ke kamar Marie. Dia ingin melihat anak itu. Ternyata Bu Rati tertidur di atas kursi (dalam posisi duduk) dan meletakkan kepala dan tangannya di kasur Marie. Pak Sumi berpikir pasti Bu Rati kelelahan setelah mengolahragakan tubuh Marie.
Melihat istrinya sampai seperti itu, dia mengambil selimut dan menyelimuti tubuh istrinya. kemudian dia pergi ke dapur untuk membuat makan malam. Sembari merebus air untuk membuat sup kaldu dari bumbu instan, Pak Sumi menelepon Pak Warno untuk mencarikannya orang yang bisa diminta tolong untuk menjadi pembantu di rumahnya.
"Assalamualaikum war lu bisa mencarikan-" Tanya Pak Sumi.
"Waalaikumsalam, Pembantu kan? maaf sekarang lagi sibuk, nanti aku Whatsapp." Dia menutup teleponnya.
Sore tiba, azan magrib menggema. Setelah Pak Sumi pulang dari masjid, badan wanita setengah tua itu digoyang-goyang oleh Pak Sumi, dia dibangunkan untuk salat magrib. Pulpen dan kertas yang berada di pangkuannya dan air liur yang menetes, menjadi tanda jika wanita itu kelelahan dan tanpa sadar tertidur di posisi itu. Bu Rati kaget karena tertidur dan tidak sadar jika hari sudah gelap. Dia menuju ke kamar mandi untuk mandi.
Lalu telepon pintar Pak Sumi berbunyi. Akhirnya Pak Warno mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp, di dalamnya berisi tulisan:
"Ya, kalau kau tidak apa-apa dengan ini, besuk minggu aku akan datang dengan keponakanku." Kata Pak Warno di Chat.
Marie? Dia masih seperti biasa. Anak itu masih tidur dan terbuai dalam alam mimpi selama 18 jam dalam sehari. Semakin hari, semakin pendek saja jatah bangun Marie. Dalam beberapa hari terakhir dia hanya bisa membuka matanya selama 3 jam 30 menit.
Perkiraan Bu Rati, adalah 3 bulan. 3 bulan dari sekarang, Marie tidak akan bisa membuka matanya bahkan jika itu hanya untuk sedetik. Sekarang Pak Sumi dan Bu Rati harus lebih cepat menemukan calon pendonor yang tepat bagi Marie.
Berkali-kali.
Sempat terpikir oleh batin Pak Sumi, bahwa kenyataannya kepolisian juga punya narapidana yang dihukum seumur hidup maupun dihukum mati. Berkali-kali terbesit niat untuk mengambil dari mereka (organ yang diperlukan). Tapi mereka semua terlalu tua untuk Marie (menurut Bu Rati). Bahkan jika Pak Sumi mengambil dari tahanan anak-anak, itu tidak akan berhasil. Tidak ada anak yang dihukum mati atau hukuman seumur hidup.
Melanggar hukum.
Bahkan pernah sekali saat obrolan ranjang dimulai, Pak Sumi sempat terpikir untuk mengambil organ anak-anak jalanan yang asal usulnya tidak jelas. Tidak ada yang akan menangis untuk anak jalanan yang tiba-tiba hilang kan? Tentu saja kepala plontos itu kena pukul oleh Bu Rati. Menurut wanita itu, itu melanggar hukum. Lagi pula tidak baik mengorbankan banyak nyawa untuk satu nyawa.
Banyak nyawa? kenyataannya Marie tidak hanya membutuhkan satu organ, bisa jadi seseorang hanya cocok untuk satu organnya, tapi tidak dengan bagian tubuh yang lain.
Minggu menjadi hari yang ditunggu-tunggu Pak Sumi dan Bu Rati. Pak Warno akan membawanya hari ini. Hari beranjak siang, namun orang yang dijanjikan tak kunjung datang. Baru setelah sore hari, suara ketukan pintu membuat Pak Sumi berjalan ke depan dan mengintip dari jendela. Itu adalah Pak Warno dan seorang anak kecil.
Perasaan Pak Sumi tidak enak, kenapa pembantunya harus seorang anak kecil? kemudian Pak Sumi membuka pintu dan mereka berdua dipersilakan masuk. Pak Warno menyuruhnya untuk memberi salam kepada Pak Sumi. Pak Sumi menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Tangan anak itu kecil, tapi kasar. Anak itu mencium tangan Pak Sumi. (1)
Bu Rati muncul dari balik bilik kamar dan menyilakan juga mereka berdua untuk duduk, kemudian Beliau masuk ke dapur untuk membuat teh dan kopi.
Pak Sumi menanyakan apakah anak inilah pembantu yang dijanjikan Pak Warno. Beliau mengiyakan. Namun seperti yang diduga Pak Sumi tidak mau jika pembantu barunya masih dibawah umur, Dia menjelaskan bahwa itu melanggar hukum. Namun Pak Warno tidak sependapat dengan gagasan itu. Ia berpikir jika hal ini sama saja dengan membiarkan anak itu tinggal dan sebagai gantinya dia membantu pekerjaan rumah.
Pak Warno menekankan kata-kata 'membantu', bukan berarti secara harfiah menjadi pembantu. Sangat konyol pembicaraan ini. Seorang anggota polisi menasihati polisi lainnya agar tidak melanggar hukum, padahal mereka (polisi) adalah orang yang menangkap orang yang melanggar hukum.
Saat kedua polisi setengah tua itu berdebat, anak perempuan cilik itu sedari tadi duduk di samping Pak Warno, dia sibuk memandang ruangan sekitar. Kakinya tidak bisa diam. Kedua kaki itu terus bergoyang-goyang, karena dia terlalu pendek. Saat duduk, ujung kakinya tidak bisa menyentuh lantai.
Dia melihat Bu Rati yang sedang membawa nampan berisikan tiga gelas berisi minuman. Bu Rati meletakkan nampannya lalu memindahkan minumannya ke meja tamu. Bu Rati ikut duduk di sofa tamu.
Dari ujaran Pak Warno, anak itu adalah keponakannya. Anak itu adalah anak dari saudara laki-laki termuda Pak Warno yang sekarang sedang di luar negeri. Dia ke luar negeri untuk melanjutkan kuliahnya. Sedangkan ibu dari anak perempuan berambut lurus berkucir kuda ini telah meninggal beberapa bulan sebelum ini.
"Ya... itu yang terjadi. Karena kesibukanku di kepolisian, lalu juga ditambah persiapan lamaran Rani, kemudian istriku yang juga seorang kepala sekolah jadi aku titip anak ini disini." Kata Pak Warno.
"Sebentar, biar aku luruskan, kau menyuruhku untuk merawat anak ini? hei aku sudah mempunyai seorang anak yang harus aku jaga." Kata Pak Sumi.
Kemudian Bu Rati ikut dalam pembicaraan.
"Pak, yang dikatakan Sumi benar, kami saja sudah hampir mencapai batas saat merawat Marie." Kata Bu Rati kepada Pak Warno.
"Bukan-bukan, bukan itu yang ku maksud, sebenarnya saat kami sekeluarga sangat sibuk, tidak pernah aku lihat cucian menumpuk, lantai kotor, kasur berantakan. berkali-kali Mpok Tayo (pembantu Pak Warno) melarang anak ini untuk ikut bekerja, tapi lihat tangan anak ini, kasar (maksudnya anak itu membantu pekerjaan rumah)." Kata Pak Warno.
"War sepertinya aku harus menelepon polisi, karena ada yang menjadikan anak dibawah umur sebagai pembantu." Gurau Pak Sumi.
"Hei aku serius, makanya sekarang aku serahkan anak ini ke kalian, setidaknya Rati bisa lebih pengertian daripada istriku yang jarang di rumah." Kata Pak Warno.
"Bantar war, bagaimana dengan sekolah anak ini?" Tanya Bu Rati.
"Raymond mendiagnosis Amnesia. dari lahir dia mengalami amnesia. Satu hari berlalu, maka satu hari pula dia lupa." Kata Pak Warno.
"Loh, jadi anak ini tidak bisa mengingat apa pun?" Tanya Pak Sumi.
"Pak, bukan berarti penderita amnesia tidak bisa mengingat apa pun. dia tetap bisa mengingat siapa namanya, kegiatan repetisi (berulang-ulang) sehari-hari seperti makan, minum, mandi, dimana dia tidur..." Kata Bu Rati.
Kemudian Bu Rati melihat Pak Warno.
"...Tapi aku tetap menyarankan agar anak ini bisa sekolah, untuk perkembangan mentalnya." Sambung Bu Rati dan melihat ke arah Pak Warno.
"SLB? tidak ada sekolah seperti itu di sekitar sini, kami juga sangat sibuk sampai-sampai tidak bisa mengantarkannya ke SLB terdekat yang jalannya berlawanan dengan tempat kerja kami." Kata Pak Warno.
"Kalau sibuk begitu juga dengan kami... tapi, bagaimana ya buk?" Pak Sumi melempar ke Bu Rati.
"Hm, kalau bapak tidak keberatan, aku juga tidak. Lagi pula yang kita butuhkan bukannya orang yang bersama Marie? Urusan bersih-bersih dan yang lain kita masih bisa kan? Tambah satu (anak) lagi, sepertinya tidak apa-apa." Kata Bu Rati.
"Tapi tetap saja war, apa pun alasannya aku tidak bisa mempekerjakan seorang anak kecil. Lain cerita kalau aku menganggap dia bukan pembantu seperti yang kau katakan. Oke aku setuju dia tinggal disini, bukan sebagai pembantu, tapi sebagai teman Marie."
"Adek, siapa namanya?" Kata Bu Rati.
"Lili!" Kata Anak itu tersenyum.
Anak itu bersemangat dan senang, dengan senyum di wajahnya.
"Oke. Tenang saja aku tetap akan tanggung jawab dengan Lili. Aku akan transfer kebutuhan bulanan Lili nanti.
"Lah, tidak usah War. Dari awal kan memang aku yang ingin pembantu?" Kata Pak Sumi.
"Biarkan aku membantu kalian. Bukannya kalian butuh uang untuk operasi Marie?" Kata Pak Warno.
"Kakak, ini pasti karena kakak." Kata Bu Rati.
"Ya, Raymond yang cerita." Kata Pak Warno.
"Siapa lagi kalau bukan Raymond. Terima kasih War." Kata Pak Sumi.
"Tenang saja. Ah tapi sekarang, besuk mulai masuk ke kantor ya sum. ada kasus baru." Kata Pak Warno.
"Ah, War, aku lupa sesuatu yang penting, anak ini kan keponakanmu, apa adikmu tidak keberatan menitipkan anaknya ke kami?" Tanya Pak Sumi.
"Deni sedang di Malaysia sekarang. Dia dapat beasiswa kuliah kesana, jadi dia titipkan anak ini kemari." Kata Pak Warno.
"Dan Bapak malah membuang anak ini ke keluarga sumi ya, Hm, lalu dimana ibunya?" Kata Bu Rati.
"Ibunya? baru seminggu yang lalu meninggal." Kata Pak Warno.
Mereka diam. Kemudian Pak Warno berkata "Ya lagi pula anak ini sepertinya juga sudah lupa kalau ibunya sudah mati."
Suasana menjadi hening sejenak.
"Ee.. ah ngomong-ngomong, kasus baru yang tadi itu kasus apa lagi?" Tanya Pak Sumi.
"Kita bicarakan hal itu di kantor. omong-omong, tehnya enak." Kata Pak Warno.
"Eh war, itu tehnya buat adek ini!" Kata Bu Rati.
Kemudian Pak Warno tersedak.