Chereads / My Slave, My Servant, My Daughter / Chapter 23 - Masa Lalu: After

Chapter 23 - Masa Lalu: After

Di suatu Utopia, Rupiah, adalah sebuah mata uang negara Indonesia yang terus mengalami apresiasi (peningkatan) terhadap mata uang negara lain karena kematangan ekonomi Indonesia.

Lain dengan Rupiah, keluarga Rupiah mengalami penurunan. Saat para warga mengetahui jika rupiah melambung, mereka senang, tapi saat mereka mengetahui jika Rupiah "melambung" mereka menjauhinya. Dilanda frustrasi yang tinggi karena tekanan ekonomi dan masyarakat, bapak biologis bangsat itu melakukan berbagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap Rupiah setiap hari. Kehidupan mereka bagai neraka di dunia. Jika saja Rupiah tidak mengalami gangguan mental, tentu ia telah pergi sejak dulu.

Sampai suatu ketika Rupiah sedang didalam kamar untuk ganti baju, saat masih menggunakan pakaian dalam tiba-tiba bapak itu (dalam keadaan setengah mabuk) membuka pintu (Pintu di dalam gubuk reyot itu tidak mempunyai kunci sama sekali) dan memukulnya di bagian perut. Entah mengapa tapi naluri keibuannya muncul dan untuk pertama kalinya rupiah marah (padahal selama ini apa pun yang dilakukan lelaki itu kepadanya, ia tidak pernah marah).

Laki-laki itu kaget dan marah karena reaksinya. Lalu dengan sengaja memukulinya lagi. Lagi. Lagi dan lagi. Tak cukup sampai disitu, sekarang lelaki tua itu berencana menggunakan pisau. Dia mengambil pisau dapur, lalu berlari dan menusuk perut besar itu. Terkena!

Untung saja roda nasib masih berpihak pada Rupiah. Pisaunya tumpul dan berkarat. Selain itu karena refleks Rupiah menghindar dan karena faktor lemahnya kondisi fisik lelaki itu, itu (pisau) tidak bisa masuk ke dalam, dan hanya menimbulkan luka tusuk yang tidak terlalu dalam. Melihat ada darah keluar dari tubuhnya, wanita kurang akal itu baru sadar jika nyawanya akan terancam.

Bapaknya tidak lagi menyayanginya (tidak lagi? bahkan orang itu tidak pernah menyayanginya dari dulu). Rupiah lalu mendorong lelaki itu. Bapak Rupiah terjatuh ke belakang. Wanita itu tampak kesusahan karena dia melakukan hal yang buruk. Lalu lelaki itu bangkit. Dengan berbagai macam umpatan dan makian dia memaki anaknya sendiri. Rupiah hanya diam, dia merasa jika satu-satunya keluarga yang dia miliki saat ini hanyalah lelaki itu, dia yang merawatnya hingga sebesar sekarang.

Baru kemudian amarah wanita hamil itu tidak bisa terbendung saat lelaki itu mulai memaki anak yang dikandungnya. Rupiah lagi-lagi naik pitam. Tidak cukup dengan mendorong, dia bahkan menusukkan pisau tumpul berkarat itu tepat di mata bapaknya sendiri. Lelaki tua itu berteriak keras. Orang itu menjerit kesakitan.

Lokasi gubuk yang dekat dengan hutan dan sangat jauh dari rumah warga membuat tidak ada orang yang mendengar jeritan pelik itu. Kemudian Rupiah mencabut pisau itu dari matanya dan mulai memukul-mukulkan pisau itu ke leher lelaki itu, butuh beberapa waktu hingga akhirnya putus.

Rasa lega bersemayam dalam dada Rupiah. Dia membawa kepala bapaknya itu dan melempar-lemparkan ke udara dengan perasaan senang dan lega.

Badan pria itu masih tergeletak di depan sedangkan Rupiah membawa kepala bapaknya masuk ke dalam kamar. Untuk pertama kali dalam beberapa tahun belakangan dia bisa tidur dengan nyenyak. Matahari telah terbit namun Rupiah tidak mau bangun, dia sangat lelah dengan kejadian semalam. Baru setelah siang berselang Rupiah dibangunkan oleh suara derap kaki beberapa orang dari luar gubuk. Itu adalah langkah kaki Sumi dkk. Lambat laun suara derap itu kian menjauh. Kemudian dia terbangun dan kemudian merasakan sakit yang amat sangat di perut besarnya itu.

Tak tahan dengan rasa sakitnya, dia keluar dari gubuk itu dan pergi. Tidak jelas apa yang menjadi tujuannya akan pergi kemana, yang jelas sekarang dia merasakan sakit di perutnya, seperti ada yang mau keluar dari dalam. Rupiah perlu berterima kasih terhadap akalnya yang tidak penuh (Baca: bodoh, kurang akal, gila) karena orang waras mana yang sanggup berjalan dengan kondisi kontraksi yang hebat karena akan melahirkan? Ketidakwarasan itu menjadi semacam penghilang rasa sakit alami yang membuat Rupiah bisa terus berjalan, dan terus berjalan.

Dia terus berjalan seharian dengan cara berjalan yang aneh ditemani oleh jabang bayi yang baru keluar kepalanya. Dia berjalan dengan langkah kakinya yang melebar ke samping, karena jika dia berjalan seperti biasa, dia akan menyenggol sebuah benda kecil di selangkangannya, kepala sang jabang bayi.

Sampai malam berselang dia menemukan sebuah semak belukar, dia merasa harus mengeluarkannya. Dia berhasil mengeluarkan kehidupan baru yang masih rapuh dan perlu perawatan.

Rupiah sangat kelelahan.

Rupiah terbaring di semak belukar. Dia sekarang berpikir bagaimana cara merawat manusia sekecil itu, merawat anaknya. Pikiran dangkalnya bekerja lebih keras sekarang. Sudah menjadi naluri setiap manusia, bayi yang baru lahir akan didekapkan ke dada untuk menyusu, begitu pula yang dilakukan oleh Rupiah. Bayi itu secara alami mencari puting yang nun jauh di puncak gunung besarnya itu. Setelah dirasa cukup, Rupiah berpikir tidak mungkin baginya untuk merawatnya dengan kondisi yang seperti ini.

Rupiah sangat Kedinginan.

Baik itu karena pakaian atau karena kekurangan darah. Wanita itu kini memandangi anak tidak berdosa itu dengan tatapan sedih. Rupiah bahkan tidak tahu siapa yang menjadi bapaknya. Rupiah berdiri dan beranjak dari Semak belukar itu. Dia tidak tahu harus kemana, yang sekarang diketahuinya dia sedang menggendong bayinya sekarang. Seperti itu saja membuat Rupiah senang. Baru saja ia keluar dari semak belukar, beberapa anjing liar muncul dari arah hutan. Rupiah lari, Namun sudah terlambat.

Sama seperti Ibunya dulu.

Rupiah Melakukan hal yang sama.

Kedua wanita itu menelantarkan Bayinya.

Namun, Setiap makhluk hidup pasti berevolusi.

Rupiah tidak melempar bayinya seperti yang dulu ibunya lakukan.

Rupiah berhasil memasukkan bayinya ke dalam tong sampah dan menutupnya dengan penutup. Lalu wanita itu berlari ke dalam hutan untuk menjadi umpan hidup bagi gerombolan anjing liar tersebut.

Sangat tidak mungkin bagi jabang bayi yang baru lahir untuk bertahan di dalam tong sampah, namun takdir berkata lain. Seperti yang kita ketahui, beberapa jam setelah itu, seseorang bernama Pak Awan mengambil bayi itu. Ya. Bayi itu adalah Marie, dan Rupiah adalah Ibu kandung Marie.

Masa lalu adalah sebuah waktu yang tak akan pernah terulang kembali. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan, sedikit yang tahu apa yang sudah terjadi di waktu lampau. Pun, tidak banyak orang yang tahu yang mengingat hal yang telah lampau. Tidak ada yang tahu apa yang dilakukan Rupiah pada hari itu, tidak ada saksi mata.

Entah apa yang telah mengutuk keturunan yang dilahirkan dari Rahim seorang Ibu dari Rupiah. Kini kutukan itu berpindah dari satu nyawa ke nyawa yang lain, Ibu Rupiah, Rupiah, Marie.

...

"Giliran begini saja ingat kau. Ya aku baru ingat sekarang, hmm aku tidak tahu dimana asalnya. Ah ini sia-sia, yang kuingat adalah waktu kita dulu menemuinya dia tampak hamil." Kata Pak Warno.

"Dia dari Ngambon, hanya beda satu kecamatan dengan Kecamatan Sekar." Sambung Pak Sumi.

"Dan, menurut laporan tadi (Raymond telah diberi tahu semuanya oleh Pak Warno) Kecamatan Sekar, adalah kecamatan dimana orang yang bernama Pak Awan tinggal." Kata Pak Raymond.

"Nah, lalu kata Awan, dia menemukan Marie di tempat sampah gereja di kecamatan tersebut, yang artinya..." Kata Pak Sumi.

"Ada kemungkinan Marie adalah anaknya Mbak Rupiah, begitu maksudmu?" Sahut Pak Warno.

"Ya." Kata Pak Sumi singkat.

"Ee.. tapi Sum, apa kau tidak melupakan hal yang penting?" Kata Pak Raymond.

"Hal penting apa itu wahai kisanak?" kata Pak Warno.

"Hei aku tidak menduga kalau kau sebodoh ini, sekarang coba pikirkan, kita mencoba mengintip ke gubuk itu waktu kita SMP, ingat?" Kata Pak Raymond

"Hmm, ah... oh." Batin Sumi.

Sumi tahu apa yang ingin dikatakan Pak Raymond.

"Nah, jadi jika mungkin anakmu itu ibunya adalah Tante toked yang mana dia sedang hamil besar waktu itu, sekarang coba pikirkan berapa umur anakmu itu." Kata Raymond.

"Hmm, oke aku paham maksudmu, jadi, dulu kita mengintip si Rupiah sedang hamil besar, bersimbah darah dan membawa kepala, nah jika mungkin Marie adalah anak yang ada dalam kandungannya tersebut, berarti Marie-ku sekarang sudah berumur 20-an tahun." Sumi melanjutkan.

"Dan seperti yang kita tahu itu tidak mungkin, ahahaha." Kata Pak Warno

"Woo jangan cepat menyimpulkan, sebenarnya kemungkinan itu ada, malnutrisi, gangguan psikologis, keturunan, penyiksaan, kurang cahaya matahari, ya kalau dipikir lagi, juga masuk akal jika Marie itu benar-benar berumur 20 tahun. Tapi aku tetap tidak mempercayainya." Jelas Pak Raymond.

Mereka terdiam beberapa detik.

"Oke, dari diskusi kita tadi, ada hal yang telah ku tangkap, pertama, kita bertiga tidak bisa terus menerus memfokuskan pikiran kita ke masalah Marie, lagi pula hei, kita masih ada pekerjaan masing-masing yang harus diselesaikan. Kedua, Sum, aku minta kepadamu entah bagaimana caranya kau benar-benar kembali ke kepolisian (secara mental), cari pembantu baru, atau bagaimana, kepolisian sangat membutuhkan keahlianmu. Ketiga, mond, dari laporan Sumi aku rasa Marie mungkin butuh bantuan medis, lebih tepatnya pada psikisnya, kalau tidak salah dalam laporan Sumi menyebutkan 'Aquastor', setahuku, itu adalah makhluk yang tercipta dari pikiran dan imajinasi seseorang." Jelas Warno.

"Kita sepikiran war, lusa kemarin aku dikontak (dihubungi) sama Rati. Dia memintaku mencarikan donor." Kata Raymond.

"Donor?" Tanya Pak Warno.

"Apa maksudmu itu donor organ, buat Marie?" Kata Pak Sumi.

"Ya itu maksudku. Sekarang sedang proses pencarian, entah ketemu pendonornya kapan." Kata Pak Raymond.

"Hm, baguslah kalau begitu." Kata Pak Warno.

Mereka beranjak dari tempat duduk dan keluar dari tempat rapat.

"Ah ya hampir lupa, minggu depan pastikan kalian berdua datang ke acara lamarannya anakku." Kata Warno tiba-tiba.

"Wih calon kakek nih, dapat siapa Si Rani?" Kata Pak Raymond.

"Quora." Kata Pak Warno.

"Lah, kau yakin sama Quora war?" Kata Pak Sumi.

"Kalau ibu dan anaknya yakin, bapaknya bisa apa, ahahaha. ya menurutku juga tak terlalu buruk si kain pel itu. Tapi tetap saja..." Kata Pak Warno.

"Tetap saja?" Tanya Pak Raymond.

"Anak perempuan itu cepat sekali dewasa ya heuheuheu." Pak Warno mengatakannya dengan wajah menunduk.

"Ahahaha, ya... apa mungkin Marie suatu saat dia juga akan meninggalkanku." Pak Sumi mengatakannya dengan wajah menunduk juga.

"Hei hentikan itu, kalian berdua!" Sahut Pak Raymond.