Setelah sarapan di Warung Makan Sukijan, sebuah warung makan terkenal di beberapa kalangan tertentu karena nasi kucing legendarisnya, Pak Sumi bergegas menuju lokasi yang ditunjukkan oleh pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Lokasi berjarak lumayan jauh, yaitu sekitar 48 kilometer dari Pusat Kota Bojonegoro. Pak Sumi menyetir sambil berpikir mau menyamar sebagai apa, mau bagaimana saat sampai di rumah yang dituju.
Dari Kota Kabupaten Bojonegoro, Pak Sumi bertolak ke Kecamatan Sekar, sebuah kecamatan dengan 71 Persen daratan keringnya merupakan Hutan. Daratan tinggi dan bukit banyak dilewati selama perjalanan. Lokasi yang benar-benar jauh dari hiruk pikuk kota yang ditinggali Pak Sumi.
Akhirnya Pak Sumi sampai di sebuah jalan setapak samping jalan raya antar kecamatan. Beliau meninggalkan mobilnya di warung yang tidak jauh dari tempat jalan setapak tadi, dan menitipkan mobilnya kepada pemilik warung.
Tidak begitu saja menuju lokasi yang tuju, Pak Sumi belajar tentang lingkungan sekitar sini. Beliau bercengkerama dengan pemilik warung mengenai desa ini. Bagaimana desa ini, ada kejadian spesial apa saja yang terjadi di desa ini.
Seperti kebanyakan orang desa, masyarakat disini sangat ramah (ramahnya orang desa mungkin karena jarang orang dengan pakaian dan mobil yang bagus mau berkunjung ke sebuah desa) dan iya... tidak ada pilihan lain bagi Pak Sumi kecuali harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Tas pinggang, jaket parasut merek Harrington, sepatu kasual dan celana Levis menjadi pilihan Pak Sumi kali ini. Cuaca sangat cerah, Pak Sumi beruntung karena beberapa hari sebelum hari ini, sering sekali hujan.
"Disana pak rumah Pak Awan." Kata salah seorang penduduk yang ditanya Pak Sumi dimana rumah Suami dari kedua perempuan yang mati karena gantung diri.
Akhirnya dia tiba di sebuah rumah. Rumahnya tampak biasa saja dan seperti rumah lainnya, tidak ada yang khusus dari rumah itu.
"Permisi." Kata Pak Sumi.
"Iya sebentar." Suara seorang pria dari dalam rumah.
Lalu pintu terbuka.
"Apakah bapak yang bernama Pak Awan?" tanya Pak Sumi.
"Iya dengan saya sendiri, bapak siapa? Ah duduk dulu pak silakan." Jawabnya ramah.
Mereka berdua duduk di teras rumah.
Kejadian yang agak jarang di masyarakat sana. Siapa pun yang datang ke rumah mereka dapat dipastikan mereka mengenalnya karena biasanya hanya tetangga yang datang. Lalu, jika mereka tidak kenal, maka sudah dipastikan dia datang dari luar desa. Aturan yang tidak tertulis di desa ini adalah mereka yang datang harus diperlakukan layaknya tamu agung.
"Dek, tolong ambilkan minum, kita ada tamu." Kata Pak Awan.
"Iya mas." Kata seorang perempuan dari dalam.
Pak Sumi agak kaget karena ada seorang perempuan di rumah.
"Bukannya kedua istrinya harusnya sudah mati?" batin Pak Sumi.
"Jadi pak, ada perlu apa?" kata Pak Awan.
"Ah jadi begini pak, Saya (bekerja sebagai) dosen, mau mengadakan penelitian di desa ini." Kata Pak Sumi.
"Ohh..." Jawab Pak Awan.
"Nah saya ingin melihat bagaimana kehidupan di desa ini, tepatnya bagaimana petani dalam menanam tumbuh-tumbuhan. Kata warga desa bapak adalah petani, apa itu benar pak?" kata Pak Sumi berbohong.
"Benar Pak. Tapi Saya cuma petani kecil-kecilan pak, jadi apa yang bisa saya bantu? haha." Kata Pak Awan tertawa.
Lalu seorang perempuan keluar dengan membawa nampan berisi 2 gelas teh. Wanita berkulit putih itu meletakkan dua gelas teh keatas meja dan kembali ke dalam sambil membawa nampannya.
"Ini Pak diminum dulu tehnya." Kata Pak Awan sambil menyodorkan salah satu gelas teh.
"Ah maaf pak, jadi merepotkan. Itu tadi istrinya pak?" kata Pak Sumi kepada Pak Awan.
Mereka berdua duduk berhadap-hadapan dengan sekat sebuah meja.
"Ya siapa lagi kalau tidak istri saya pak." Kata Pak Awan santai.
Wanita itu berkerudung. Pak Sumi melihat hal yang janggal. Beliau berpendapat bahwa Pak Awan berbohong tentang istri. Seorang Kristen - Pak Sumi mengetahui dari data Disdukcapil โ seperti pak Awan mempunyai seorang istri berkerudung?
kesimpulan Pak Sumi, Pak Awan tidak bisa dijadikan narasumber (untuk interogasi yang sebenarnya), karena dari awal sudah berbohong.
"Bagaimana saya bisa memulainya pak? kebetulan responden yang saya butuhkan adalah wanita. Bapak kenal petani wanita disini?" Kata Pak Sumi.
"Repsonden?" Pak Awan keliru menyebutkan kata 'responden' menjadi 'repsonden'.
"Maaf haha, maksud saya sak- emm, narasumber." Kata Pak Sumi.
"Hm.. kalau begitu bagaimana kalau bapak bicara sama istri saya? dia juga petani." Kata Pak Awan ramah.
"Oh begitu... kalau bapak berkenan, iya boleh pak." Kata Pak Sumi.
Pak Sumi memang sengaja ingin mewawancarai 'istri' Pak Awan.
"Dek, tolong kemari sebentar." Kata Pak Awan dengan suara agak lantang.
"Iya mas?" Kata seorang wanita dari dalam.
Wanita itu kemudian menuju ke depan rumah sekali lagi, ke tempat Pak Awan dan Pak Sumi duduk.
"Jadi begini dek, pak, e... maaf?" Kata Pak Awan sambil menoleh ke Pak Sumi.
"Sumi, nama saya Sumi. Maaf, lupa perkenalan tadi, haha." Jawab Pak Sumi.
"Pak Sumi ini seorang dosen, dia mau tanya-tanya soal sawah dan kebun padamu, kamu bisa?" Kata Pak Awan.
"Boleh mas." Jawab wanita itu.
"Oh iya pak, sama sekalian izin melihat kebun bapak, kebun bapak sebelah mana ya? saya butuh 'footage' yang bagus buat laporan nanti." Kata Pak Sumi meninggikan pemilihan katanya.
"Haha iya pak, ayo kita kesana-" Kata Pak Awan terputus.
Tiba-tiba pria paruh baya datang dari depan.
"Selamat Siang Pak Awan!" Kata Pria dengan peci diatas kepala.
"Pak Kades? ada apa pak?" Kata Pak Awan.
"Bisa ikut saya sebentar? ini ada job (pekerjaan)." Kata Pak Marmin, Kepala Desa disini.
"Loh tumben pak?" Kata Pak Awan bingung.
"Bapak gak mau? fulus (uang) dua kali lipat loh pak, biasa dari dana desa." Kata Pak Marmin.
"Mau-lah pak, bapak ini... e... pak (berpaling ke arah Pak Sumi) sama istri saya saja tidak apa-apa kan? Nanti kalau ini sudah selesai aku menyusul kalian kesana." Kata Pak Awan.
"Tidak masalah pak." Kata Pak Sumi.
Akan jadi masalah kalau Pak Awan ikut bersama Pak Sumi dan 'istri' Pak Awan. Menurut Pak Sumi, perawakan, jawaban, dan gestur yang dilakukan oleh Pak Awan terlihat ada yang tidak beres. Tapi dia (Pak Awan) menutupnya dengan sandiwara yang sempurna. Sandiwara itu mungkin akan berhasil jika dengan orang lain, namun tidak dengan Pak Sumi.
Secara sembunyi-sembunyi, setelah 'istri' Pak Awan keluar membawa nampan, Pak Sumi langsung menyentuh saku celananya bagian depan, untuk menelepon Pak Marmin untuk datang ke Rumah Pak Awan.
Sebelumnya, Pak Sumi sudah bermufakat dengan Pak Marmin saat berada di warung (kebetulan Warung itu adalah milik Pak Marmin) jika beliau ditelepon, beliau harus langsung menemuinya di rumah Pak Awan. Awalnya dia menolak, tapi kemudian setuju untuk kooperatif ketika Pak Sumi menunjukkan lencana polisinya. Akhirnya Pak Marmin mengiyakan hal tersebut.
....
Pak Sumi berdua dengan 'istri' Pak Awan. Mereka berjalan lumayan jauh. Pak Sumi yang tidak biasa aktivitas fisik diluar ruangan, merasa kecapaian. Botol ukuran 600 ml yang disiapkan hampir habis dalam hitungan menit. Tapi itu terbayar dengan pemandangan alam yang asri, sesuatu yang jarang ditemui di kota metropolitan.
"Ah... bisakah kita istirahat disini? Apa masih jauh kebunnya?" tanya Pak Sumi sambil duduk di sebuah batu besar dan meminum sisa air yang dibawanya karena kecapaian.
Dia melihat perempuan itu sedang menoleh kanan dan kiri. Tingkahnya seperti untuk memastikan jika tidak ada orang di sekitar mereka. Di sekitar mereka memang tidak ada orang, adanya hanya sebuah hutan rindang nan indah.
"Emm, maaf pak sebenarnya kita tidak menuju kebun." Kata Wanita itu.
Sontak Pak Sumi kaget.
"Loh apa maksudmu? Bagaimana dengan penelitian saya? Kamu mau menipu saya ya?" Kata Pak Sumi agak kesal.
Pak Sumi kesal karena dia merasa jika perjalanan jauhnya untuk menuju ke Kebun jadi sia-sia. Rasa lelah membuat Pak Sumi lupa tujuan sebenarnya dia kesini. Tentu saja tujuan itu bukan untuk melihat sebuah kebun yang indah.
"Bukannya bapak ini dari kepolisian?" Kata Wanita itu tenang.
"Ah! kok kamu..." Kata Pak Sumi Terkejut bukan main.
Hampir saja Pak Sumi jatuh dari Batu yang digunakan untuk duduk.
"Mungkin bapak tidak ingat, tapi aku salah satu WTS yang diselamatkan oleh Bapak dan kedua teman bapak." Kata Wanita itu.
Pak Sumi yang panik melihat keadaan sekitar untuk memastikan tidak ada orang.
"Tidak ada orang lain selain kita disini pak." Kata Wanita itu.
Wanita itu seolah membimbing Pak Sumi menuju ke tempat sepi.
"Aku mengerti, itu sebabnya kau... haah... oke, kalau begitu ini akan berlangsung lebih cepat." Kata Pak Sumi.
"Jadi apa yang mau bapak tanyakan?" Kata Wanita itu.
"Kamu kenal dengan Marie?" Kata Pak Sumi langsung ke intinya.
"Marie? siapa itu?" Jawab Wanita itu.
"Seorang anak yang ditawan bersamamu, bentar... kamu salah satu PSK yang dipasung itu kan?" Kata Pak Sumi memastikan.
"Iya, setelah dari Rumah sakit, Pak Awan menjemputku. Lalu dia membawaku pulang ke rumahnya." Kata Wanita itu.
"Ah tentu dia, lagi pula dia suamimu." Kata Pak Sumi.
"Memang benar dia suamiku, sejujurnya aku baru mengenalnya, emm setelah dijemput langsung aku dipinangnya."
"Ah, sudah kuduga, tingkahmu memang aneh untuk seorang istri, lalu?" Tanya Pak Sumi.
"Lalu?" Kata Wanita itu dengan bingung.
"Ceritakan padaku lagi selanjutnya, ah benar juga, siapa namamu?" Kata Pak Sumi.
"Mino. Jadi setelah itu aku dirawat oleh Pak Awan, aku tidak pernah diperlakukan buruk olehnya. Privasiku selalu dijaga bahkan setelah kami menikah. Aku bahkan punya ruanganku sendiri. Dia itu orang yang baik." Jelas Mino.
"Lalu pernah kamu disuruh meladeninya?" Kata Pak Sumi.
Pak Sumi bertanya apakah mereka juga berhubungan intim.
"Sebagai istri, tentu iya." Terang Mino.
"Jadi sudah berapa lama kamu disana?" Tanya Pak Sumi.
"Baru beberapa hari ini." Jawab Mino.
"Dan kondisimu sekarang sudah jauh lebih baik dalam waktu yang singkat?" Kata Pak Sumi.
"Ba-bapak tidak percaya? ini semua karena Pak Awan! dia menjagaku dengan baik!" Mino meninggikan Suaranya.
"Ok, ok, baiklah, ngomong-ngomong Saya mendengar Pak Awan sempat mempunyai istri sebelum kamu? dimana mereka?" Tanya Pak Sumi.
"Sudah mati." Jawab Mino singkat.
Lalu Pak Sumi memegang tangan Mino - sebagai antisipasi bila dirinya tiba-tiba kabur -, lalu Pak Sumi melihat jika tangan itu masih penuh luka. Lukanya tertutupi baju gamis yang dia kenakan. Mino seorang wanita berkerudung yang "nikah" dengan pria beragama Kristen.
"dia mati? kapan?" Jawab Pak Sumi.
"Beberapa hari yang lalu" Jawab Mino.
"Kamu sudah disana saat dia mati? Ceritakan bagaimana mereka mati!" Perintah Pak Sumi.
"Mereka... saling mencekik diri mereka sendiri dengan tali." Kata Mino.
"Mereka? berapa istri Pak Awan?" Tanya Pak Sumi.
"Pak! apakah bapak tidak punya hati? aku berusaha menghilangkan kejadian itu dari kepalaku, sekarang bapak suruh aku mengingatnya lagi!?" Ronta Mino.
Pak Sumi melepaskan tangannya.
"Tolong, ini demi kepentingan penyelidikan kami." Kata Pak Sumi memohon.
Mino yang tak kuasa untuk berdiri, lalu dia duduk.
"Ja-jadi waktu aku dibawa oleh Pak Awan ke rumahnya, mereka berdua yang ada di dalam rumah... menyambut kami setelah kami masuk ke rumahnya." Kata Mino.
"Lalu apa masalahnya?" Tanya Pak Sumi.
"Pak, tapi janji jangan beritahu Pak awan atau siapa pun atau warga desa atau... atau.." Kata Mino gugup.
"Hei! kuasai dirimu, aku tidak akan memberitahu siapa pun soal ini. Cepatlah kita tidak punya banyak waktu, kita harus segera ke kebun, kalau tidak Pak Awan akan salah paham dengan kita." Kata Pak Sumi.
"Mereka telanjang." Kata Mino singkat.
"Ha? siapa?" Kata Pak Sumi bingung.
"Kedua perempuan yang menyambut kami. Lalu Pak Awan menyebut mereka sebagai istrinya." Jawab Mino.
"Ini semua tidak masuk akal dan tidak berguna. Jika memang mereka adalah (ibu dan bayi) yang hilang, lalu bagaimana kedua perempuan itu masih hidup di rumah hingga beberapa hari yang lalu?" batin Pak Sumi.
"Lalu pak, kedua wanita itu berkata pada Pak Awan, ternak baru pak?" Mino melanjutkan ceritanya.
"Iya buk, ini istri baru saya, kata Pak Awan menimpali" Lanjut Mino dengan tertunduk.
"Ternak? istri baru? jangan berbohong!" Kata Pak Sumi.
Pak Sumi merasa jika dia harus secepat mungkin mencari bukti di rumah Pak Awan atas hal ini.
"Maaf pak, sayangnya hal itu yang ku dengar dari Suamiku. Tapi Aku tidak dijadikan ternak, karena aku masih terluka waktu itu." Kata Mino.
"...mungkin hingga sekarang." Lanjut Mino.
"Haah, terserah, apa dia kasihan? Begitu menurutmu? makanya dia tidak melakukan apa-apa denganmu. Sudahlah, ayo kita ke kebunmu. Buang-buang waktu saja aku bicara dengan orang kurang akal sepertimu!" Kata Pak Sumi.
"Kasihan? aku belum cocok menjadi binatang ternak, makannya dia tidak menyentuhku." Kata Mino smbil melihat muka Pak Sumi.
"Ternak lagi.. ternak lagi... kau bilang ternak-ternak, apa itu?" Tanya Pak Sumi.
"Istrinya adalah binatang ternak." Kata Mino.
"Ternak apa! sapi?" Pak Sumi tidak mengerti yang dimaksud Mino.
"Bayi. Mereka menjual bayi." Jelas Mino.
"Bayi? Bayi apa?" Kata Pak Sumi kebingungan.
"Mereka menjual setiap bayi yang dilahirkannya pak!" Kata Mino dengan setengah lantang.
Mino ngos-ngosan, Pak Sumi tercengang mendengar hal itu.
"Astagfirullah, tapi jika hal ini benar maka besar kemungkinan kalau Marie berasal dari peternakan ini." Batin Pak Sumi.
"Lalu kepada siapa kalian menjualnya?" Tanya Pak Sumi.
"Majikanku sebelumnya. Orang yang punya butik yang kalian sergap." Jawab Mino.
Pak Sumi mungkin mendapat 'ikan tuna'nya. Sebagian data orang yang hilang mungkin saja adalah istri-istri dan bayi yang dijual. Tapi masih ada sesuatu yang janggal. Hal ini adalah setiap bayi yang lahir adalah bayi yang ada di data milik pemerintah, berarti bayi itu telah dibuatkan akta kelahiran yang menunjukkan bahwa memang ada bayi yang lahir. Lalu jika tujuan utama 'membuat bayi' adalah untuk menjualnya, kenapa harus repot membuat surat-surat tersebut?
"Apa buktinya?" Kata Pak Sumi.
"Tidak ada." Jawab Mino singkat.
"Aku beri kamu waktu sampai besuk, temui aku di warung seberang jalan raya, bawakan aku buktinya. Aku akan berikan imbalan yang sangat layak." Kata Pak Sumi.
"Tidak bisa." Jawab Mino sekali lagi.
"Ha? kau memeras negara ya, baiklah kalau begitu akan aku cari sendiri buktinya." Kata Pak Sumi.
"Tidak akan bisa." Jawab Mino singkat.
"Kau meragukan kemampuan seorang polisi? Kamu saja berhasil kami bebaskan." Kata Pak Sumi yakin.
Mino yang mendengar semua kata optimis dari Pak Sumi merasa semakin geram.
"Kau tidak bisa menemukannya karena memang tidak ada buktinya! mereka (istri) berdua frustrasi saling mengikat diri mereka sendiri! oleh Pak Awan dibuat seolah-oleh mereka kendat (tergantung di tali/ gantung diri) karena tekanan ekonomi. Lalu aku, tidak ada yang percaya padaku bagaimanapun aku katakan ke penduduk!" Kata Mino terengah-engah.
"Haah... terima kasih. Sepertinya aku butuh bantuan tambahan untuk menangani kasus ini. Ya, pokoknya kita harus ke Kebun, kita foto-foto." Kata Pak Sumi.
Pak Sumi berpikir untuk menghubungi kantor untuk meminta polisi lain kesini membantunya.
"Kenapa berfoto di kebun?" Kata Mino.
"Pe-ne-li-ti-an ku. kebunnya tidak jauh dari sini kan?" Tanya Pak Sumi.
"Masih lima menit jalan kaki." Jawab Mino.
Mereka mulai berjalan ke kebun yang dimaksud.
"Tapi tetap saja... apa kamu tidak ingin keluar dari sana? Kalau kau mau, aku bisa membebaskanmu dari Awan." Tawar Pak Sumi.
"Tidak." Jawab Mino singkat.
"Kenapa?" Kata Pak Sumi heran.
"Cinta." Jawab Mino singkat.
"Ah sialan aku bertemu dengan orang gila. Sakit jiwa mereka semua, pemilik toko itu, Pak Awan dan Mino..." Kata Pak Sumi dalam hati.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Apa Marie juga seperti ini?" pikiran sesaat Pak Sumi.