"Pertanyaan pertama, apa benar tempat ini adalah peternakan bayi?" Kata Pak Sumi tajam.
"Jadi ini akan langsung ke intinya? kalau kau sebut ini peternakan, mungkin bukan kata yang tepat juga... Hm sebenarnya aku hanya buat anak terus ku jual." Kata Pak Awan tenang.
Pak Awan duduk berhadapan dengan Pak Sumi.
"Dari kapan?" lanjut Pak Sumi.
"Hm aku lupa sesuatu." Kata Pak Awan.
Pak Awan mendekati Pak Sumi. Dirabanya seluruh tubuh Pak Sumi. Muka Pak Awan sedikit memerah karena terangsang oleh Pak Sumi.
"Sip bersih, tidak ada alat penyadap atau apa pun disini. Ah kau bertanya dari kapan? lama pokoknya." Kata Pak Awan yang kemudian kembali duduk.
"Tapi sebelum kau jual kau mengurus semua surat-surat kelahiran? itu hal yang aneh." Kata Pak Sumi.
Pak Sumi berkata seperti itu karena kenyataan bahwa data menyebut terdapat bayi hilang. Ini berarti anak yang dijual (atau yang hilang) telah tercatat pada dinas kependudukan setempat.
"Biar tidak ketahuan saja, dan selama 6 tahun memang tidak ketahuan. Jadi mas bro, setelah istri-istriku melahirkan, aku urus semua surat-surat lalu aku serahkan ke panti asuhan karena alasan keuangan atau kalau tidak aku langsung meletakkannya di depan pintu lengkap dengan surat-suratnya." Kata Pak Awan.
"Lalu kau biarkan mereka (bayimu) begitu saja?" Tanya Pak Sumi.
"Tentu tidak, aku tetap membayar secukupnya kepada panti asuhan untuk merawat anak-anak ku, tapi aku sudah sepakat dengan Sunandar untuk mengambil (menculik) bayiku di tempat panti asuhan." Jawab Pak Awan
"Sunandar?" Pak Sumi mendapatkan nama baru. Sebuah nama yang tidak asing baginya.
"Yang bapak tangkap tempo hari. Karena itu pula hidup kami tidak berjalan semulus biasanya." Kata Pak Awan.
"Maksudmu?" kata Pak Sumi.
"Sebuah perusahaan akan bangkrut jika barangnya tidak terjual. Begitu pula dengan kami." Kata Pak Awan.
"..." Pak Sumi terdiam.
"Lalu, Sunandar mau menjualnya (bayi) lagi?" Tanya Pak Sumi.
"Hei, kau sudah kehilangan 3 pertanyaanmu. sekarang biarkan aku-"
"Aku bilang 3 pertanyaan utama, ini baru satu." Kata Pak Sumi.
Pak Sumi memotong Pak Awan.
"...Oh ahahaha, tenang saja aku orang yang menepati janji yang dibuatnya. Hm, ya setahuku orang itu menjual secara terpisah (organ), memakan, atau menjadi budak seksnya." Kata Pak Awan.
"..." Pak Sumi terdiam lagi.
"Itu saja pertanyaanmu? kita masih punya waktu 20 menit." Kata Pak Awan lalu dia duduk sambil terus mengarahkan nail gun-nya ke kepala Pak Sumi.
"...Lalu pertanyaan ke dua, ceritakan pada ku siapa dirimu." Kata Pak Sumi setelah berpikir sejenak.
"Aku?" kata Pak Awan menyengir.
"Ya" Jawab Pak Sumi singkat.
"Aku... apa ya, bisa kamu sebut sebagai .. em mungkin mantan seorang maniak yang menjual anaknya demi bertahan hidup, seorang yang mendukung LGBT, dan seorang gay, apa itu cukup?" Jelas Pak Awan.
"Gay? dengan dua istri kau... seorang penyuka lawan jenis?" Tanya Pak Sumi.
"Hei jangan salah paham, jarang aku bersetubuh dengan para istriku, aku menyuntik mereka dengan sperma ku untuk membuat bayi, aku lebih suka berhubungan dengan Sunandar, ya mungkin itu pula yang menjadikan Sunandar sebagai satu-satunya konsumenku, setidaknya begitu yang terjadi dulu." Jelas Pak Awan.
"Lalu?" Meskipun Pak Sumi masih merasa ada yang ditutup-tutupi dari jawabannya, tidak ada pilihan Pak Sumi selain meneruskan pertanyaannya.
"Lalu?" apalagi?" Kata Pak Awan.
"Masih menyambung tentang hidupmu, kenapa kedua istrimu mati?" Tanya Pak Sumi.
"Bukanya Mino telah berbicara padamu? mereka mati saling mencekik leher mereka sendiri kan?" Jawab Pak Awan.
"Aku tidak bicara bagaimana mereka mati. Aku tanya alasan mereka bunuh diri." Jelas Pak Sumi.
"Beberapa tahun yang lalu, saat aku di gereja untuk misa pagi, seseorang meninggalkan begitu saja seorang bayi di depan gereja, lebih tepatnya di tong sampah sebelah gereja. Aku memungutnya. Namun, karena dia bukan dari 'peternakanku', aku tidak bisa memberikannya (bayi) ke panti asuhan. Lalu aku memutuskan untuk merawatnya sendiri beberapa tahun sebelum akhirnya aku jual langsung ke Sunandar." Kata Pak Awan.
"Siapa namanya?" tanya Pak Sumi.
"Aku hanya memungut, tidak membuatnya, mana aku tahu namanya." Jawab Pak Awan.
"Argh, aku ganti pertanyaanku, dengan apa kamu memanggil anak itu?" Tanya Pak Sumi.
"Pak Simon memberinya nama Marie." Jawab Pak Awan.
"Siapa Simon?" Tanya Pak Sumi.
"Pendeta di gereja tempat aku menemukan bayi itu. Ah kejadian lama itu." Kata Pak Awan
"Tadi kamu bilang namanya Marie? Apa aku tidak salah dengar?" Tanya Pak Sumi untuk memastikan.
"Ya." Jawab Pak Awan dengan singkat.
"...Lalu apa masalahnya?" Tanya Pak Sumi.
"Sebelumnya para istriku tidak pernah mempunyai pengalaman merawat anak, Namun Marie memberikan pengalaman itu. Pengalaman menjadi ibu yang sesungguhnya. Selama merawat Marie, seperti biasa para istriku hamil. Hamil melahirkan jual, hamil melahirkan jual, dan begitu seterusnya." Kata Pak Awan.
"Hm, aku rasa aku tahu arah pembicaraan ini." kata Pak Sumi.
"Ya kau benar, naluri keibuan mereka keluar. Mereka jadi frustrasi jika bayinya dijual. Mereka ingin merawat bayi mereka sendiri. Bukan bayi orang lain, Bukan Marie." Lanjut Pak Awan.
"Lalu mereka bunuh diri? hanya karena itu?" Tanya Pak Sumi.
"Sebenarnya juga karena tekanan ekonomi dan kesalahanku membawa Mino ke rumah." Sambung Pak Awan.
"Aku mengerti jika itu karena ekonomi, tapi kenapa membawa Mino juga menjadi masalah?" Kata Pak Sumi.
"Mereka cemburu. Sudah cukup rasa kekesalan mereka karena harus merelakan bayinya dijual, tidak pernah aku ajak berhubungan intim, dan sekarang aku memadu mereka lagi. Mungkin itu menurutku." Kata Pak Awan.
"..." Pak Sumi diam.
"Diam lagi?" Tanya Pak Awan.
"..." Pak Sumi masih terdiam.
Karena menunggu respons Pak Sumi yang terlalu lama, Pak Awan berkata,
"Sudah kan, kalau begitu, selamat siang."
"Tunggu! aku masih punya satu pertanyaan terakhir... siapa yang membuang Marie ke gereja?" Tanya Pak Sumi.
Setelah mendengar kalau Marie adalah benar dari sini, Pak Sumi memutuskan untuk menggunakan pertanyaan terakhirnya untuk menguak latar belakang Marie. Pak Sumi harusnya bisa memberikan pertanyaan yang lebih berkelit dan akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan cabang untuk mengulur waktu sampai 'jemputan' polisinya datang. Namun, bagi Pak Sumi sekarang yang terpenting adalah untuk mengetahui orang tua asli Marie.
"Aku melihatnya begitu saja tergeletak di tong sampah di depan Gereja. Ok that's all." Jawab Pak Awan.
"Tapi tetap saja, kenapa kau mau mengatakan hal ini padaku? kalau kau mau dari tadi kau bisa langsung membunuhku." kata Pak Sumi mencoba mengulur waktu.
"Kau tau Pak Sumi, saat aku tau Sunandar telah ditangkap, disaat itu juga aku ingin berubah, tidak ada lagi jual-jual anak." Kata Pak Awan.
"Huh?" Kata Pak Sumi bingung.
"Bagi kami Sunandar adalah distributor utama sekaligus konsumen kami. Kalau dia tidak ada mau apa kami." Kata Pak Awan.
"..." Pak Sumi terdiam.
"Selain itu, jujur saja beberapa bulan ini aku mencoba untuk bertobat. Aku melakukan pengakuan dosa hingga hampir rutin setiap minggu. Tapi aku menyadari sesuatu... dengan dosa masa laluku, aku tidak bisa.. tidak bisa lari dari dosaku. Aku harus bertanggung jawab." Lanjut Pak Awan.
"Aku masih tidak paham apa maksudmu." Kata Pak Sumi kebingungan.
"Lihat-lah pak, aku membeberkan semuanya kepadamu. Pelumpuh itu aku gunakan untuk membatasi gerakmu, agar kau tidak bisa ke mana-mana, dan tetap mendengarkan ceritaku sampai selesai. Ah tenang saja pelumpuh itu efeknya hanya sementara kok." Tambah Pak Awan
"Kalau begitu, jika kamu ingin bertobat, ikutlah bersamaku ke kantor. kita bisa selesaikan disana." Kata Pak Sumi.
"Tidak. Aku tidak mau. Cukup aku berurusan dengan Marie, aku tidak mau, aku tidak mau bertambah stres lagi." Kata Pak Awan.
"Marie? kenapa hal ini menyangkut dengannya." Tanya Pak Sumi.
"Maaf tapi aku sudah bersumpah tidak mau mengatakannya kepada siapa pun. Ah ngomong-ngomong waktu 20 menit kita sudah habis."Kata Pak Awan sambil melihat jam tangannya.
"Orang ini, masih mementingkan waktu?" Batin Pak Sumi.
"Ngomong-ngomong, kau tahu kenapa 20 menit? itu karena mungkin Mino akan sampai dalam 20 menit. Aku tidak ingin dia melihat ini." Dia menodongkan nails gun-nya.
Pak Sumi menelan ludah.
"Ah hampir lupa." Kata Pak Awan.
Kemudian Pak Awan merogoh salah satu sakunya, lalu dia melempar beberapa kertas ke arah Pak Sumi.
"Tolong berikan itu ke Mino." Kata Pak Awan.
"Ini pengakuan dosa terakhirku, selamat siang." Kata Pak Awan.
"QUORA SEKA-" Teriakan Pak Sumi terhenti karena kejadian yang terjadi didepannya.
.
.
.
*daassh
.
.
.
Posisi Nail Gun yang awalnya menghadap ke kepala Pak Sumi, oleh Pak Awan dihadapkan ke kepalanya sendiri. Itu membuat sebuah paku melesak menimbulkan lubang tepat di pelipis kiri Pak Awan. Tubuh kurus itu lalu tergeletak bersimbah darah segar yang terkucur dari kepala.
"MAS!!" Sebuah teriakan putus asa dari seorang wanita yang tidak lain adalah Mino.
Mino baru saja sampai dari tempat fotokopi dan kini berada di pintu depan. Tubuhnya bergetar dan tak sanggup mempertahankan posturnya yang berdiri. Kemudian Dia duduk lemas. Dia menahan tangisnya yang terisak-isak.
"Quora, apa kau bisa mendengarku?" Kata Pak Sumi setengah berbisik.
"Sangat jelas pak." Sebuah Suara yang terdengar oleh Pak Sumi.
"Cepat kemari, letakan saja Armalite ARnya di mobilku." Kata Pak Sumi.
"Siap laksanakan." Jawab Quora.
Pak Sumi Sangat berhati-hati. Meski rencana A (rencana untuk memasang kamera di rumah) gagal dia masih punya rencana B. Dari hari pertama melakukan pengintaian, Pak sumi memberikan koordinatnya ke Quora dan menyuruhnya untuk datang ke desa ini dengan membawa tembak jenis snipper.
"Mino..." Kata Pak Sumi yang mendengar tangisan pilu Mino.
Sekujur tubuh Pak Sumi masih tidak bisa digerakkan. 5 menit pertama mereka masih berdiam di tempat. Saat Mino telah mendapatkan kembali kesadarannya, wanita itu mendekat ke jasad Pak Awan Mino melihat jasadnya disertai dengan perasaan yang sangat sedih. Lalu ada seorang pria masuk ke rumah. Itu adalah Quora.
"Pak Sumi! Anda tidak apa-apa?" Kata Quora
"Tak apa, hanya saja tubuhku lumpuh sementara." Kata Pak Sumi.
"Ayo, kita harus cepat ke rumah sakit!" Kata Quora dengan sigap.
"Ya kurasa kau benar, ah.. Mino... Mino, Pak awan memberimu kertas ini. Quora, ambil kertasnya berikan ke perempuan di depan." Kata Pak Sumi.
"Baik pak." Jawab Quora singkat.
Quora memberikan surat itu kepada Mino. Mino membacanya, dan Quora melihat juga kertas tersebut. Mino menangis menjadi-jadi. Lalu Quora menuju ke kamar utama rumah Pak Awan.
"Pak Sumi! Buktinya... Buktinya..." Kata Quora sesaat setelah keluar kamar dan menunjuk-nunjuk ke arah kamar.
"Jadi, dia (Pak Awan) ingin menunjukkan semua bukti kejahatannya dengan surat ya... Quora sepertinya kita harus menunggu rekan polisi yang lain kesini mungkin sekitar 15 menit lagi mereka datang... Dan Mino, tolong ikut bersama kami, kau akan jadi saksi di pengadilan nanti." Kata Pak Sumi tenang.
Tak lama kemudian polisi yang lain datang. Mereka membawa Mino, 3 lembar kertas dan bukti kejahatan Pak Awan ke Kantor Polisi daerah Bojonegoro, yang nantinya akan dikirim ke kantor kepolisian tempat Pak Sumi kerja. Sedangkan Quora dan Pak Sumi langsung bertolak pulang menuju ke rumah sakit.
Setelah diperiksa di rumah sakit, memang benar racun yang melumpuhkan Pak Sumi hanya bersifat sementara, dan mempunyai tingkat risiko letalitas yang rendah. Dari awal Pak Awan tidak berniat untuk membunuh Pak Sumi. Dia memberikan obat pelumpuh agar aman baginya untuk bersaksi. Bersaksi mengungkapkan dosa.
Meski begitu kita tidak tahu apa yang ada di pikiran orang lain. Itulah yang dilakukan Pak Sumi. Sedari awal Pak Sumi memang sudah tahu bahwa tingkat risiko penyelidikan sendiri adalah tinggi. Apalagi dengan kondisi dan topologi sekitar yang sangat tersembunyi. Adalah suatu kesalahan jika aku melakukan penyelidikan ini sendiri. Oleh karena itu pada akhirnya Pak Sumi meminta bantuan Quora.
Quora datang dengan membawa Senjata laras Panjang bertipe Snipper. Setiap waktu dari awal pertemuan kedua Pak Sumi dan Pak Awan, kepala Pak Awan tidak pernah terhenti terbidik oleh Quora. Meski tampak atau tidak tampak orangnya, dengan bantuan alat pendeteksi panas hal ini memungkinkan untuk tetap terus membidik kepalanya
Setelah beberapa jam di Rumah sakit Mereka (Pak Sumi dan Quora) bertolak ke rumah Pak Sumi. Bu Rati dan Marie ada di rumah.
"Assalamualaikum" Suara yang tak asing bagi Bu Rati. itu Suara Pak Sumi
Bergegaslah wanita paruh baya itu menuju pintu dan membukanya.
"Pak! kenapa ini?" kata Bu Rati sambil memegang Pak sumi.
"Ya ini lumpuh sementara Bu, ee Quora sudah kamu boleh kembali ke kantor." Kata Pak Sumi sambil ditopang badannya oleh Quora.
"Baik pak, tolong jaga kesehatannya." Kata Quora.
".. Ah sebentar.." Kata Pak Sumi sembari membuat lambung memuntahkan sesuatu.
*Hueek, plang.
"Ini bawa alat perekamnya sekalian, salin ke komputer, buat transkripnya, kirim ke saya." Kata Pak Sumi
Sebuah benda berbentuk kubus terjauh ke lantai. Itu adalah alat perekam yang dari awal penyelidikan ditelan oleh Pak Sumi. Setiap hari selama Penyelidikan Pak Sumi harus memuntahkan dan menyalin datanya ke laptop. Tapi dengan kondisi lumpuh Pak Sumi sekarang, dia tidak bisa menyalinnya seperti biasa. Oleh karena itu, Pak Sumi bermaksud untuk menyuruh Quora yang melakukan hal itu. tapi Quora menolak.
"Ee.. tapi pak.. itu masih basah." Elakkan Quora.
"Aduh, emm.. Bu bisa minta tolong ambilkan tisu?" Pinta Pak Sumi.
"Iya." Kata Bu Rati.
"Marie sayang.. ambilkan tisu nak." Lanjut Bu Rati dengan setengah teriak.
*siingg
Terdengar suara kursi roda elektrik dari dalam rumah
"Ii..iiissuu..uwan (ini tisunya tuan)." Kata seorang anak kecil dengan kursi roda lalu menubruk tubuh Bu Rati.
"Marie!?" kata Pak Sumi kaget.
Ingin Pak Sumi menggerakkan kepala, tapi masih terkena pengaruh obat pelumpuh tadi.
Quora melihat anak itu lalu merasa iba. Bagaimana tidak iba? balutan perban hampir membalut di sekujur tubuh. Anak itu memakai kaos (tentu ukurannya kebesaran bagi Marie) milik Pak Sumi. Aneh bagi Quora, tapi melihat anak itu, dia merasa bernostalgia.
"Iya pak, itu Marie." Kata Bu Rati kepada Pak Sumi.
"Makasih ya Marie sayang." Kata Bu Rati.
Anak itu tersenyum.
"A (ya)" kata yang keluar dari mulut kecil yang riang itu.