Sampai di Rumah Sakit, hal pertama yang dikunjungi Pak Sumi adalah Tempat Penitipan Anak. Ruangannya telah kosong, hanya setengah dari semua lampu yang menyala. Hanya ada kursi Roda Marie dan satu orang pegawai perempuan yang sedang memindahkan kursi itu ke pojok ruangan. Pak Sumi bertanya kepada pegawai itu dimana Marie. Namun ternyata dia tidak tahu jika ada anak bernama Marie hari ini.
"Bagaimana bisa!! Apa tidak ada catatannya (seperti daftar nama anak yang dititipkan)!?" Kata Pak Sumi.
Pak Sumi sedikit tersinggung dan panik karena dia menjawab tidak tahu.
"Maaf Pak, kami tidak menerima anak dengan nama Marie Hari ini." Kata Pegawai itu tak acuh.
"Lalu bagaimana dengan kursi roda itu? Itu milik anakku." Tanya Pak Sumi
"ho~ iya?... ah benar juga, maaf pak, saya sekarang di bagian sif sore sampai malam. Mungkin ini dari anak pagi tadi terus lupa tidak dibawa." Kata Pegawai tersebut.
"Jangan bercanda! Yang menitipkan anak itu adalah Bu Rati. Dia Dokter Spesialis di Rumah Sakit ini." Kata Pak Sumi.
"Bu Rati? Oh Dokter Arianti, aku hanya melihatnya sekali kesini, saat itu aku sibuk di bagian yang lain jadi... gak begitu memerhatikan." Kata Pegawai Itu.
"Apa yang kau maksud....ah!" Lalu Pak Sumi meninggalkan ruangan itu, dan berlari-lari kecil ke bagian resepsionis untuk menanyakan dimana kamar Bu Rati.
Pak Sumi menyadari jika Pegawai itu sempat melihat Bu Rati sekali saat Sifnya, maka Bu Rati kemungkinan telah mengambil Marie dari sana. Karena faktanya Bu Rati langsung menitipkan Marie saat tiba di Rumah sakit – penyakit maag Bu Rati Kambuh sebagai tanda jika Bu Rati saat itu langsung menuju ke Rumah Sakit tanpa membeli makanan apa pun – di siang hari, padahal Sif pegawai itu baru mulai Sore Hari. Jika dia sempat melihat Bu Rati, maka itu adalah kedua kalinya Bu Rati ke ruangan itu, itu saat Bu Rati menjemput Marie dan sebelum maagnya kambuh.
Setelah dari resepsionis, Pak Sumi langsung menuju ke lantai 8 rumah sakit itu. Disana kamar Bu Rati berada. Tanpa membuang waktu Pak Sumi langsung kesana. Tidak sempat untuk berganti pakaian biasa, Pak Sumi dari siang – saat di Pengadilan – sampai sekarang di rumah sakit, masih memakai baju Polisi lengkap dengan Pistol yang disarungkan di pinggang. Itu membuat Pak Sumi menjadi pusat perhatian semua orang. Namun itu semua tidak digubris oleh Pak Sumi dia terus melangkah menuju ke lantai 8. Termasuk telepon genggam di sakunya yang berdering tanpa henti saat setibanya Pak Sumi di Rumah Sakit. Semua seolah kosong dan hanya ada jalan lurus menuju ke tempat istrinya.
Sampailah Pak Sumi lantai 8. Dia berlari-lari kecil menuju ke kamar nomor 66 tempat istrinya terbaring. Tanpa berpikir panjang, Pak Sumi langsung membuka pintu kamar.
"Riyati!" Kata Pak Sumi sesaat setelah membuka pintu kamar Bu Rati.
Di hadapannya terlihat tubuh perempuan setengah tua yang sedang terbaring tertidur dengan alat bantu pernafasan dan infus yang terpasang dan Marie yang sedang Berdiri diatas ranjangnya Bu Rati dengan satu kakinya yang sedang diperban.
"...Marie!" Teriak Pak Sumi dari pintu yang terbuka
"..."
"..." Marie memutar kepalanya 90 derajat.
"My SlÆve... HÆ..HÆ..HÆ (my slave... hahahaha)"
Tawanya terhalang perban yang terbalut. Suara anak itu tampak berat, seperti seorang pria tua.
"KÆu... diÆm. (kau diam)"
Lalu tiba-tiba suara Pak Sumi tidak mau keluar. Tahu jika suaranya tidak keluar, Pak Sumi dengan cepat masuk ke dalam. Intuisi Pak Sumi menyuruhnya untuk mengeluarkan pistolnya. Pak Sumi kemudian menodongkan pistolnya tepat ke kepala Marie.
"kÆu... diÆm. (kau diam)"
Sekali lagi tubuhnya tidak bisa bergerak dan mati rasa. Pak Sumi merasa jika dirinya seperti ada di dalam balok es. Membeku. Otaknya berpikir keras apa yang sedang terjadi disini. Apa yang akan dilakukan Marie.
"My slave? Apa maksudnya?" Batin pak Sumi.
"Huh! MÆnusiÆ... serÆkÆh... Æku perlihÆtkÆn... tentÆng... My daughter (manusia... serakah... aku perlihatkan... tentang my daughter)."
Tiba-tiba pikiran dan pandangan Pak Sumi menjadi gelap.
Gelap, kosong, senyap, hitam.
...
...
...
"Sepertinya kau adalah penjaga Marie yang ke Empat (dimulai dari Ibu kandung Marie – Pak Awan – Pak Sunandar – Pak Sumi)... aku akan memberimu secuil ingatanku, saat aku menolong atau mungkin menjerumuskan anak ini, Marie." Kata Suara di kepala Marie.
Bagi Pak Sumi, suara ini terdengar sangat jelas. Semuanya masih gelap dan hanya suara itu yang terdengar.
Pak Sumi melihat sebuah cahaya. Makin lama makin jelas gambar yang ditampilkan. Itu adalah penglihatan "entitas" itu. Gambar itu adalah Marie saat di rumah Pak Awan. Anak itu sedang dipotong tangannya (pada bagian siku) dengan pisau daging oleh dua orang perempuan (sepertinya pisau itu tumpul, karena butuh benturan ke tangan kecil itu berkali-kali). Anak itu berteriak kesakitan. Satu memegang kedua kaki dan kedua tangan lainnya diikat dengan tali. Gaun putih polosnya menjadi Merah tua-merah-dan cokelat karena noda kerak darah, darah segar, dan tanah.
Pak Sumi ingat jika ruangan yang digunakan adalah gudang di belakang rumah Pak Awan, dan kedua perempuan itu kemungkinan adalah 'ternak" Pak Awan.
"Kau lihat bagaimana aku tidak iba melihatnya? Lalu aku memutuskan untuk mendampingi anak itu. Omong-omong, perkataanku di duniamu terbatas." Kata Entitas di kepala Pak Sumi.
"Mendampingi?" Batin Pak Sumi.
"Aku tidak membantunya, aku hanya memberi anak itu sedikit energi kehidupan yang bisa membuatnya tetap hidup. Tapi aku bukan malaikat maupun iblis, aku terlahir dari anak itu, secara teknis dia ibuku." Kata Entitas tersebut.
"Apa maksudmu?" Batin Pak Sumi.
"Tidak ada yang gratis, aku menukarnya. Kehidupan anak itu dengan orang terdekatnya. aku membunuh dua wanita itu dan beberapa orang yang lain, memanipulasi Sunandar, Pak Awan Membunuh seorang perawat... entah siapa namanya... lalu selanjutnya ARIYANTI." Kata Entitas itu.
"Tapi, hal seperti itu.." Batin Pak Sumi.
"Tidak baik? tidak nyata? Hahaha baik dan buruk tidak ada disini. Itu adalah sesuatu yang semu. Satu hal yang pasti hanya kehidupan dan kematian. Aku diantara keduanya, Aku bisa mengatur keduanya." Tandas Entitas itu.
"Kau... benar-benar seorang iblis!" Batin Pak Sumi.
"Baik Marie ataupun anda menyebutku demikian... ya mungkin ada benarnya atau ada juga salahnya. Mungkin kau akan lebih mudah mencernanya jika ku katakan aku adalah jin... atau mungkin tidak sesimpel itu." Kata Entitas itu.
Saat percakapan dengan "Entitas" itu, pemandangan yang ditampilkan selalu berubah. Pemandangan itu, Kilas balik jalan hidup Marie yang menyedihkan. Sampai Marie dibawa ke kediaman Pak Sunandar. Marie, dia dibawa dengan cara dimasukkan ke dalam kurungan anjing.
"Baru satu tangan yang dipotong?" Kata Pak Sunandar sambil melihat ke dalam kurungan.
"Anak itu berteriak sangat keras, Aku takut itu akan membuat penduduk curiga." Kata Pak Awan.
"Anaknya cantik, Aku suka." Kata Pak Sunandar.
"Hahaha... produk pabrikku memang juara!" Jawab Pak Awan.
"Tidak, tidak... ini bukan dari pabrikmu, kalau misalnya dari pabrikmu, aku pasti harus mencurinya dari panti asuhan." Kata Pak Sunandar.
"Cukup basa-basinya... sesuai kesepakatan awal?" Tanya Pak Awan.
"Ya... 100 juta." Kata Pak Sunandar.
"Tapi Aku mau lebih. Anak secantik ini kau hargai seperti anak-anak lainnya? Jangan membuatku tertawa." Kata Pak Awan.
"..." Mereka terdiam sesaat.
"Jadi bagaimana?" Kata Pak Awan lagi.
"Ya, 150 juta..." Kata Pak Sunandar.
"Hanya tambah 50%?" Tawar Pak Awan.
"...Lalu, aku yang akan menjadi 'betina' untuk 10 kali ronde." Tambah Pak Sunandar.
"Oke, Deal!, bisa kita mainkan satu rondenya sekarang?" Kata Pak Awan.
"Malam ini di..." Suara Pak Sunandar mengecil dan akhirnya tidak terdengar lagi.
...
Itu adalah sekelumit peristiwa saat Marie dipindahtangankan ke Pak Sunandar. Pak Sumi melihat jika Mata anak itu seolah memberi tanda jika dia ketakutan, tapi dia diam. Sampai di Rumah Pak Sunandar, dia ditawan di ruang bawah tanah dengan beberapa anak lainnya. Setiap satu bulan sekali jumlah mereka berkurang satu. Sunandar memakannya, menjual organnya, atau menjualnya lagi. Sampai tinggal dua orang di tempat itu, Marie yang sedang terpasung, dan satu orang anak terakhir makanan Pak Sunandar.
"Manusia... sepertinya sudah cukup apa yang aku perlihatkan." Kata Entitas itu.
"..." Pak Sumi terdiam, membisu.
"Manusia... hei!... sudah kubilang, diam disana!.. hei!... arghhh!!!" Kata Entitas itu seperti kerepotan.
"..." Hening.
Tiba-tiba suara itu menghilang dan berganti dengan dengungan yang sangat dikenal oleh Pak Sumi.
"Ayah." Kata Marie.
"Suara itu... Marie!" Kata Pak Sumi.
"Maaf ayah, maaf Marie membuatnya lepas, lagi... Marie... mengulang kesalahan lagi." Kata Marie yang terus menerus meminta maaf.
"Tidak Nak, Marie tidak salah, Marie tidak salah!" Kata Pak Sumi.
"Karena ini juga yang membunuh mbak Risa (nama perawat di Ch. 0005.)" Kata Marie.
"Yang membunuh itu adalah dia bukan Marie. Sadarlah Nak, sadar dan kembali ke kami, ayah dan ibumu." Kata Pak Sumi.
"Ayah, sebenarnya aku yang... sudah cukup basa-basinya!" Kata Marie yang tiba-tiba suaranya berubah
"Waktu kita tinggal sedikit... ah aku hampir lupa... jika aku keluar dari tubuh kecil ini, dia akan mati. Tidak ada manusia yang hidup hanya dengan setengah organ! Aku yang beberapa waktu mengisi kekosongannya. Aku sudah menunjukkannya padamu waktu CT Scan di rumah sakit... ya itu aku, setengah otak yang terisi. (Ch. 0006)" Kata Entitas itu.
...
Tiba-tiba Pak Sumi tersadar, kembali ke tubuhnya yang sedang membeku. Apa yang dilihatnya tidak berubah. Hanya ada Marie yang berdiri disana dan Bu Rati yang sedang tertidur. Lalu tiba-tiba pisau buah yang tergeletak di piring mengapung. Pisau itu menuju ke tangan Marie. Melayang dan sampai di tangan kecil berbalut perban itu. Sekujur tubuh Pak Sumi masih tidak bisa bergerak. Karena keinginan yang kuat dari Pak Sumi, suara Pak Sumi bisa kembali.
"MARIE!" Kata Pak Sumi.
"KÆu." Kata Marie.
"Marie! Aku tahu kau masih didalam sana sadarlah! Sadarlah! Marie!" Teriak Pak Sumi.
"..." Marie diam.
Seperti tidak berdampak, Marie bergeming dan tetap berdiri dan sekarang tangannya mengambil ancang-ancang akan menghunjam pisau itu ke arah kepala Bu Rati.
"My slave" Kata Entitas itu sambil menyeringai dan mengangkat tangan yang tidak utuh lagi
Tangannya -yang hanya tinggal siku- menunjuk ke Pak Sumi. Oleh 'entitas' itu pak sumi dianggap sebagai seorang budak. Karena Pak Sumi rela berbuat apa pun kepada Marie, meskipun tidak ada perintah.
"My servant" Kata Entitas itu.
Tangannya menunjuk ke Bu Rati. Oleh "entitas" itu Bu Rati dianggap sebagai pelayan/pesuruhnya karena Bu Rati yang merawat tubuh inangnya.
"My daughter" Kata Entitas itu.
Kali ini tangan yang masih utuh menunjuk dirinya sendiri.
Lalu *stab suara pisau jatuh menusuk.
Pisau itu seolah terhunus dan kemudian jatuh ke perut Bu Rati. Kemudian wanita paruh baya itu terbangun dan melihat Marie yang sedang berdiri di atas ranjang dengan satu kaki. Mata mereka saling menatap. Lalu Bu Rati tersenyum tanpa tahu apa yang terjadi. Dia tersenyum karena melihat Marie terlihat lebih sehat dan bugar. Perlahan Bu Rati merasa kedinginan karena darah yang keluar dari tubuhnya.
"Nak." Kata Bu Rati sambil tersenyum.
"Riyati! Hei Marie! Itu Ibumu! Sadarlah!" Pak Sumi berteriak.
Tiba-tiba tubuh anak itu goyah. Didalam Tubuh kecil itu sedang bergejolak dua jiwa yang saling berebut tempat. Mereka berdua berdebat dengan suara yang tidak terdengar oleh siapa pun. Hanya gestur tubuh yang bisa terekam oleh mata.
Karena hal tersebut, terjadi pergolakan di dalam tubuh Marie. Sebuah percakapan antara Marie dan Entitas tersebut keras di dalam batin Marie.
(*Apa yang kau lakukan anakku?)
(**Ini tubuhku, tolong jangan sakiti mereka lagi.)
(*Tapi itu perjanjiannya sayang, aku 'menghidupkanmu' dan sebagai gantinya aku mencabut nyawa yang lain.)
(**Kalau begitu... Aku...)
(*Kau ingin bilang kau mau kematian? Haha lucu sekali demi dua manusia bodoh itu kau ingin Mati?)
(**...Aku... Aku hanya tidak ingin mereka menderita.)
(*...)
(**...Aku... Aku hanya tidak ingin melihat orang lain menderita lagi karena aku.)
(*Hei anakku... Kamu telah membuat mereka menderita karena Kamu hidup.)
(**Aku anak AYAH DAN IBUKU, Bukan Anakmu @%$!!(@#.)
(*Kau... beraninya kau.)
Di tengah pertikaian itu, tubuh Pak Sumi tidak lagi beku. Untuk yang pertama kali dalam hidupnya perasaan dan intuisinya tidak sejalan. Sangat jelas bahwa intuisi menyuruhnya untuk segera menarik pelatuknya. Namun tidak dengan perasaannya. Tetap saja Pak Sumi adalah seorang pria yang mengesampingkan perasaan demi melihat realitas. Pak Sumi mendekat dan mengarahkan pistolnya ke kepala Marie.
"Sumitro!" Istrinya setengah teriak dengan sisa tenaganya.
Perempuan itu tahu apa yang akan dilakukan suaminya.
Sekali lagi. Sekali lagi Bu Rati mencoba berkomunikasi dengan Marie. Kali ini dia memegang kaki kecil Marie.
"Marie, Marie..." Kata Bu Rati sambil tersenyum.
"Uu.. aaf..aaf...aiii...yaah...aaf...aaiii (ibu maaf, maafkan Marie, ayah maafkan Marie)" Kata Marie sambil melihat mereka bergantian.
Mata Marie berkaca-kaca, membendung air yang keluar.
*MÆrie... jÆngÆn.... bunuh... diri... (Marie... jangan... bunuh... diri...)" Kata Marie.
Sekarang terdapat suara yang berbeda dalam satu tubuh. Agaknya Marie telah berhasil memegang kendali atas tubuhnya sendiri.
Di belakang Marie adalah Jendela yang langsung mengarah keluar. Marie berniat untuk meloncat ke arah jendela dan mati bersama entitas itu. Dia berbalik badan dan bersiap meloncat.
"Tidak, tidak, Marie..? Marie.. Marie!" Kata Pak Sumi dengan ketidakkonsistenan perkataan dan perilakunya.
Dia ingin membunuh Marie dengan menodongkan pistolnya namun sangat terpukul jika anak itu mati.
Kemudian anak kecil itu melompat.