Chereads / My Slave, My Servant, My Daughter / Chapter 11 - Pengadilan

Chapter 11 - Pengadilan

Sekarang tinggal mereka berdua, Pak Sumi dan Marie, tinggal di rumah. Beberapa menit yang lalu bakso telah datang dan mereka pun melakukan persiapan untuk makan. Marie yang awalnya lebih menjaga jarak ke Pak Sumi, sekarang lebih berani untuk mendekati Pak Sumi.

Mereka duduk lesehan di depan rumah. Tidak ada cara lain bagi Marie untuk makan selain disuapi oleh Pak Sumi. Suapannya pun harus sangat lembut.

Dalam keadaan normal, Marie hanya diperbolehkan memakan bubur atau benda lembut lainnya. Namun kali ini santapannya adalah bakso. Jadi, Pak Sumi harus membantu mengunyah bakso itu lalu menyuapkan ke Marie.

Pak Sumi membuka perban yang ada di mulut Marie, perban memang harus diganti secara berkelanjutan (apalagi di daerah yang banyak bakterinya seperti mulut) setiap hari. Awalnya Marie menolak, lalu tiba-tiba Marie memegang tangan Pak Sumi. didekatkan lalu ditempelnya tangan besar itu ke kepalanya. Anak itu merasakan kehangatan.

"Uan...ayah?" Kata Marie.

"Ayah?" Kata Pak Sumi.

Pertanyaan Pak Sumi berkesan seperti membuat sebuah pernyataan.

"Ayah!" Kata Marie bersemangat.

Entah mengapa tapi, Sekarang Pak Sumi mengerti kenapa dia dijauhi oleh Marie. Marie tidak menerima adanya bapak. Dia hanya tahu ayah. Ayah dan ibu, bukan bapak dan ibu. Ini menenangkan hati Pak Sumi.

Lalu Pak Sumi mulai menyuapi Marie untuk pertama kali. Hal ini sangat menenangkan bagi pria 37 tahun itu. 15 belas menit makan tlah habis dan perban diganti dengan perban yang baru. Pak Sumi mulai bercerita tentang kisah-kisah yang disukai anak kecil, kisah tentang pahlawan melawan naga, sampai penyihir jahat yang dikalahkan oleh dua anak kecil, tentu semua itu dari hasilnya menelusuri Internet.

Panas yang tidak begitu menyengat siang ini – karena cukup berawan – membuat Marie menyerah akan kehangatan pangkuan Pak Sumi. Dia tertidur. Dengan perlahan Pak Sumi mengelus kepala yang berbalut perban itu.

~Sometimes love may happen when I stay at my home.

~Just be slow and patient until it brings us love.

~Try not to put up weeds that haven't grown.

~But for me you so special, that is you, my heart.

~Sometimes love is shiny we can put on the poem.

~Fireflies' always naughty round and round, come and go.

~Try not to sit and wait, and try not to control.

~Walking on this happy home.

~Yes, you are, you are my daughter. (1)

Refleks Pak Sumi me-ninabobo-kan Marie. Anak itu kekenyangan dan akhirnya tertidur.

Tiba-tiba ponsel Pak Sumi berdering. Ada SMS masuk. Disana diingatkan kalau pelaksanaan proses pengadilan akan dimulai satu jam lagi, dan Pak Sumi diharapkan datang kesana 2 jam dari sekarang, sebagai wakil dari pihak kepolisian bersama Quora dan Pak Warno.

Deg. Batin Pak Sumi, bagaimana hal penting ini bisa luput dari pikirannya. Sejenak dia berpikir, bagaimana dengan anak ini? Haruskah dia ditinggal di rumah sendiri?! Pak Sumi juga tidak bisa membawa anak sekecil itu di pengadilan. Namun tidak. Mobil putih itu pulang lagi ke rumah. Mobil itu, Bu Rati.

"Balik lagi kenapa bu? Ah sudah selesai ya?" Tanya Pak Sumi yang merasa kegalauannya didengar oleh Tuhan.

"Laporan interim pasien yang mau dioperasi tertinggal di rumah (Bu Rati akan masuk ke dalam rumah, sampai di pintu) Oh iya pak... bukannya bapak harusnya pengadilan sekarang?"

"Nah itu dia, Lalu Marie?" Kata Pak Sumi.

"Begini saja, Marie ikut denganku. Nanti aku titipkan di tempat penitipan anak di rumah sakit. Untung aku pulang lagi ya pak ehehe." Kata Bu Rati.

"Loh emang ada (tempat penitipan anak di Rumah Sakit)?" Tanya Pak Sumi.

"Ya.., sebenarnya itu proyek dokter di Rumah sakit sih, jadi khusus anak dokter dan tenaga medis lainnya." Jelas Bu Rati.

"Oh." Kata Pak Sumi.

Lalu Pak Sumi menggendong Marie ke mobil dan memasukkan kursi roda listriknya. Tubuh Marie terasa sedikit lebih berisi daripada waktu pertama kali ditemukan Pak Sumi. Tangan dan kakinya membesar, tanda atrofi otot berangsur-angsur sembuh. Marie tertidur pulas saat digendong.

"..aaf..aaf." Dengan suara kecil Marie mengigau. Igauan yang hanya bisa didengar oleh Pak Sumi.

"Lihatlah dia, bagaimana dia masih bermimpi makan, haha." Batin Pak Sumi.

Namun sebenarnya bukan itu yang dikatakan Marie. Hal yang dikatakan Marie sebenarnya adalah 'maaf'.

"Ibu berangkat dulu ya pak." Kata Bu Rati Dalam Mobil.

"Ah bu, jangan lupa makan siang dulu." Kata Pak Sumi kepada Bu Rati dari belakang mobil.

"Kalau itu gampang... nanti saja." Kata Bu Rati melihat sambil melihat kaca belakang.

"hei bu, bukannya kamu juga belum sarapan?" Tambah Pak Sumi.

"Urusan perut bisa belakangan, urusan nyawa orang lebih penting." Jawab Bu Rati.

"Huh, yaudah, nanti beli sesuatu di minimarket untuk mengganjal perutmu. Takutnya maagmu kumat lagi." Kata Pak Sumi Khawatir.

Bu Rati lalu menurunkan kaca mobilnya dan menengok ke belakang. Bu Rati menengok Pak Sumi.

"Ho~ jadi sekarang abang mengkhawatirkan istrinya..." Goda Bu Rati.

"Hais... pokoknya kamu lakukan ya!" Kata Pak Sumi.

"Siap bos, dinda berangkat dulu." Kata Bu Rati menggoda Pak Sumi sekali lagi.

"Hei mana 'InsyaAllah'-nya untuk mampir ke minimarket?" Tanya Pak Sumi.

"Ah iya... In.. gak jadi ah.. Assalamualaikum." Kata Bu Rati

Lalu Bu Rati segera pergi.

"Waalaikumsalam, pokoknya nanti makan/minum sesuatu dulu bu!" Kata Pak Sumi setengah teriak.

"Dia gak bisa janji ya akan ke minimarket, dasar Rati." kata Pak Sumi dalam hati.

....

Di pengadilan. Hari terakhir pengadilan adalah acara biasa. Sekarang adalah babak pengakuan saksi-saksi dan pembelaan terdakwa. Suasana tampak sedikit tegang karena pengacara terdakwa sangat getol membela kliennya.

"Izin berbicara yang mulia, klien saya ini... saya katakan sekali lagi.. dia tidak pernah berbuat sedemikian keji itu." Kata Kuasa Hukum Pak Sunandar, Roy Hasbuna.

"Pak Hasbuna, bukti-bukti yang diberikan oleh jaksa penuntut dalam hal ini diberikan oleh polisi, sudah sangat mencukupi dalam penentuan klausa minimal 2 alat bukti." Kata salah seorang Anggota Hakim.

"Mungkin saja hal itu memang benar, Tapi, Tapi yang mulia tolong pertimbangkan juga kondisi kejiwaan klien saya..." Kata Hasbuna.

Mendengar kata itu. Pak Sumi dan Pak Warno mengerutkan dahinya. Setelah sebelumnya mereka berdua telah menjelaskan secara panjang lebar kronologis penangkapan, pertemuan dengan Marie, Berita Acara hasil interogasi hingga hasil investigasi Pak Sumi kepada Pak Awan, orang yang bunuh diri dengan menembak kepalanya dengan nails gun, dengan sangat runtut, mereka berdua tahu hal ini (kepribadian ganda) akan mengurangi hukuman Sunandar.

"...Bahwasanya klien saya ini mengidap penyakit jiwa. (kepribadian ganda). Lantas, apa kita harus menghukum orangnya dan bukan menghukum karakternya? Ketahui lah pak.. yang mulia hakim, jika kita menghukum orang ini (menunjuk ke arah Pak Sunandar) kita juga akan menghukum satu dirinya yang tidak bersalah. Terlebih lagi yang mulia hakim, apakah kita tidak bisa mempertimbangkan masa lalu Pak Sunandar yang merupakan seorang yang dermawan, dan sangat berjasa bagi perekonomian warga sekitar? Nanti akan banyak orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan kalau klien saya dipenjara." Kata Hasbuna dengan semangat.

*Tok-tok-tok, suara ketukan palu.

"Baik, menurut kami sesi pembelaan terdakwa sudah cukup dan kita lanjutkan keterangan saksi. Kepada saksi disilakan menuju ke tempat yang telah disediakan." Kata salah satu Hakim.

Saksi dari pengadilan ini hanya satu. Yaitu Mino istri pak Awan. Dia dengan sukarela–baca: melaksanakan wasiat terakhir suaminya–akan menyelesaikan masalah ini, hari ini, saat ini. Hakim pun menjejali dengan banyak sekali pertanyaan, sesekali dia disuruh menjelaskan. Tentu Mino juga tidak aman dari ancaman hukuman kurungan penjara, bagi perempuan itu masih tinggi peluang untuk terkurung di penjara, tapi mungkin hukumannya akan diperingan karena jasanya sebagai 'justice collaborator' (2). Melihat ternyata Mino adalah saksinya, Pak Sunandar gusar. Sunandar secara sembunyi-sembunyi berbisik kepada Hasbuna.

"Roy, cukup sampai disini saja." Bisik Pak Sunandar.

"Bagaimana bapak ini! kita akan kalah. Saya yakin setidaknya kita bisa meringankan hukuman bapak." Sahut Hasbuna.

"Tidak Roy, aku lebih memilih untuk kalah dalam masalah ini. Aku tidak akan menang, tidak dengan Mino disini." Kata Pak Sunandar

"Hah?" kata Hasbuna yang tidak habis pikir kenapa kliennya memilih hal tersebut.

Namun, Hasbuna melihat muka Sunandar yang tidak sedang bercanda(he is not make a joke).

Hasbuna menimpali lagi. "Kenapa? Kenapa Bapak langsung berubah pikiran?"

"Aku hanya tidak mau berurusan lagi dengan Marie." Kata Pak Sunandar.

"Mar-" Kata Hasbuna terhenti.

"Tolong jangan sebut lagi nama itu. Intinya Aku ingin menyerah dalam pengadilan ini, dan Kau harus menurutiku karena aku yang membayarmu." Tandas Pak Sunandar.

"Kau tetap akan mendapat bayaranmu penuh. Aku buat pengecualian untuk hal ini, tidak perlu memenangkan atau meringankan hukumanku. Aku hanya ingin ini cepat selesai dan segera ke penjara, ke tempat yang aman." Sambung Pak Sunandar.

"..."

Hasbuna yang tadinya getol membela kliennya, sekarang dia hanya diam. Tidak ada lagi sanggahan, tidak ada lagi bantahan yang diajukan, mereka berdua hanya meng-iya-kan. Akhirnya sampai di pembacaan putusan majelis hakim.

"Dengan Keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Pada hari ini tanggal 17 November 2038, Pengadilan Negeri Surabaya menetapkan bahwa Saudara Sunandar Aia Sutatmadja bersalah atas semua tuduhan. Menimbang..."

Ketua hakim membacakan hukuman yang akan diberikan. Tidak ada penangguhan atau pengurangan dakwaan oleh jaksa penuntut. Dia dinyatakan bersalah atas tuduhan muncikari, pembunuhan dan penculikan banyak perempuan dan anak kecil berskala nasional dan human-trafficking.

Legalah hati kedua polisi itu. Mereka berdua berniat menuju ke mobil untuk kembali ke kantor. Saat mau beranjak dari kursi di pengadilan. Tiba-tiba Sunandar dan Hasbuna menghampiri mereka.

"Siapa diantara kalian yang sekarang merawat Marie?" Kata Pak Sunandar.

"...Untuk apa kau tanyakan hal itu?" Kata Pak Warno.

"Aku hanya ingin berterima kasih." Kata Pak Suanndar.

"..." Mereka berdua diam.

"Kalian telah membebaskanku dari iblis itu." Lanjut Pak Sunandar.

"Apa maksudmu?" Kata Pak Sumi.

"Kalian tidak perlu tahu...nanti juga tahu sendiri." Kata Pak Sunandar.

Lalu Sunandar menyeringai, tertawa kecil, tertawa dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Pak!! Pak tenangkan dirimu!" Kata Hasbuna.

"HAHAHAHA aku hanya lega... Ah.. ternyata kalian tidak hanya menangkapku, tapi juga menangkap iblis kecil itu." Kata Pak Sunandar.

"Marie? Iblis?" Kata Pak Sumi.

"Oh jadi kau yang merawatnya... aku bertaruh pasti kamu juga yang menemukannya hihihihi. Tapi tolong.. dengarkan aku Pak Polisi yang gila hormat... saat itu akan tiba... saat kau akan kehilangan semuanya. Sama sepertiku... saat aku kehilangan semuanya." Kata Pak Sunandar.

"Kau hanya membual. Sumi kita tidak perlu meladeni orang sakit jiwa ini." Kata Pak Warno.

Pak Warno mengatakan jika itu adalah bualan saja karena Pak Warno tahu, ketika orang itu mengatakan 'Marie', bagian depan celananya menonjol. Ya, dia terangsang. Oleh karena itu Pak Warno berpikir jika orang itu mempunyai penyakit penyimpangan seksual karena menyukai anak kecil.

'HAHAHAHA ITU BENAR.. ITU YANG SEBENARNYA TERJADI!! MARIE ITU IBLIS... MARIE ITU IBLIS.. MARI-" Katanya terhenti.

Pak Sunandar dibungkam oleh beberapa anggota keamanan di pengadilan. Dia diseret keluar pengadilan.

...

Pak Sumi dan Pak Warno kemudian pulang ke kantor.Mereka berdua masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Pak Sunandar. Di dalam mobil, Polisi itu masih memikirkan apa yang barusan terjadi.

"Ee.. Sumi?" Kata Pak Warno yang dari tadi melihat Sumi seperti menatap kosong saat lampu merah.

"Ah iya no (Warno)?" Kata Pak Sumi tersadar.

"Tentang hal tadi menurutmu bagaimana?" Tanya Pak Warno.

"...Aku... tidak tahu." Kata Pak Sumi.

Hujan kali ini membantu untuk membuat rasa canggung berkurang.

"Ya ada kemungkinan dia hanya membual, Sum..." Kata Pak Warno.

"..." Pak Sumi terdiam.

"Ayolah, dia itu berkepribadian ganda, Alzheimer, skizofrenia, itu semua yang membuatnya berkata seperti itu. Hei apa kau tak tahu jika orang itu 'ngaceng' saat berbicara tentang anak mu?" Lanjut Pak Warno.

"Apa? Ngaceng." Kata Pak Sumi

Mereka terdiam, kemudian Pak Sumi berkata "Tapi, kemungkinan... ya..." Kata Pak Sumi.

"Hah? Maksudmu dengan 'ya'?" tanya Pak Warno.

"Kau berkata itu kemungkinan kan? Ada Probabilitas jika hal itu benar-benar terjadi... begitu kan maksudmu?" Kata Pak Sumi.

"Well, aku tidak percaya adanya hantu... selain itu bisa jadi dia terlalu tertekan setelah dirinya tertangkap, makanya dia bisa berbicara omong kosong seperti itu." Kata Pak Warno.

Lampu telah hijau, semua mobil berjalan kembali.

"Hmm, ngomong-ngomong, semua bukti yang aku temukan yang dibawa di pengadilan tadi..." Tanya Pak Sumi.

"Kenapa?" Sahut Pak Warno.

"Masih wewenang kita untuk menyimpannya kan?" lanjut Pak Sumi.

"Ya itu benar. Tuh di bagasi belakang semua (letak) buktinya, kenapa kau bertanya (hal tersebut)?" Tanya Pak Warno.

"Tidak... aku hanya ingin memeriksanya sekali lagi, just in case." Jelas Pak Sumi.

"Oh..." Kata Pak Warno.

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan kembali sampai kantor polisi dengan aman.