Pak Sumi mengangkat anak itu ke dalam mobil polisi. Dipegangnya badan anak perempuan yang kurus kering itu, lalu ia persilakan anak itu duduk di sampingnya. Pak Sumi menyetir di sebelah kanan. Anak itu diam tanpa ekspresi, sunyi tanpa suara, hampa tanpa tujuan. Dia melihat kedepan, benar-benar melihat lurus ke depan, sesekali Pak Sumi memperhatikan.
"Kasihan sekali, tidak sia-sia aku bertaruh untuk kemungkinan yang kecil." Batin Pak Sumi.
Pak Sumi lalu menawarkan sebotol air 330 ml. Pak Sumi memang selalu menyiapkan air minum, namun dalam botol-botol yang kecil. Menurut Pak Sumi meskipun menghasilkan banyak sampah, namun botol kecil menjadi sangat praktis untuk langsung dibuang setelah habis diminum. Diambillah botol dari tangan kiri Pak Sumi dengan tangan anak itu yang masih utuh. Karena tangan yang terlampau lemah, - hal ini karena otot mengalami atrofi (1) karena tidak digunakan dalam waktu yang lama- dia menjatuhkan botol itu, lalu bergetarlah seluruh badannya karena takut. Pak Sumi yang masih menyetir terkejut atas hal ini dan hanya bisa mengelus kepala anak itu, sambil berkata:
"Hahaha, kau menjatuhkannya, tak apa nanti akan aku bantu minum air." Kata Pak Sumi.
"Sabuk pengaman... ah iya sabuk pengaman." Batin Pak Sumi ketika sadar jika dia belum memakai sabuk pengaman.
Baru beberapa meter di jalan yang halus itu, Pak Sumi menghentikan mobilnya, dia ingat kalau sabuk pengaman anak itu belum terpasang, lalu dia memasangkan sabuk ke badan yang kurus kering itu dengan hati-hati.
"Aaf...air...atu (maaf air jatuh)." Kata anak itu dengan suara sangat lirih.
*Ceklek, suara sabuk terpasang.
"Masih memikirkannya? (Pak Sumi mengelus kepala anak itu lagi) aku masih punya banyak, nih aaaa," kata Pak Sumi sembari menyuapi anak itu air.
Setelah itu Pak Sumi melanjutkan perjalanan.
"Ah apa Marie lapar? mau makan? nanti kalau sudah sampai rumah akan saya buatkan bubur." Anak itu bergeming, diam tanpa suara.
Pak Sumi menengok ke Marie dan menyadari kalau anak itu sudah tertidur pulas.
"Apa air putih biasa aja sampai bisa membuat anak ini tidur? tak bisa kubayangkan lagi bagaimana selama beberapa tahun anak ini terus bisa berjuang untuk hidup? apa yang menjadi motivasinya? apakah ini ada hubungannya dengan tulang belulang yang kutemukan di kasur itu? kalau menurut catatan, mestinya ada beberapa anak. Lalu yang lainnya apakah sudah menjadi tulang belulang, dan tinggal anak ini seorang? ah itu tidak penting sekarang, yang penting setelah pulang aku harus mengurusnya, apa aku punya setelan baju anak-anak? sial aku tidak memilikinya, ah lampu merah." Kata Pak Sumi monolog.
Tak terasa sekarang sudah ada di jalanan kota lintas provinsi. Butuh waktu sekitar 3 jam perjalanan dari rumah Pak Sumi yang berada di daerah Surabaya dari lokasi penyergapan yang berada di daerah Gresik.
Sampai pada rumah Pak Sumi, Marie terkejut pada dirinya sendiri karena sudah tertidur pulas, meski baru beberapa jam. Namun 'ketiduran' adalah momok bagi Marie. karena 'ketiduran' itulah dia harus kehilangan kakinya. Lalu Marie merasa kalau badannya ada yang mengangkat, dan dia sadar benda yang mengikat badannya kini telah terlepas.
Pak Sumi mengangkat tubuh gadis muda itu. Sangat ringan, dan tentu sangat bau badannya.
"Assalamualaikum buk." Kata Pak Sumi sambil mengetuk pintu kediamannya.
"Waalaikumsalam." Kata perempuan paruh baya yang tidak lain adalah istri Pak Sumi yakni Bu Arianti, orang biasa memanggilnya Bu Rati.
Bu Rati masih menggunakan mukena, karena baru selesai salat tahajud.
"Astagfirullah bapak, ini anak siapa!? Ya Allah kenapa dengan anak ini?" Bu Rati kaget dengan apa yang digendong Pak Sumi.
"Bu anak ini." Belum selesai Pak Sumi berkata Bu Rati menarik badan Pak Sumi ke dalam rumah.
"Pokoknya segera siapkan air panas buat mandi anak ini!" Kata Bu Rati tegas sambil menggendong Marie
"Emm tapi buk.."
"Udah cepetan Sumitro! lihatlah anak ini, Ya Allah.. aku akan memberinya makanan di dapur." Bu Rati berjalan cepat dan pergi meninggalkan Pak Sumi sendiri di ruang tamu.
"I.. iya itu maksudku, aku mau memberinya makan dulu." Kata Pak Sumi lirih.
Di gendongan Bu Rati, Marie mencoba tersenyum. Ya Senyuman terpaksa. Dia tidak tahu apakah orang ini jahat atau baik. namun satu hal yang pasti, gendongan orang ini hangat, Marie seperti bernostalgia. Bu Rati menyelimuti tubuh anak itu dengan handuk yang besar. Marie untuk pertama kalinya merasakan kehangatan selain dari transfusi darah yang biasa dia jalani dulu. Lalu dia diturunkan dari gendongannya dan didudukkan di sebuah kursi. Tubuh kurus itu sempoyongan hanya karena duduk dan hampir jatuh. Namun tangan lembut menyangganya, itu tangan Bu Rati.
"Ini bibi punya puding, adek mau?" Bu Rati mencoba berkomunikasi, dia menawarkan puding yang tadi diambil saat menggendong Marie.
"..." Marie diam, dan masih memaksakan senyumannya.
"Kalau begitu, ini." Bu Rati langsung menyuapinya.
Merasa ada benda dingin yang mau masuk ke mulutnya, Marie membuka mulut.
"Penglihatan dia terganggu, apa dia buta?" Kata Bu Rati dalam hati.
Bu Rati tersenyum.
"Anak baik." kata Bu Rati pelan, sambil mengelus kepala anak itu.
"Apa ini? nanah? darah? bahkan telur serangga ada disini? ah tubuh anak ini pucat sekali, tapi yang terpenting sekarang adalah komunikasi dengannya, sepertinya dia agak bermasalah mentalnya, iya itu dia, aku harus terus mengajaknya berkomunikasi." Kata Bu Rati dalam hati.
"Bagaimana dek? enak pudingnya? bibi masih punya banyak di kulkas. Bapak nggak bisa makan yang manis-manis karena diabetes, jadi hanya bibi yang makan, ini resep dari chef yang ada di tv-tv lho, enak?" Kata Bu Rati.
"Sa-sa-ngat e-enak tuan. ini enak...ini enak.. iya tuan," Kata Marie tersendat-sendat. dia memakan setiap apa yang dimasukkan ke mulutnya. Energi dari puding itu digunakan Marie untuk berkata dengan setengah teriak,
"TERIMAKASIH TELAH MEMBERI MAKANAN JATAH SATU BULAN LEBIH AWAL." Kata Marie lalu terengah-engah.
Bu Rati kaget bukan main. Namun dia berusaha untuk tenang dan tidak menghentikan suapannya.
"Apa yang dia maksud dengan makanan jatah satu bulan? apa ini yang menyebabkan tubuhnya seperti ini... seperti mayat hidup." Kata Bu Rati dalam hati.
Lalu Pak Sumi datang sambil lari-lari kecil dan berkata "bu, airnya sudah siap."
Butuh waktu 30 menit bagi mereka berdua untuk membersihkan sekujur tubuh anak itu. Noda darah, tanah, telur serangga, kutu rambut, luka sayat, lebam, perban sisa amputasi tangan dan kaki yang sudah lama tidak diganti dan berubah warna menjadi kecokelatan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Setiap kali tubuh kecil itu terkena air, Marie merasakan kesakitan yang amat sangat, karena air akan bereaksi dengan luka. Bu Rati sampai harus menggunakan 2 botol larutan antiseptik Povidone Iodine 10% 100 ml dengan kapas dan perban. Selama proses itu (baca: mandi), mereka berdua sangat menduga jika hal ini seperti penyiksaan, karena akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa karena luka yang terkena air dan larutan antiseptik. Rasa sakit itu pun dapat dirasakan jika syaraf perasa rasa sakit milik Marie masih normal. Namun tetap saja, Marie tidak menangis sama sekali.
"Anak itu sudah tidur sekarang... setelah mandi tadi apakah ibu memberinya obat penenang? Kata Pak Sumi. Pak Sumi berpikir jika anak itu tidak akan tertidur lagi setelah ia tidur di dalam mobil.
"Iya pak, Eszopiclone 1 Mg Tablet, aku memberinya seperenambelasnya (1/16), lalu aku mencampurnya dengan teh hangat tadi."
"Entahlah apa pun yang kamu katakan Bu, aku tidak mengerti... yah hari ini melelahkan, *hoaam" kata pak sumi menguap dan merebahkan badannya di sofa ruang tamu.
"Emm... pak anu, itu lo.. maaf... soal tadi, aku kaget dan langsung saja memanggilmu tidak sopan." Kata Bu Rati, dia tidak duduk, tapi berdiri di depan suaminya yang sedang merebahkan badannya.
"Sudahlah buk jangan dipikirkan, memang tadi perlu cepat tanggap, lagi pula..." Kata Pak Sumi dengan tidak membuka matanya. Kemudian Pak Sumi bangkit dari tidur, dan duduk.
"Lagi pula apa pak?" kata Bu Rati penasaran
"Aku sangat lapar Arianti Binti Maimun, apakah ada makanan di gubuk ini oh Arianti istrinya Sumitroo..." Pak Sumi tersenyum dan mencuit pipi Bu Rati. itu sebagai balasan Pak Sumi kepada Bu Rati.