Tiga jam.
Sebuah rekor durasi tidurku yang tersingkat selama ini. Harus tidur sekitar jam 4 pagi dan bangun lagi salat subuh lalu ketiduran sampai jam setengah 8 membuat mataku terasa sangat berat. Istriku adalah seorang dokter. Dia bekerja di Rumah Sakit Bhayangkara yang terletak sekitar 7 Kilometer dari Rumah. Dia telah berangkat dari jam 6 pagi, normalnya memang jam 6 pagi banyak bagian pelayanan di rumah sakit masih tutup. Dia bangun pagi untuk membawa anak yang ku temukan itu ke Rumah Sakit.
Setelah mendiskusikan hal ini dini hari tadi, istriku memutuskan untuk membawa anak itu ke rumah sakit tempatnya bekerja. Peralatan kesehatan tersedia lengkap disana, dan sepertinya istriku mempunyai wewenang di ruang UGD dan ICU meski aku tidak yakin wewenang apa itu.
Sedangkan aku, aku memutuskan untuk pergi ke kantor untuk mengecek beragam salinan berkas kasus penculikan anak, penyimpangan seksual, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), kasus orang hilang, dan semua berkas yang kemungkinan terkait dengan identitas anak itu. Aku hanya ingin mengetahui siapa orang tua anak itu.
Aku mengendarai mobil polisi dengan setengah melamun. Setengah pikiranku terbang melayang-layang menjelajahi semua kemungkinan yang terjadi.
"Kira-kira mulai sekarang apa yang akan terjadi dengan anak itu? Apakah harus kami adopsi saja? Karena kami tidak mempunyai anak? Tapi apa istriku mau? Atau apa aku sendiri mau menjadi bapak angkatnya? Lalu bagaimana dengan orang tua aslinya, ah dimana orang tuanya? Apakah ini hanya penculikan biasa? Kemudian siapa yang bertanggung jawab akan hal ini?" Lamunanku buyar saat melihat mobil di depan berhenti, ah lampu sedang merah.
Seperti biasa pengamen cilik berhamburan mengharap iba, walau hanya sekadar 1 Rupiah. Namun apakah itu benar? Aku selalu skeptis akan hal ini. Sepertinya dugaanku benar. Ibu-ibu bangsat itu sedang mengumpulkan uang yang dikumpulkan oleh mereka. Lalu aku menyadari sesuatu. Satu kemungkinan yang terlewat dari lamunanku. Ah lampunya sudah hijau.
(Di kantor)
"Pak Sumi, bukannya hari ini masih cuti?" Tanya Quora. Seorang bawahanku di bagian intel.
"Oh Quora ya? Ada perlu dengan bagian berkas." Aku memalingkan muka ke arah Quora dari melihat tumpukan salinan berkas di meja kerjaku, Aku mengambilnya dari ruang berkas lantai satu kantor ini.
"Ah maaf saya lancang, tapi apakah ini ada kaitannya dengan Flaminggo?" kata Quora penasaran.
"Flaminggo? Memangnya siapa yang mau di interogasi hari ini? Duduk dulu, jangan berdiri disitu." Kataku.
"Loh Anda lupa Pak Sumi? Hari ini si orang cina itu mau menginterogasi pemilik toko pakaian yang kemarin kena Grebeg (Sergap)." Kata Quora yang sedang duduk dan mengambil air minum gelasan.
Anak ini memang tidak tahu unggah-ungguh, siapa suruh dia ambil air, aku belum menyuruhnya mengambil. Tapi aku sadar jika ini adalah perbedaan persepsi antar generasi.
"Saya baru tahu... Hmm, jika begitu keadaannya aku harus melihat proses interogasi itu. Oh iya, Quora kamu lagi sibuk?" tanyaku.
"Seperti biasa pak, tugas reguler... Terlebih saya kesini mau menyerahkan laporan kemarin yang bapak minta." Kata Quora.
"Laporan apa, maaf saya lupa lagi haha." Kataku.
Sungguh, perkara Marie, telah membuatku kurang fokus. apa ini karena aku kurang tidur?
"Ah maksud saya berkas pak. Iya berkas, ini berkas daftar DPO (*daftar pencarian orang) yang bapak minta tempo hari saat sebelum nggrebeg (menyergap)" Katanya sambil mengambil berkas di tas jinjing yang ia bawa.
"Ee, terima kasih. Lalu kalau begitu saya akan kasih kamu tugas lagi." Kataku sambil menumpuk berkas yang diberikan Quora keatas semua berkas yang telah ku kumpulkan.
"Ah... mengenai itu sebenarnya saya sedang si-" katanya mengelak.
"Sibuk? Ooh, sedang sibuk ya?" Kataku menggoda.
"Hehe iya pak. Ah saya baru ingat pak, Tarmaji baru saja menyelesaikan cutinya, kenapa tidak..." Katanya terpotong.
"Menyerahkan pekerjaan ini ke dia saja? Begitu ya? Yah kalau begitu sayang sekali." kataku kepada Quora.
"Ee.. memang apa tugasnya pak? Ah maksudku biar bisa ku infokan ke Maji hehe."
"Kena kau." Kataku dalam hati.
"Aku ingin seseorang memintakan data kelas 2 dan 3 dari kantor pusat. Tapi kau tahu dengan otoritasku sekarang, maksimal hanya data kelas 4 dan yang tersedia di ruang berkas. Ini (aku memindahkan tumpukan berkas yang sudah terpilah ke atas meja dan Berkas DPO) cari detail dari semua berkas ini, terutama yang bagian DPO Aku mau semuanya selengkap-lengkapnya."
"Oh begitu pak, baiklah akan saya-" katanya terpotong lagi.
"NAMUN, aku agaknya kenal dengan nona muda yang sudah 6 bulan mutasi ke kantor pusat, kalau nggak salah namanya Rani. Yah kau tahu Quora, pekerjaan ini akan rawan jika melalui daring (online), jadi harus meet-up (*tatap muka) langsung dalam proses penyerahannya, dan pencarian berbagai berkasnya, dan dia mungkin bisa membantu. Tadi kamu bilang apa? Tarmaji lagi senggang ya? Hmm, apa aku minta tolong ke dia saja?" Kataku.
"Ee.. y-ya.. terserah bapak aja pak.. hehe." Katanya.
Seperti yang aku duga Quora akan gundah jika ini menyangkut Rani, Anak Pak Warno.
Aku membuka berkas yang dibawa oleh Quora.
"Oo.. ngomong-ngomong tempo hari aku dapat undangan ngelayat..." Kataku
"Siapa yang meninggal pak?" Tanya Quora.
"Dari Tarmaji, istrinya baru saja meninggal" Kataku.
"Loh-loh, pak! tolong serahkan pada saya tugas ini!" dengan cepat Quora menjawab.
"Hehe... Kena kau Quora. Yah jadi begitu, aku mau hasilnya secepatnya." Kataku sambil tertawa.
"Haaah, bapak, bapak, oke pak, kalau begitu saya akan siap-siap dulu." dia berdiri dan balik.
"Jangan kuatir Quora, aku yang akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa." kataku setengah berteriak.
Dia memalingkan wajahnya "Aku tau itu pak. Baik saya pergi dulu." Katanya.
Dia pergi dan menunjukkan pose sikap hormat. Baru lima menit dia meninggalkan ruanganku, dia kembali lagi membuka pintu.
"Pak, dipanggil pak kepala." Katanya
Agaknya aku tahu apa yang akan dibicarakan Pak Warno.
...
(Di ruang interogasi)
Dalam ruangan 3 x 3 ( baca: tiga kali tiga) bertembok beton dengan dilapisi lapisan gabus. Itu adalah ruangan kedap suara. Dengan satu pintu dan sebuah kaca satu arah yang besar. Satu buah kotak alat perekam, sebuah lampu bohlam yang bergelantungan, dan Poligraf (1). Xica, seorang etnis Tionghoa yang baru dimutasi dari kantor pusat dan baru 6 bulan bekerja disini yang hari ini melakukan flaminggo. Dengan membawa berkas satu tas, dia masuk ke ruang interogasi. Untungnya aku berhasil tepat waktu ke ruang interogasi, aku tak ingin melewatkan kesempatan ini. Pintu dibuka, Xica masuk ke dalam.
"Morning, Pak Sunandar." Kata Xica lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan pemilik toko tersebut.
"Pagi." jawaban singkat, mukanya tertunduk.
Aku mengetahui hal ini. Salah satu dari teknik interogasi, yaitu miss-information. Waktu hari ini menunjukkan pukul 3 sore. Sebelum seorang interogator menginterogasi, dia akan memeriksa berkas latar belakang (profil) orang yang akan diinterogasi. Pak Sunandar sepanjang waktu berada di tahanan dan tidak ada petunjuk waktu. Pak Sunandar adalah seorang muslim, meskipun tidak taat. Hal ini bisa digunakan untuk meningkatkan hukuman di pengadilan nanti.
"Baik pak saya langsung ke inti masalahnya." Dia tegas sekaligus sopan.
Interogasi berlangsung sangat lancar, dan berlangsung sampai 2,5 jam. Pak Sunandar menjawab semua pertanyaan dan tampak tidak berbohong menurut kami, aku dan Tarmaji. SOP kantor ini mensyaratkan 1 interogator dan minimal seorang overseer yang melihat dari kaca satu arah. Yah mungkin lancarnya interogasi ini karena interogatornya adalah perempuan. Namun aku masih ragu dengan hasil ini, karena tidak ada pertanyaan yang merujuk pada anak yang aku temukan.
"Menurut data kependudukan, anda dan bapak anda sudah meninggal sejak 38 tahun yang lalu (2000) di Bawean, apakah itu benar?"
"Ah itu, ya benar, kami memutuskan untuk bunuh diri saat bisnis gelap bapak saya dihentikan oleh pemerintah." Poligraf berkata jujur.
"Pertanyaan terakhir Pak Sunandar."
"Iya apa itu neng Xica?" Sunandar menjadi lebih banyak bicara, lebih terbuka.
"Bagaimana anda menjelaskan tentang foto ini?" Itu adalah foto ruangan rahasia, ruangan PSK.
"Ruangan? Hmm , Ruangan apa ini ya? setahu saya ini tidak ada (Ruangan seperti ini) di toko saya." Katanya kebingungan.
"Ruangan ini ada di dalam toko bapak. Karena bapak pemilik toko seharusnya tahu ruangan apa ini." Kata Xica.
"Apa ya... sungguh aku tidak tau mbak." Saat berbicara hal itu poligraf menunjukkan dia tidak berbohong. Ini aneh.
"Baik kalau tidak tau, teri-" Aku menekan bel untuk pergantian interogator. Xica keluar.
"Ada apa Pak... emm Pak Sumi?" Kata Xica setelah melihat tanda pengenalku.
"Ya benar saya sumi. Tapi sebenarnya yang memanggil kamu adalah Pak Tarmaji tadi."
"Xica, boleh saya masuk menggantimu? Pinjam juga berkasmu." kata Tarmaji.
"Silakan pak." Tarmaji masuk.
Sebelumnya aku diberitahu oleh Pak Warno (kepala Kepolisian di kantor ini) sebuah informasi. Dia berkata kalau pemilik toko (Pak Sunandar) yang ditangkap pernah memiliki riwayat Multiple Personality Disorder atau kepribadian ganda, namun hal itu kejadiannya sudah sangat lama dan tidak pernah terlihat kambuh lagi. Aku memberitahu hal ini kepada Tarmaji. Hal yang harus dilakukan ada pasien MPD menurut Tarmaji adalah mengetahui apa yang membuat atau yang memancing kepribadian yang satunya keluar.
Pak Tarmadji masuk dan langsung duduk tanpa menyapa Pak Sunandar terlebih dahulu.
"Sekarang saya tanya ruangan apa ini?" Kata Tarmadji sembari meletakan ponselnya di meja.
"Saya tidak tahu pak. Bapak siapa ya? Mana neng Xica" Kata Pak Sunandar.
"(Brak, tangan Tarmadji menggebrak meja) Disini hanya saya sekarang yang memberi pertanyaan, anda menjawab. Saya tanya sekarang, untuk apa ruangan ini?"
"Saya bahkan tidak tahu kalau ruangan ini ada di toko saya pak." Poligraf berkata jujur.
*pip-pip pip-pip. Lalu alarm HP Tarmaji berbunyi. Menunjukkan waktu jam 9 malam. Tentu jamnya sudah diubah oleh Tarmaji. Aku yang menyuruh menyetel alarm palsu di jam 9 malam dan 3 pagi. Sunandar melihat jam 9 malam telah terlewat.
"Saya ulangi lagi, untuk apa ruangan ini?" Kata Tarmadji.
"JANCOK!" Kata Sunandar impulsif.
Kami (Aku dan Xica) kaget. Ini kepribadian yang satu lagi? sepertinya tebakanku benar. Pak Sunandar memiliki kepribadian yang hanya kambuh disaat tokonya sudah tutup, yaitu saat malam hari. Aku hanya mengira kalau waktu yang membuatnya berubah ke kepribadian lain, karena semua kegiatan prostitusi hanya dilakukan setelah toko tutup dan itu adalah pada waktu malam hari.
"Jaga mulutmu, kau berada di kantor polisi, saya tanya lagi tahu ini ruangan apa?" Kata Tarmadji semakin tajam.
"Ti-tidak tahu, aku gak tahu." Jawab Sunandar.
Poligraf berkata dia bohong.
"Kau berbohong. apa ini kamar PSK?" Kata Tarmadji.
"Tidak." Jawab Sunandar singkat.
Poligraf berkata dia bohong.
"Sekali lagi kau bohong aku buat kau pingsan."
Tentu hal ini bukan gertakan. Hal ini telah kami sepakati (Aku dan Tarmaji).
"Jelaskan padaku bagaimana caramu mendapat banyak sekali PSK ini." Tanya Tarmadji.
"Haah, sialan... sialan...hreicnjhf98r8eyerh." Dia mengumpat gak jelas, lalu dia melanjutkan.
"Itu... penduduk sekitar yang tidak punya pekerjaan. Aku mempekerjakannya di tokoku." Jawab Sunandar tertunduk.
Poligraf berkata dia jujur.
"Lalu apa ini, kau punya anjing?" Foto kedua menunjukkan kalung dan wadah makan anjing yang ada di ruangan PSK itu.
"Hey, ayolah pak, pelanggan punya fetish (kondisi manusia yang terangsang terhadap sebuah objek tertentu akibat fantasi seksual yang tidak normal) yang berbeda. Ya kau tau sendirilah pak... tambah lagi disana juga ada gagang pintu, keran air, sekop, oli motor, tiang (pole dance), tali, Mannequin utuh, banyak lah pak." Kali ini Pak Sunandar menjawab semuanya, mungkin yang ada di pikirannya karena sudah tertangkap lebih baik mengaku semuanya.
"Lalu bagaimana dengan foto ini?" Foto ketiga yang sekaligus adalah foto terakhir, ruangan Marie.
"Emm Apa ini ada di tokoku? Aku tidak tahu." Kata Sunandar.
Poligraf berkata dia jujur. Ini adalah hal yang aneh.
"Bapak telah melanggar banyak sekali norma pak, apakah bapak tidak merasa bersalah?" Tanya Pak Tarmadji.
"Tidak lah!" Kata Sunandar.
Poligraf berkata dia berbohong.
"Pak Sunandar, ingat kataku tadi... selamat malam." Dia mengambil suntikan dan menyuntikannya ke Pak Sunandar.
"Loh tunggu pak, tunggu saya jujur pak, pak tunggu sebentar!" Kata Pak Sunandar mengelak.
Dia jujur di satu waktu, namun dia juga bohong karena pada kepribadiannya yang lain dia merasa bersalah. Memang pertanyaan ini muncul jika dia menjawab tidak tahu saat ditanya ruangan Marie. Lalu masih ada yang janggal menurutku, yaitu kenapa dia bisa tidak tahu tentang kamarnya Marie? Apakah dia masih punya kepribadian yang lain? Aku rasa akan sia-sia aku menggali informasi dari orang ini jika aku tidak tahu pemicu memunculkan kepribadian itu, kepribadian yang paling gila daripada kepribadian yang lain.