Dua polisi itu lalu meninggalkan Pak Sumi sendiri. Mereka segera membawa para perempuan itu ke rumah sakit lagi pula hari sudah mulai beranjak malam. Pak Sumi mulai menelusuri sekali lagi toko itu.
Dengan kondisi toko yang gelap, Pak Sumi menggunakan senter. Benar saja, setelah 4 jam mencari di seluruh toko, di ruangan kerja pemilik toko lagi, Pak Sumi menemukannya. Kali ini adalah sebuah bolpoin yang tergeletak di bawah meja kerja, dan saat ditarik itu terhubung dengan sebuah tali yang mana akan membuat lantai di bawah kursi kerja terangkat dan ada tombol merah disitu.
Setelah menekannya, lemari pakaian samping di ruang kerja bergeser dan terdapat lorong tangga menuju ke bawah. Di ujung tangga itu hanya ada sebuah pintu dan satu lampu merah redup yang masih menyala
"Tuk..tuk..krieet...tuk." Suara derap kaki Pak Sumi terdengar jelas disana karena tangga yang terbuat dari kayu. Sampai didepan pintu dan langsung membukanya. Dibalik pintu itu ada ruangan berukuran 6 x 4 meter yang didalamnya berisi alat-alat penyiksaan.
Choke pear (ada yang menyebutnya pear of anguish), guillotine, meja berpaku, cambuk, dan tempat tidur ukuran king, tongkat kayu, ada juga sayuran entah untuk apa fungsinya. Baru saja Pak Sumi melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan yang pengap itu, terdengar suara,
"selamat datang tuan, Marie tidak menangis!" Suara seorang anak kecil.
Sontak Pak Sumi langsung menengok ke kanan arah suara itu berasal. Terlihat seorang perempuan mungil mungkin baru berumur 10 tahun berdiri tanpa pakaian sehelai pun melekat di badannya dengan kaki kanan terantai dan tangan kiri terikat pada rantai yang diikatkan di tembok. Bagaimana dengan kaki kiri dan tangan kanannya? Putus sampai ke siku dan lutut.
Di samping perempuan itu tergeletak banyak kantong darah dan peralatan infus, (itu untuk membuat perempuan itu tetap hidup meski telah kehilangan darah yang banyak). Perasaan kaget dan tertegun serta kasihan menyelimuti Pak Sumi, melihat dia yang sangat-sangat kurus dan besar kemungkinan menderita anoreksia parah.
Seluruh tubuhnya penuh dengan luka lebam, tusuk, sayat, dan yang paling membuat Pak Sumi empati mendalam terhadapnya adalah DIA TERSENYUM.
Iya tersenyum dengan cahaya mata yang telah mati. Pandangannya mungkin seperti melihat Pak Sumi yang tepat berada di depannya, tapi dia hanya melihat, bukan menatap. Lalu Pak Sumi mencoba mencari kunci borgol di sekitar ruangan itu.
"Kalau Tuan mencari cambuk, itu ada di kotak merah." Kata anak itu sambil tersenyum.
"Aku sedang mencari kunci borgol kakimu itu, kau akan ku bebaskan, dan satu hal lagi aku bukan Tuanmu." Kata Pak Sumi sambil memalingkan muka.
Pak Sumi menahan diri untuk tidak melihatnya.
(anak itu berbisik) "...di bawah bantal... Tuan".
Tidak ada apa-apa disana. Disana hanya ada tulang-tulang kecil dan gumpalan daging yang sudah membusuk sejak lama.
Pak Sumi lalu mencari sesuatu di kotak merah. Sepanjang pencarian anak itu terus mengulangi kata-kata yang sama: 'Marie tersenyum, Marie tidak menangis' dan memang anak itu tersenyum.
Didalam kotak masih banyak lagi alat-alat penyiksaan yang berorientasi seksual dan sangat beragam. Pak Sumi menemukan satu gergaji besi dengan bekas darah. Pak Sumi mengambilnya dan segera berpaling untuk menghampiri anak itu.
"Tuan, Marie tersenyum, Marie tidak menangis." Kata Anak itu.
Pak Sumi menghampiri perempuan itu dan bersiap menggergaji rantai yang mengekang anak itu. Perempuan itu masih tersenyum dan kali ini seluruh badannya bergetar tegang. Ternyata dia juga agaknya buta.
"Marie tersenyum, Marie tidak menangis." Kata Anak itu lagi.
Dia berkata dengan lirih dan masih dengan senyum di wajahnya. Tapi sekarang dengan air mata yang mulai merembes. Dia merasa bahwa Pak Sumi akan menggergaji kakinya yang masih utuh.
Pak Sumi menjatuhkan gergajinya dan langsung memeluknya. Dia masih tersenyum dengan badannya yang bergetar hebat.
"Apa kamu ingin diselamatkan?" Kata Pak Sumi.
"..." Anak itu terdiam
"Apa kamu ingin bebas?"
"..." Anak itu terdiam, perlahan senyumannya memudar.
Pak Sumi mendekat ke telinga anak itu, sambil berbisik,
"Aku katakan sekali lagi, apa Marie ingin keluar dari tempat ini?" Bisik Pak Sumi.
Anak itu bergeming, tetap tersenyum dengan badan yang bergetar hebat. Pak Sumi mulai menggergaji rantainya, terdengar suara decitan yang sangat mengganggu, dan akhirnya lepas. Dengan segera Pak Sumi menggendong anak itu.
"Bau busuk apa ini." Kata Pak Sumi di sepanjang jalan.
Tentu saja itu dari badan anak yang tidak mandi. Mandi? menghirup udara segar pun tidak pernah, hanya ada udara pengap yang hanya berganti jika pintu dibuka. Lalu Pak Sumi merasa ada sesuatu yang menggeliat di tangannya. Itu belatung.
"Ah sial, dari mana hewan ini muncul." Segera Pak Sumi menurunkan anak itu didepan mobil. Waktu menunjukkan sudah hampir jam 3 pagi. Lampu toko yang mati dan tidak ada lampu jalan membuat sekeliling terlihat gelap, ditambah dengan seorang anak yang mirip boneka usang, membuat semakin mencekam malam itu.
"Mana senter, senter, ah ini dia". padahal selama ini senter itu ada di saku celana belakang Pak Sumi. Ternyata dari pangkal amputasi tangan dan kaki, ada sekitar 5 belatung yang bergelantungan di siku dan lutut anak itu. Dengan cekatan Pak Sumi mengambilnya satu per-satu. Rasa jijik telah dikalahkan oleh besarnya rasa empati beliau.