Sepulang sekolah, Larisa dan kedua temannya pergi berjalan-jalan ke salah satu Mall besar di kota Jakarta. Sebenarnya Larisa sudah menolaknya karena suasana hatinya tak mendukung untuk bersenang-senang, namun karena kedua sahabatnya itu memaksa, dia akhirnya pasrah dan mengikuti keinginan mereka. Kini mereka bertiga sedang duduk di restoran fast food, duduk di pojokan dengan meja yang sudah penuh dengan makanan dan minuman pesanan mereka.
"Icha-icha paradise, kok tumben sih gak dijemput abang Reza?" tanya Pretty dengan mulut yang sibuk mengunyah ayam goreng.
"Gak apa-apa kok. Dia lagi sibuk aja di kampusnya," jawab Larisa bohong. Dia memang belum menceritakan tentang pertengkarannya dengan Reza pada kedua sahabat absurd-nya.
"Berarti tadi pagi lo gak berangkat bareng juga ya soalnya lo bawa mobil sendiri?" Kali ini Gina yang bertanya.
Larisa menganggukan kepala, "Kayaknya mulai sekarang gue bakalan berangkat dan pulang sekolah sendiri."
Pretty tersedak makanannya saat mendengar ucapan Larisa ini. Dia terkejut tentu saja. "What?" ujarnya heboh. "Why?" lanjutnya.
"Gue kan udah bilang tadi, Reza lagi sibuk di kampusnya."
"Tapi ini aneh loh, guys. Setahu ane kak Reza itu sayang banget sama you, Cha. Gak mungkinlah dia lebih mentingin kuliahnya dibanding ceweknya. Kemarin-kemarin aja dia masih bela-belain antar jemput you, kan?"
"Kalian pasti berantem ya? udah deh ngaku aja. Gak usah main rahasia-rahasiaan," sela Gina.
Larisa menatap wajah sahabatnya satu persatu, sebelum akhirnya dia mendesah lelah. Dari dulu memang seperti itu, mereka bertiga terlalu dekat hingga Larisa tak bisa merahasiakan apapun dari mereka. Akhirnya Larisa mengaku kalah, dia menceritakan semua yang menimpanya pada kedua sahabatnya tanpa dikurang-kurangi maupun dilebih-lebihkan. Terkecuali rahasia Arvan yang memiliki Band Rock dan sering manggung di club, serta pemuda itu yang dapat beasiswa, tidak diceritakan Larisa. Dirinya bertekad akan menutup mulutnya rapat-rapat untuk masalah itu.
"Udah gue bilang jangan coba-coba main api, jadinya gini kan? Lo berantem sama Reza gara-gara si Arvan." Gina memulai ceramahnya. Membuat Larisa memutar bola matanya malas.
"Lagian kenapa sih Cha, you kesemsem banget pengen deketin itu si belut rawa? Gak ada faedahnya juga buat you."
Gina tertawa lantang, untuk soal memberi orang lain julukan aneh, Pretty memang ahlinya. Jika sudah membenci seseorang, mulut pria kemayu itu akan berubah menjadi petasan.
"Belut rawa? Maksudnya Arvan?" tanya Larisa polos. Gina semakin tertawa dan Pretty yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya iyalah siapa lagi."
"Sejak kapan dia jadi belut rawa?"
"Lah dia kan licin kayak belut makanya gak bisa dideketin. You salah satu korban kelicinannya kan?" sahut Pretty sembari menunjuk Larisa dengan garpu di tangannya.
"Si belut rawa itu gak usah lagi you deketin Icha honey, dia udah ngata-ngatain you gitu juga masih mau-maunya deketin dia. Iyyyysshhh ... ane sih ogah ya. Mendingan deket-deketin pangeran kodok aja."
"Siapa pangeran kodok?" tanya Larisa masih sepolos tadi.
"Cowok lo," sambar Gina, dan kali ini Pretty mengangguk-angguk setuju.
"Nah, tuh si Gina udah hatam banget ngerti julukan-julukan yang ane kasih buat mereka. Sama-sama ganteng sih tuh dua cowok, cuma tetep aja bedanya bagai khayangan sama rawa-rawa."
Gina tertawa semakin kencang, sedangkan Larisa memijit pangkal hidungnya yang berdenyut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut petasan Pretty alias Bams Arjuna.
"Gue lagi serius tahu cerita sama kalian, kok kalian malah becanda sih," gerutu Larisa, kesal tentu saja.
"Masalah lo itu gampang, Icha. Lo cukup jauhin itu si Arvan. Gak usah pake deketin dia lagi. Gak ada gunanya buat lo yang ada lo sakit hati denger kata-kata dia."
"Gue cuma peduli sama dia, pengen jadi temen dia, udah gitu aja kok, gak lebih."
"Ya itu niat baik you, tapi kalau si belut rawa gak mau nerima, ngapain juga dipaksa."
"Setuju gue sama si cecurut sawah, gue akui kali ini dia bener."
"Heeh ... siapa yang lo panggil cecurut sawah?!" teriak Pretty sambil melemparkan satu kentang goreng ke arah Gina yang duduk di seberangnya.
"Ya lo lah siapa lagi? Lo kan emang kayak cecurut sawah, mulut lo tuh gak bisa diem. Semprot sana semprot sini kayak ember bocor, gak ada bedanya kan sama cecurut yang berisik mulutnya."
"Diem ya dasar kecebong gurun."
Gina melongo sekarang, "Gue kecebong gurun?" tanyanya bingung sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, lo kan seneng loncat-loncat kayak kecebong. Loncat sana loncat sini, SKSD ke orang-orang gak dikenal cuma karena lo ngerasa ngelihat aura mistis ngikutin mereka. Malu-maluin tahu gak."
"SKSD maksudnya sok kenal sok deket?" tanya Gina, memastikan.
"Bukan," jawab Pretty tegas.
"Terus apa?"
"Sok kenal sok dukun."
Dan Larisa hanya bisa tertawa melihat tingkah absurd dua sahabatnya, apalagi saat mereka perang melemparkan kentang goreng sekarang. Memang menghabiskan waktu bersama dua sahabatnya ini selalu membuatnya terhibur.
"Gitu dong lo ketawa, Cha. Seharian ini lo murung terus, ngeri gue lihatnya."
"Iya bener, kayak bukan you aja, belalang sembah." Pretty ikut menimpali.
"OK, julukan gue belalang sembah ya. Masih mendinglah dibanding kecebong gurun sama cecurut sawah," sahut Larisa tak ingin ambil pusing julukan aneh yang diberikan Pretty padanya.
"Kok si Icha dikasih julukan belalang sembah, alasannya apa?" tanya Gina yang penasaran.
"Soalnya cowok dia kan julukannya pangeran kodok, tahu kan kodok suka ngincer serangga? Nah, belalang kan termasuk serangga."
"Huuh ... gak nyambung lo," pekik Gina sembari mencondongkan tubuh ke depan guna memukul kepala Pretty dengan ujung sendok miliknya.
"Pret, bisa-bisanya ya lo ngasih julukan-julukan aneh ke orang-orang. Kadang gue heran sama kelakuan lo," ucap Larisa, terheran-heran dengan keanehan sahabatanya yang satu ini, tak habis pikir dengan jalan pikirannnya. Otaknya geser kah dari tempatnya?
"Ya, mendingan gitu kali. Daripada ni mulut sama jari-jari ane digunain buat ngehujat orang pake kata-kata hinaan di medsos kayak netizen maha benar. Ya, mendingan gini ngasih julukan ngawur, buktinya kalian aja ketawa kan soalnya julukan yang ane kasih itu lucu. Ngelawak bikin orang ketawa boleh kali daripada ngehujat bikin orang depresi."
"Tumben lo bijak," sahut Gina mengejek.
"Yeaay, dari dulu juga ane bijak kali, you aja yang budeg kupingnya. Lagian kita ini kan cecenit, jadi harus selalu bahagia. Bener gak?"
"Cecenit? Apaan tuh?" tanya Larisa dengan kening mengernyit.
"Nama geng kita."
"Haah? Sejak kapan nama geng kita cecenit?" Gina ikut kebingungan.
"Barusan ane kasih nama."
"Cecenit maksudnya apa sih?" tanya Larisa gemas sendiri.
"Centil-centil genit," sahut Pretty seraya tertawa lantang.
Gina dan Larisa serempak memicingkan mata. "Sorry ya gue gak ngerasa centil sama genit tuh."
"Gue juga," sahut Larisa, menyetujui.
"Ya udah sih gak apa-apa kali. Cecenit itu maksudnya kita geng yang selalu happy dalam kondisi apa pun. Lagian bahagia itu harus tahu supaya imun tubuh kita kuat. Jadi tuh virus, kuman sama bakteri yang lagi mewabah gak mempan sama tubuh kita." Pretty berkhutbah.
Mereka bertiga saling berpandangan sebelum cekikikan bersama membuat meja mereka jadi pusat perhatian seisi restoran, mereka tak peduli. Yang penting happy dan tidak mengganggu orang lain, begitulah moto persahabatan ketiganya.
"Gue rasa yang kalian bilang emang bener, gue gak akan maksa deketin Arvan lagi. Kalau dia gak mau temenan sama gue, ya udahlah. Mau gimana lagi."
"Nah, gitu dong, baru ini namanya sahabat gue," sahut Gina sembari mengangkat jempolnya.
"Terus soal pertengkaran gue sama Reza gimana ya menurut kalian?" tanya Larisa meminta saran.
"Ya, lo minta maaf lah, kata-kata lo udah kelewatan. Mendingan lo baikan sama dia, minta dia kayak dulu lagi."
��Tapi, gue malu."
Keduanya berdecak bersamaan, Pretty dan Gina.
"Ngapain malu segala sih, you kan gak telanjang di depan dia. Cuma minta maaf doang kok malu?"
"Ya malu lah, Pret. Gue udah bilang kayak gitu sama dia. Dia kan cuma ngabulin permintaan gue aja. Terus gue tiba-tiba minta dia kayak dulu lagi gitu. Issshhh ... sama aja gue jilat ludah sendiri."
"Gue punya ide." Gina menimpali yang seketika menarik atensi dua sahabatnya.
"Gimana-gimana?" heboh Pretty seperti biasa.
"Kita bikin kejutan buat Reza. Misalnya lo ajakin dia makan di luar sambil kasih dia kado permintaan maaf. Ajakin nonton di bioskop juga bisa. Atau lo datang langsung ke rumahnya sambil bawa kado. Terserah sih mau pilih yang mana."
"Menurut ane sih mendingan you ke rumahnya aja lebih kelihatan tulusnya."
Larisa tertegun, menimbang-nimbang saran kedua sahabatnya. Haruskah dia ikuti? Hingga akhirnya dia mengangguk setuju.
"OK, gue ke rumahnya aja deh. Kebetulan udah lama gue gak main ke rumah Reza."
"Nah, gitu dong," balas Gina riang.
"Terus gue harus ngasih kado apa ya?"
"Ya ampun, you udah dua tahun pacaran sama dia, masih bingung aja mau ngasih apa. You pasti tahu kan benda-benda yang dia suka?" sahut Pretty.
"Ngasih makanan juga gak masalah sih kalau menurut gue."
"Setuju," sambar Pretty, menyetujui saran Gina.
"Masalahnya Reza yang sering ngasih gue ini-itu, seinget gue, gue gak pernah deh ngasih dia apa-apa."
"Haah?!!" Dua orang berbeda gender itu serempak melongo.
"Serius, Cha? Lo belum pernah ngasih Reza kado?"
Larisa menggeleng.
"Kalau dia ultah?" tanya Pretty.
"Dia selalu mewanti-wanti gue supaya gak perlu ngasih dia kado. Dia cuma minta gue temenin dia seharian kalau lagi ultah."
Pretty menepuk jidatnya dramatis sedangkan Gina menggeleng tak percaya.
"Asli lo beruntung banget punya cowok kayak Reza. Di mana lagi coba lo bisa dapetin cowok sebaik dia?"
Larisa termenung, tak memungkiri ucapan Gina memang benar adanya. Dia beruntung memiliki pacar seperti Reza. Kenapa dia harus mengorbankan keharmonisan hubungan mereka hanya karena Arvan yang bahkan menolak dipedulikan olehnya? Sepertinya Larisa baru kembali mendapatkan akal sehatnya.
"Gini aja deh. Kalau lo bingung mau ngasih apaan ke Reza. Kita berdua temenin lo buat nyari kadonya. Gimana?"
"Ane setuju. Enaknya sih hari minggu kita nyarinya biar bebas. Kita berdua bakalan bantuin you sampai nemu barang yang cocok buat kak Reza."
Larisa tersenyum lebar disertai anggukan kepala, "OK, kita ketemuan hari minggu ya. Awas ya kalian berdua jangan ampe ingkar janji."
Pretty dan Gina mengangkat jempol bersamaan, "Janji gak bakalan ingkar janji," sahut keduanya berbarengan.
Setelahnya mereka kembali menyantap makanan dengan masih melempar candaan yang membuat meja mereka kembali menjadi pusat perhatian. Mereka tak peduli, yang penting happy.