Waktu istirahat makan siang tiba, hampir semua siswa dari berbagai kelas memilih menghabiskan waktu di kantin sekolah, termasuk Larisa dan dua sahabatnya.
Makanan sudah terhidang di atas meja. Larisa yang memesan mie bakso super pedas beserta es jeruk sebagai minumannya. Gina memesan soto betawi plus nasi serta jus mangga sebagai minumannya. Sedangkan Pretty memesan sepiring batagor dengan air mineral sebagai pelepas dahaga.
Larisa mengernyitkan dahi melihat Pretty yang dengan anggun menusuk potongan batagor dengan garpu di tangan. Bagaikan keturunan bangsawan mengunyahnya dengan perlahan di dalam mulut.
"Heeh ... Pretty, tumben lo cuma pesen batagor doang, biasanya lo rakus deh makannya. Makan mie ayam aja gak cukup satu porsi, dua porsi baru kenyang tuh perut," ucap Larisa, penasaran dengan keanehan sahabat kemayunya siang ini.
Pretty membuka mulut siap menyahut, namun Gina yang menyambar pembicaraan membuat suaranya menggantung di dalam tenggorokan, balapan dengan kunyahan batagor yang masih tersangkut di tenggorokannya.
"Si Pretty cerita sama gue, dia pengen diet. Katanya sih gara-gara dia ngefans sama Marc Marquez yang pembalap motogp itu loh. Dia pengen badannya kurus sama kayak tuh pembalap," sahut Gina.
"Padahal nih ya, si cecurut sawah ini mana bisa nyaingin badan langsingnya Marc Marquez walau seribu bulan purnama dilewati. Lihat deh perutnya buncit gitu kayak kentung," tambah Gina sembari menunjuk ke arah perut Pretty yang sedikit menonjol ke depan alias buncit. Hiperbola sebenarnya karena perut Pretty tidak buncit-buncit amat hanya berlemak, namun masih dibatas normal.
"Jangan sembarangan kalau ngomong, kecebong gurun. Siapa bilang ane gak bisa langsing kayak Marc Marquez? Bisalah ane kalau mau usaha. Ini ane lagi usaha makanya diet," sahut Pretty sembari menunjuk pada sepiring batagor di depannya.
"Ngefans sih ngefans, Pret, tapi gak usah ampe segitunya kali, ampe pengen nyaingin badannya segala." Larisa menimpali sembari menggeleng heran, "Emangnya lo mau jadi pembalap kayak dia apa?"
"Iya, pengen banget ane jadi pembalap. Gila keren banget tahu lihat pembalap motogp kalau lagi duduk di atas motor gede. Ane juga pengen deh."
"Yang ada sebelum tuh motor jalan lo udah nyungsep duluan, Pret. Motor gede kan berat, lo yang meletoy kayak gini mana bisa tahan bawanya. Udah gitu yang ada lo teriak-teriak gitu pas motornya jalan." Gina tiba-tiba berdiri dari duduknya. "Awww ... tolongin dong cyiiin, eyke mau jatoooh." Gina memeragakan gaya Pretty yang tengah berteriak sembari membekap wajahnya sendiri dengan kedua tangan. Melompat-lompat heboh seperti yang dilakukan Pretty setiap kali dirinya panik.
"Uwoow ... rambut semampai eyke berantakan nih. Hair stylist mana hair stylist. Duuh cyiiin ... rambut eyke kayak kena badai." Gina kini memeragakan gaya Pretty yang gemar mengibas-ngibaskan rambut pendeknya. Dengan jari-jari lentiknya yang menyugar rambutnya dengan genit.
Larisa tertawa lantang melihat tingkah Gina yang mengejek Pretty habis-habisan, berbanding terbalik dengan Pretty yang tengah memanyunkan bibirnya beberapa senti.
"Ane gak gitu kali. Emangnya ane cowok banci?"
Gina dan Larisa saling berpandangan sebelum tawa keduanya meledak, menarik atensi seisi kantin.
"Gak nyadar diri nih orang. Perlu gue beliin cermin buat ngaca? Pretty ... Pretty ... kadang gue heran sama jalan pikiran lo. Jangan-jangan otak lo geser ya dari tempatnya?" ejek Gina lagi.
Pretty semakin memanyunkan bibirnya ke depan, tak terima.
"Huuh ... emangnya salah ane punya cita-cita? Gak ada yang ngelarang kan ane pengen jadi pembalap motogp? Semua orang punya hak bermimpi kali."
"Mimpi lo mustahil bisa diwujudin. Jangankan di dunia nyata, di alam mimpi aja mustahil lo bisa jadi pembalap motogp, Pretty. Kecuali kalau lo benerin dulu itu tingkah laku lo. Bisa gak kira-kira lo jadi cowok macho? Seenggaknya jad cowok tulen dulu aja deh," kata Gina lagi karena Larisa lebih memilih menjadi pendengar yang baik dibanding ikut war dengan kedua sahabatnya yang absurd ini.
Pretty terdiam seolah tengah menimbang-nimbang ucapan Gina.
"Tahu dah. Bisa gak ya ane jadi cowok tulen?" tanyanya yang semakin membuat Larisa tergelak dalam tawanya.
"Huuh ... lo aja ragu apalagi kita. Pretty ... pretty ... sakit nih orang. Gue anterin ke psikiater mau gak supaya sembuh?"
Pretty masih setia memberengut, dirinya tak bisa membalas ucapan Gina karena merasa kalah telak. Dia pun menyesal karena sudah membahas Marc Marquez, pembalap motogp idolanya.
"Ya udah deh, ane batal dietnya. Gak jadi ane pengen punya badan kayak Marc Marquez." Pretty beranjak bangun setelah mengatakan itu.
"Mau kemana, Pret?" tanya Larisa heran.
"Pesen makanan lagi. Mau mie ayam akh dua porsi seperti biasa," katanya sambil menyengir lebar. "Emang gak pantes ya ane jadi pembalap motogp. Pantesan jadi apaan menurut kalian?" tanyanya polos pada Larisa dan Gina yang tengah menggelengkan kepala serempak.
"Jadi badut sirkus," celetuk Gina sambil tertawa lantang hingga mulutnya menganga lebar.
Pretty yang tak terima, memasukan sesendok sambal yang tersaji bersama soto daging pesanan Gina, ke dalam mulut Gina yang tengah menganga lebar. Membuat gadis itu merem melek karena sesendok sambal level maksimal meluncur mulus ke dalam tenggorokannya. Tawa Pretty pun meledak diiringi kedua kakinya yang mengambil langkah seribu untuk kabur.
Larisa terkekeh geli sembari menggelengkan kepala, heran karena ada dua manusia abnormal seperti Pretty dan Gina. Dia meringis prihatin pada Gina yang kepedesan sampai menenggak jus mangganya sampai tandas dalam sekali tegukan.
"Gin, lo gak apa-apa?" tanya Larisa sembari mengelus-elus punggung Gina.
"Pedes parah, mulut gue udah kayak naga yang bisa nyemburin api," jawab Gina sekenanya. "Awas aja si Pretty kalau balik ke sini, gue lemparin mie ayamnya ke muka dia. kelilipan ... kelilipan deh tuh mata sama saosnya."
Larisa terkekeh mendengar rencana teramat sadis dari Gina. Sebelum akhirnya dia beranjak bangun dari duduknya karena ingin pergi ke toilet. Terlalu banyak tertawa membuatnya ingin buang air kecil.
"Gue ke toilet dulu ya, Gin," pamitnya yang hanya ditanggapi Gina dengan satu jempolnya yang terangkat.
Larisa berjalan santai meninggalkan kantin dan terenyak luar biasa kaget ketika tangannya tiba-tiba dicekal seseorang dari samping. Spontan Larisa menoleh.
"Johan, kenapa?" tanyanya dengan dahi mengernyit mendapati si pelaku adalah Johan, teman sebangku si belut rawa alias Arvan.
"Ikut gue sebentar. Ada yang mau ketemu sama lo."
Johan menarik tangan Larisa sebelum gadis itu mengiyakan. "Siapa yang mau ketemu sama gue?"
"Ntar lo juga tahu," jawab Johan cuek. Dia memaksa Larisa berjalan bersamanya membuat Larisa harus susah payah demi mengimbangi langkah lebar pemuda itu.
Johan membawa Larisa ke belakang perpustakaan yang sepi karena jarang dilewati siswa. Larisa semakin terheran-heran dan penasaran siapa gerangan seseorang yang ingin menemui dirinya. Seandainya ada pemuda yang ingin menyatakan perasaannya pada Larisa seperti dulu sebelum gadis ini berpacaran dengan Reza, Larisa malas bukan main.
"Siapa sih yang mau ketemu gue? Kok serem ya ketemunya di tempat sepi kayak gini?"
"Tuh, yang mau ketemu sama lo," balas Johan sembari menunjuk ke arah pohon dimana ada seseorang yang sedang bersandar di sana.
Larisa menahan napas, orang yang sedang bersandar pada batang pohon sembari melipat kedua tangan di dada itu tidak salah lagi adalah Arvan. Mau apa pemuda dingin itu memintanya bertemu? Benak Larisa penuh tanda tanya.
"Van, nih si Icha udah di sini. Lo sampein deh permintaan kita," ucap Johan begitu keduanya sudah berdiri di hadapan Arvan.
"Harus ya gue yang ngomong?" balas Arvan.
"Ya iyalah, lo yang mau ngajakin dia kok, bukan gue."
Larisa hanya melongo, tak mengerti arah pembicaraan dua pemuda di depannya. Dia menatap Arvan, lalu beralih menatap Johan ketika keduanya belum juga bersuara.
"Lo mau ngomong apa, Van? Ngomong aja gak usah ragu," ucap Larisa judes, dia masih sakit hati dengan kejadian lima hari yang lalu.
"Hmm ... k-kita mau ngajakin lo bergabung sama kelompok kita buat ngerjain tugas Biologi itu." Arvan akhirnya mengeluarkan suaranya dengan nada ragu dan gestur tubuh yang menahan malu. Kedua matanya yang biasa tajam tiba-tiba bergulir gelisah.
Larisa menegang di tempatnya berdiri dengan jantungnya yang siap salto hingga ke usus dua belas jari saking kagetnya mendengar ajakan Arvan. Dia tidak salah dengar kan? Kenapa Arvan yang selalu menolak ajakan bertemannya ini tiba-tiba memintanya bergabung dengan kelompoknya?
Larisa mematung seolah rohnya tersedot keluar.
"Woi ... mau gak lo sekelompok sama kita berdua?!!" teriak Johan yang membuat roh Larisa yang sempat melayang, kini kembali ke raganya.
Larisa tersentak kaget hingga refleks memukul lengan Johan cukup kencang.
"Kok mukul gue sih, Cha? Kalau lo gak mau gak apa-apa deh, kita gak maksa kok," ujar pemuda itu sembari mengusap-usap lengannya yang ditimpuk Larisa.
"Lo serius mau gue gabung sama kelompok kalian?" tanya Larisa, pandangannya tertuju sepenuhnya pada Arvan.
"Seriuslah, masa becanda sih. Kan lo denger sendiri tadi Bu Arisa nyuruh sekelompok terdiri dari tiga orang." Yang menjawab adalah Johan. Sedangkan Arvan hanya terdiam dengan tatapannya yang balas menatap Larisa.
"K-Kenapa harus gue? Kan banyak anak lain di kelas?" Larisa kembali meminta penjelasan.
"Nih anak kayaknya gak mau sekelompok sama kita, Van. Gue bilang juga apa, si Icha pasti udah sekelompok sama geng dedemitnya. Si dukun Gina sama si ember bocor Pretty," celetuk Johan yang diabaikan dua orang di depannya pasalnya Arvan dan Larisa masih sibuk saling tatap.
"Woi, kalian denger gak sih? Kok gue kayak obat nyamuk ya di sini gak dianggap, apa kayak invisible man gak kelihatan wujudnya?" cerocos Johan, mulai naik darah.
"Ya udah, kalau lo gak mau gabung sama kelompok kita." Arvan akhirnya menimpali. "Yuk, Han, cabut," ajak Arvan sembari melenggang santai meninggalkan Larisa yang masih mematung di tempat.
Larisa mengerjap-ngerjapkan mata saat kewarasannya berhasil menyadarkan dirinya dari keterkejutan. Spontan dia berlari guna mengejar Arvan dan Johan yang sudah melangkah jauh.
"Tunggu!!" teriaknya.
Arvan dan Johan seketika menghentikan langkah.
"Van, lo serius mau sekelompok sama gue? Bukannya lo benci sama gue, lo bilang nyesel kan kenal sama gue?" tanya Larisa bertubi-tubi.
"Busyet ... serius lo ngomong gitu Van sama si Icha?!" Johan merespon dengan heboh.
"Sorry," cicit Arvan pelan dengan kepala tertunduk dalam. "Gue lagi emosi. Sorry," tambahnya.
Arvan tak sadar bahwa kata-kata singkat nan datarnya itu sukses membuat Larisa girang luar biasa, tapi dalam hati karena dia berpura-pura sok jaim di depan pemuda itu.
"Pantesan lo nyaranin kita ngajak si Icha. Oh, ada udang di balik bakwan ternyata," goda Johan sembari menyenggol rusuk Arvan.
"Jadi gimana, Cha? Lo mau gak sekelompok sama kita?" Johan yang kembali melontarkan tanya.
Larisa terdiam sebentar sebelum dirinya memberikan anggukan antusias. Gadis itu lupa ... benar-benar melupakan kedua sahabatnya yang sudah sepakat akan satu kelompok dengannya hanya karena sikap Arvan yang tiba-tiba menghangat. Runtuh sudah benteng pertahanan yang dibangun Larisa untuk menjauhi pria dingin tersebut.