Larisa menunggu dengan gelisah di depan rumahnya, menunggu Arvan yang tak kunjung datang padahal waktu sudah menunjukan pukul 8 pagi. Semalam Larisa sudah mengirimkan alamat rumahnya pada Arvan serta membuat janji mengerjakan tugasnya pukul 7 pagi. Arvan membalas pesannya hanya dengan kata 'OK' pertanda setuju. Maka dari itu Larisa cemas karena pemuda itu tak kunjung menampakan batang hidungnya.
Ketika dirinya mendengar suara security penjaga gerbangnya menyapa seseorang, Larisa cepat-cepat menoleh ke arah gerbang. Bergegas berlari menuju gerbang dikala melihat Arvan bersama sepedanya sudah tiba di depan posko security rumah Larisa.
"Pak, dia teman saya!" teriak Larisa sebelum dirinya benar-benar tiba di dekat posko security.
Pak Jamal, security yang menjaga rumah Larisa mengernyitkan dahi. Dia mengangguk setelah Larisa kini berdiri di depannya dengan napas terengah sehabis lari.
"Buka gerbangnya, biarkan dia masuk, Pak."
"Baik, Non," sahut Pak Jamal.
Arvan pun melangkah melewati gerbang yang terbuka sembari menuntun sepeda miliknya.
"Johan mana?"
Larisa bertanya karena dia tak melihat sosok Johan datang bersama Arvan.
"Dia gak bisa ikut, katanya harus nganter adiknya ke rumah sakit."
"Adiknya sakit?"
Arvan mengangguk, "Kayaknya kena muntaber soalnya dia muntah sama berak-berak kata Johan."
Kini giliran Larisa yang mengangguk-angguk hingga tiba-tiba dia tercekat karena baru menyadari sesuatu.
'Artinya gue ngerjain tugas berduaan sama Arvan dong?' gumamnya dalam hati.
"Sorry ya gue telat, tadi nyari ini dulu."
Arvan mengangkat bibit tanaman yang dia pegang di tangan kanannya.
"Oh, lo nyari bibit tanaman dulu ya? Itu tanaman apa, Van?"
"Bunga mawar," sahut Arvan apa adanya. "Kita mau nanem dimana nih?"
Larisa yang melamun sembari memandangi bibit bunga mawar itu tersentak mendengar pertanyaan tanpa basa-basi Arvan.
"Oh, kita mau langsung nanem sekarang nih?"
"Iyalah. Kan itu tujuan gue ke sini."
"Kirain lo mau istirahat dulu. Minum dulu gitu, Van."
"Gak usah. Kita kerjain sekarang supaya cepet beres."
Larisa tak membantah lagi, dia mengangguk patuh. Lantas menggiring Arvan untuk berjalan menuju taman belakang rumahnya.
Setibanya di taman itu, Arvan melebarkan mata takjub. Taman di belakang rumah Larisa sangat luas dan indah. Banyak bunga beraneka ragam jenis tumbuh di sana. Ada beberapa pohon juga yang sudah berbuah. Di samping kanan taman ada kolam renang besar beserta sebuah gazebo untuk bersantai. Biasanya Larisa dan pacarnya senang menghabiskan waktu bersama di gazebo tersebut.
"Ini taman mendiang nyokap gue. Dia suka banget sama bunga."
Larisa menjelaskan karena dia menangkap raut kagum dan heran di wajah Arvan.
"Hmm ... gitu," sahut Arvan santai. "Terus kita mau nanem ini dimana?"
Larisa menggulirkan mata, tersenyum lebar saat menemukan lahan yang masih kosong di antara pohon belimbing dan pohon pepaya tak jauh dari kolam renang.
"Di situ aja yuk. Di sana masih kosong. Udah gitu posisinya pas, langsung kena sinar matahari."
"OK," jawab Arvan setuju.
Mereka berdua pun berjalan menghampiri lahan yang mereka setujui sebagai tempat untuk menanam bibit bunga mawar.
"Gue ambilin sekop dulu deh ya buat gali tanahnya."
Arvan mengangguk.
"Oh, ya. Kita perlu pupuk gak?"
"Perlu dong. Ini gue udah beli," sahut Arvan sembari mengangkat sebuah bungkusan hitam di tangannya yang lain.
"Oh, lo udah beli ya, tadinya gue mau nawarin pupuk punya nyokap gue. Ya udah tunggu bentar ya, gue ambil dulu sekopnya."
Larisa pun melesat pergi, meninggalkan Arvan sendiri yang sedang menelisik sekitar. Tatapannya memicing tajam saat melihat rumah Larisa yang mewah. Dia pun mendengus, mengerti alasan Larisa begitu pemaksa dan manja, tentu karena hidupnya bergelimang harta dan selalu dimanjakan orangtuanya.
"Ini Van, sekopnya," ujar Larisa, gadis itu sudah kembali sembari mengulurkan sebuah sekop pada Arvan.
Arvan menerimanya tanpa kata, dia pun mulai menggali tanah untuk tempat menanam bibit bunga mawar.
"Perlu gue bantu gak, Van?"
"Gak usah," sahut Arvan dingin. Larisa tak tersinggung, mulai terbiasa mendengar tanggapan Arvan yang ketus jika dia bertanya.
Dan ketika Larisa sedang fokus memperhatikan Arvan yang sibuk menggali tanah, dia dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menyentuh punggungnya. Larisa menoleh, ternyata sang pembantu pelakunya.
"Ada apa, Bi? Ngagetin aja."
"Itu Non, ada Tuan Muda Reza lagi nungguin Non."
Larisa sontak melebarkan mata mendengar kekasihnya, Reza datang ke rumahnya tanpa pemberitahuan.
"Dimana dia?"
Larisa celingukan, khawatir Reza tiba-tiba muncul apalagi dirinya kini sedang ada di taman belakang, tempat favorit Reza yang pasti didatangi pemuda itu jika berkunjung ke rumah Larisa.
"Nunggu di luar, Non."
"Kok gak masuk?"
"Gak tahu, udah bibi tawarin padahal."
Larisa menatap punggung Arvan yang masih sibuk menggali tanah, berpikir dia harus segera menemui Reza, dia pun melangkah pergi meninggalkan pemuda itu sendiri.
Benar saja yang dikatakan si bibi, Reza sedang berdiri di depan pintu rumah Larisa. Pemuda itu dalam posisi membelakangi pintu sehingga yang Larisa lihat pertama kali adalah punggung tegap Reza.
Ada rasa rindu yang membuncah begitu Larisa melihat sosok itu. Keinginan untuk menerjangnya dalam pelukan tentu ada di benak Larisa, namun dia tahan karena gengsinya yang terlalu tinggi. Dia ingat sedang bertengkar dengan pemuda itu.
Larisa pun berdeham untuk menarik atensi Reza. Dan berhasil, Reza akhirnya membalik badannya.
"Hai ..." sapa Larisa kikuk, tiba-tiba dia salah tingkah di depan pacarnya sendiri. Pacar yang hampir satu minggu tidak dia temui.
"Aku datang buat anterin ini." Pandangan Larisa tertuju pada sebuah novel dan komik yang diulurkan Reza. "Ketinggalan di mobil aku."
Larisa mengerjap sebelum tangannya terulur untuk menerima novel dan komik itu.
"Kamu datang ke rumah aku cuma buat anterin ini?" tanya Larisa, dia tersentak ketika Reza hanya menanggapinya dengan anggukan.
"Aku tahu itu novel sama komik kesukaan kamu. Aku takutnya kamu bingung nyariin jadi aku anterin ke sini."
Larisa memaksakan diri untuk tersenyum meski nyatanya dia tak suka dengan jawaban Reza. Padahal dia ingin mendengar Reza mengatakan rindu padanya. Atau mungkinkah hanya Larisa yang merasa rindu, sedangkan Reza tidak?
"Ya udah, aku pulang dulu."
Larisa tersentak dari lamunannya, dia geragapan begitu melihat Reza yang mulai melangkah pergi.
"Kamu gak masuk dulu ke dalam?"
Reza kembali menoleh, "Papa kamu ada di rumah?"
"Nggak ada. Papa lagi keluar."
"Berarti gak ada alasan aku masuk ke dalam." Reza pun kembali membalik badan.
"Kok kamu gitu sih? Jadi kalau papa gak ada, kamu gak mau masuk ke dalam?"
"Ada yang mau kamu omongin?"
Larisa tercekat, tak menyangka Reza akan tiba-tiba bertanya seperti itu. Kepala gadis itu menggeleng.
"Ya udah, berarti emang gak ada alasan aku masuk ke dalam, toh gak ada yang mau diomongin juga. Udah ya, aku pulang dulu. Sampai ketemu lagi."
Larisa cemberut sembari tatapannya mengikuti punggung Reza yang menjauh. Larisa terlalu gengsi untuk mengakui kerinduannya pada sang pacar. Padahal jika boleh jujur, dia sedang ingin berduaan dengan Reza. Namun, saat mengingat di rumahnya sedang ada Arvan, diam-diam Larisa bersyukur karena Reza cepat pulang. Bukan apa-apa, dia hanya takut Reza akan salah paham jika melihat Arvan di rumahnya, walau bagaimana pun Reza itu sangat pencemburu.
Larisa bergegas kembali ke taman belakang setelah mobil Reza keluar dari pelataran rumahnya. Dia terbelalak saat melihat Arvan sudah selesai menanam bibit bunga mawar yang seharusnya mereka tanam bersama.
"U-Udah selesai?" tanya Larisa, tak enak hati.
"Udah. Lo kelamaan, jadi gue tanem sendiri."
"Sorry ya, barusan ada tamu."
Arvan tak menanggapi, dia mengulurkan sekop pada Larisa.
"Menurut gue, kita harus nanem tanaman lain buat cadangan takutnya bunganya gak numbuh."
Larisa mengangguk setuju, "Ya udah, kita tanem aja lagi tanaman lain mumpung masih ada lahan kosong di sini."
"Maksud gue kita nanem di tempat lain, jangan di sini. Kan kita gak tahu tanah di sini subur atau nggak."
"Subur kok. Noh, buktinya banyak bunga sama pohon yang tumbuh di sini."
Arvan mengembuskan napas pelan, "Kita harus nyoba di tanah lain juga, buat jaga-jaga."
Larisa tertegun, dia pun kembali mengangguk setelah mencerna dengan baik maksud Arvan. "Terus kita mau nanem dimana lagi?"
"Di rumah gue."
Dan jawaban singkat Arvan itu sukses membuat Larisa terbelalak.
"Oh ya udah, lo tanem aja di rumah lo juga. Jadi kita sama-sama perhatiin deh perkembangannya setiap hari," sahut Larisa disertai senyum.
"Maksudnya lo nyuruh gue nanem sendiri udah gue nanem disini sendirian, gue juga harus nanem sendiri di rumah gue gitu?"
Larisa tersentak mendengar respon Arvan yang tampak tersinggung.
"Ya, terus lo maunya gimana?" tanya Larisa, bertanya apa yang sebenarnya diinginkan Arvan.
"Lo ikut ke rumah gue, kita nanem sama-sama. Enak aja lo diem, gue yang kerja sendiri."
"Issshhh ... lo gak ikhlas banget sih ngerjainnya, Van?"
"Bukan gak ikhlas, ini kan tugas kelompok berarti harus dikerjain bareng-bareng."
"Terus si Johan gimana kabarnya? Dia juga gak ngerjain apa-apa tuh."
"Kita suruh aja nanti dia yang presentasi di depan kelas."
Dan Larisa pun bungkam mendengar jawaban Arvan.
"Ya udah kalau gitu, nanti kita nanem juga di rumah lo."
"Kok nanti sih?"
Larisa mengerutkan kening sekarang, "Ya, terus lo maunya kapan?"
"Ya, sekarang dong, sekalian. Mumpung hari minggu juga, lo juga gak ada kerjaan kan di rumah?"
Larisa ingin mengumpati Arvan yang memutuskan seenaknya, namun dia tahan mati-matian keinginanya itu karena tidak ingin hubungannya dengan Arvan yang sudah ada kemajuan menjadi renggang lagi.
Dengan bibir yang manyun ke depan, Larisa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Waktu masih menunjukan pukul 09.42. Masih ada cukup waktu hingga waktu janjiannya bersama Pretty dan Gina tiba.
"Ya udah, OK. Yuk, cabut ke rumah lo!"
Larisa mengikuti langkah Arvan di depannya, tak ada kecemasan di pikiran Larisa. Menurutnya semua rencananya hari ini baik dengan Arvan maupun dengan kedua sahabatnya pasti akan berjalan lancar.
Dia lupa bahwa dia tidak tahu apa yang akan menimpanya nanti. Karena tak ada seorang pun yang mampu memprediksi dengan tepat kejadian di masa depan.