Chereads / Larisa Wish / Chapter 28 - CHAPTER DUA PULUH DELAPAN

Chapter 28 - CHAPTER DUA PULUH DELAPAN

Bel tanda siswa diizinkan pulang sudah berbunyi sejak 20 menit yang lalu. Beberapa siswa sudah berhamburan meninggalkan gedung sekolah. Begitupun dengan Pretty dan Gina. Namun, tidak demikian dengan Larisa. Gadis itu sedang sibuk memanaskan mobilnya di parkiran sekolah.

Dia duduk di depan kemudi sembari memainkan ponselnya. Sebenarnya bukan memainkan ponsel melainkan sedang menatap deretan angka yang diketahui sebagai nomor sang kekasih, siapa lagi kalau bukan Reza yang sudah dua tahun berstatus sebagai pacar Larisa.

Gadis itu sedang dilema sekarang, antara menghubungi nomor tersebut atau tetap diam. Sejak pertengkaran mereka tempo hari, Reza belum juga menghubungi dirinya. Larisa merasa bersalah, menyesal sekaligus rindu. Meski gengsinya lebih besar sehingga dia selalu mengurungkan niat setiap kali berniat menghubungi pemuda itu.

"Reza beneran marah nih kayaknya? Dia gak ngirim pesan, gak nelepon juga." Larisa bergumam, masih dengan kedua matanya memelototi deretan angka yang terpampang di layar ponsel.

"Haah ... hubungin jangan ya?"

Larisa memijit-mijit pangkal hidungnya, pusing sendiri jika memikirkan hubungannya yang merenggang dengan Reza karena ulahnya sendiri.

"Kangen tapi gak mau ngehubungi duluan."

Larisa menepuk-nepuk pipinya sendiri dengan belakang ponselnya.

"Pengen denger suaranya tapi malu nelepon duluan. Duuh ... gimana ya?"

Larisa memanyunkan bibirnya beberapa senti ke depan. Terbiasa ditemani Reza sepanjang waktu, dia baru merasakan apa itu yang dinamakan kehilangan dan rasa rindu yang membuncah. Sebelumnya dia belum pernah merasa seperti ini.

"Oh, iya. Pake nomor cadangan aja deh, dia kan gak tahu itu nomor gue."

Larisa tersenyum lebar saat mengingat memiliki nomor lain yang biasa dia gunakan untuk menjahili teman-teman sekelasnya. Yang mengajarinya melakukan tindakan nista ini tentu saja kedua sahabat absurd-nya, dan entah setan apa yang merasuki Larisa karena dia mau-mau saja mengikuti keisengan Pretty dan Gina.

Larisa mengganti kartu pada ponselnya dengan cepat. Lalu menghubungi nomor Reza yang sudah dia hafal di luar kepala.

Larisa menunggu dengan jantung berdebar saat suara telepon tersambung merasuki gendang telinganya, namun belum ada tanda-tanda si pemilik nomor yang diteleponnya itu mengangkat panggilannya.

"Kok gak diangkat sih? Lagi sibuk apa ya?"

Larisa berdecak berulang kali, panggilannya masih belum juga diangkat oleh Reza.

"Hallo."

Larisa tersentak hingga tanpa sadar menegakkan posisi duduknya yang awalnya sedikit membungkuk ke depan. Dia meneguk ludah berulang kali. Yang terdengar menyapa telinganya adalah suara baritone Reza yang begitu dirindukannya. Suara berat dan sedikit serak pemuda itu.

"Hallo ... siapa nih?" Di seberang sana Reza kembali menyapa.

Larisa menggigit bibir bawahnya, ingin menyahut tapi ragu-ragu.

"Kalau mau isengin, lo salah orang. Gak lucu tahu gak? kalau gak mau ngomong, gak usah telepon. Tuuut ... tuut ... tuut ..."

Larisa terpaku di tempat duduknya, terkejut karena Reza yang marah-marah di telepon hingga memutuskan teleponnya begitu saja.

"Isshhh ... dia marah. Ternyata kalau sama orang lain judes juga ya Reza." Larisa terkikik sendiri, dia teringat Reza selalu bersikap ramah jika di depannya, sangat berbeda dengan respon ketusnya barusan.

Larisa masih tertawa sembari memandangi layar ponselnya, namun ... begitu ekor matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang sedang berjalan sendirian di depan mobilnya yang masih terparkir, Larisa cepat-cepat membuka kaca mobil.

"Arvaaaaan!!" teriak Larisa.

Ya, orang yang lewat ke depan mobilnya adalah Arvan. Buru-buru Larisa keluar dari mobilnya. Berlari kecil untuk menghampiri Arvan yang berhenti karena mendengar panggilan Larisa.

"Kenapa?" tanya Arvan begitu Larisa kini sudah berdiri di depannya.

"Nggak. Cuma nyapa aja. Boleh, kan?" Larisa menyahut sembari menyengir lebar.

Arvan mengernyitkan dahi sebelum tiba-tiba membalik badan, bersiap untuk pergi.

��Hei ... hei ... tunggu dong."

Namun urung karena Larisa mencekal lengannya. Arvan berdecak sebelum dia kembali menghadap pada Larisa.

"Sebenarnya ada yang mau gue omongin," kata Larisa begitu menyadari tatapan tak suka yang dilayangkan Arvan padanya, terutama pada lengan Larisa yang mencekalnya. Menyadari itu cepat-cepat Larisa melepaskan cekalannya.

"Mau ngomong apa? Cepet ya, gue lagi buru-buru."

"Kenapa emangnya? Mau manggung di club ya?"

Larisa menggigit bibir bawahnya seketika, sadar betul tak seharusnya dia bertanya seperti itu. Terlebih melihat reaksi Arvan yang kini mendelik tajam tanda tak suka urusannya dicampuri orang lain.

"Oopppss ... sorry," gumam Larisa pelan.

"Jadi, lo mau ngomong apa?"

Larisa sempat tertegun sejenak, berpikir Arvan akan menyemprotnya dengan kata-kata pedas seperti biasanya, nyatanya tidak. Pemuda itu kembali bertanya dengan nada pelan tanpa intimidasi.

"Hmm ... itu ... soal kerja kelompok biologi itu. Kapan kita mau ngerjainnya?"

"Hari minggu aja," sahut Arvan cepat tanpa berpikir dulu.

Larisa membulatkan mata.

"Gak bisa ya hari lain? Sabtu misalnya."

Larisa ingat dia ada janji dengan Pretty dan Gina yang berbaik hati bersedia menemaninya mencari hadiah untuk Reza. Sebisa mungkin dia ingin membujuk Arvan agar mengerjakan tugas kelompok di lain hari.

"Gue bisanya cuma hari minggu."

"Oh, gitu." Larisa kembali menggigit bibir bawahnya, sebuah ekspresi jika dia sedang kebingungan maupun panik. "Kalau minggu depan ngerjainnya gimana?"

"Gak bisa gitu dong, kita harus cepet-cepet nanem tanamannya. Kan kita harus merhatiin pertumbuhannya buat presentasi nanti."

"Oh, iya, ya ..." Larisa menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sebenarnya.

"Gue sama Johan udah sepakat ngerjain hari minggu. Terserah lo bisa ikut atau nggak."

"Gue pasti ikutlah, gue kan anggota kelompok kalian juga."

"Bagus kalau gitu."

Arvan berbalik badan, kembali melangkah meninggalkan Larisa yang masih kebingungan di tempat.

'Duh ... gimana nih? Padahal gue belum bilang ke Pretty sama Gina kalau gak jadi satu kelompok sama mereka. Masa gue juga harus bilang gak jadi pergi nyari hadiah buat Reza minggu besok. Mereka pasti ngamuk-ngamuk nih sama gue.'

Larisa tengah melamun sendiri, memikirkan cara untuk mengabarkan hal ini pada dua sahabatnya, dia tersentak ketika suara Arvan tiba-tiba menyapa gendang telinganya lagi.

"Nih, buat lo," kata Arvan sembari melemparkan sesuatu pada Larisa yang refleks ditangkap gadis itu.

Larisa melihat benda dalam genggaman tangannya yang ternyata sebuah kartu nama. Kartu nama band Rock Arvan lebih tepatnya. Alis Larisa terangkat satu, heran karena Arvan tiba-tiba memberikan kartu nama itu padanya.

"Di situ ada nomor hp gue. Simpan ya. Siapa tahu lo perlu ngehubungi gue."

Larisa cengo dengan mulutnya yang sedikit terbuka, terkejut luar biasa karena Arvan memberikan nomor ponselnya tanpa Larisa minta.

"Sampe ketemu besok, Laris manis."

Larisa mengerjapkan mata berulang kali, menerka-nerka mungkinkah dia salah dengar barusan.

"Kok manggil gue laris manis, emangnya gue barang jualan?!" teriak Larisa karena Arvan sudah kembali melangkah hingga jarak keduanya membentang cukup jauh.

"Itu nama lo, kan?"

"Bukan. Nama gue Larisa bukan laris manis."

"Kalau gitu anggap aja itu panggilan spesial dari gue."

Larisa menegang ketika Arvan menyunggingkan seulas senyum di akhir ucapannya. Sebuah senyuman tipis yang baru dilihat Larisa semenjak mengenal Arvan. Dan entah kenapa hanya dengan satu senyuman itu sukses membuat jantung Larisa berdentum bagai sehabis lari maraton. Ngomong-ngomong ini juga pertama kalinya Arvan menyebut nama gadis itu sejak mereka bertemu.

Jadi, takdir seperti apa yang akan menjerat dua anak manusia yang masih remaja ini?