Semua murid kelas XII IPA 3 tengah duduk di kursi masing-masing, memperhatikan seorang guru Biologi yang tengah menyampaikan materi pelajaran di depan kelas. Guru Biologi tersebut seorang wanita berusia sekitar 30 tahunan, Bu Arisa namanya.
Sudah hampir dua jam guru itu mengisi kelas dan ketika sebentar lagi waktu pergantian mata pelajaran dimulai, Bu Arisa memberikan tugas kepada muridnya.
"Ibu akan memberi kalian tugas untuk materi pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan yang baru saja kita bahas. Kalian buat kelompok terdiri dari tiga orang ya. Untuk tugasnya, kalian buat laporan hasil penelitian dan pengamatan kalian pada pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan."
"Kalian bisa menanam tumbuhan dari biji dan menggunakan pupuk, jenis tumbuhannya kalian yang menentukan. Bebas ya. Ibu memberi waktu tiga bulan untuk kalian mengamati pertumbuhannya. Nanti kalian buat makalah hasil pengamatannya dan presentasikan di depan kelas."
"Kita akan berdiskusi bersama dan melakukan sesi tanya jawab." Bu Arisa mengakhiri ucapannya sembari membereskan tumpukan buku di meja guru.
"Bu, boleh saya bertanya?"
Bu Arisa yang tengah menunduk itu seketika mendongak, menatap pada salah satu muridnya yang mengacungkan tangan bermaksud menanyakan sesuatu.
"Silakan Larisa," sahutnya pada sang murid yang ternyata adalah Larisa.
"Tanamannya harus ditanam ya, Bu? Kalau pencangkokan boleh tidak, Bu? Bukankah dari pencangkokan juga bisa diamati pertumbuhan tanamannya?"
Bu Arisa terdiam sebelum dia melemparkan senyum pada seisi kelas. "Kamu bertanya seperti ini karena khawatir tanamannya tidak tumbuh atau bagaimana, Larisa?" tanyanya.
"Iya, Bu. Karena belum tentu tanaman yang kami tanam nanti tumbuh, tergantung dari tanahnya juga, subur atau tidak kan ya, Bu?"
"Karena itu kalian harus menambahkan pupuk dan rajin menyiram tanamannya. Pastikan juga kalian menanam di tanah yang subur. Nanti kalian tanam di pot dan bawa ke sekolah saat akan presentasi melaporkan hasil pengamatan kalian."
"Oh, begitu. Baik, Bu," sahut Larisa yang sudah memahami sepenuhnya tugas dari sang guru.
"Ada lagi yang ingin ditanyakan?" Bu Arisa menatap semua muridnya dan ketika tak ada seorang pun yang mengangkat tangan atau mengeluarkan suara, Bu Arisa kembali melanjutkan membereskan buku-bukunya.
Bu Arisa melenggang meninggalkan kelas setelah berpamitan pada para murid, mengatakan mereka akan bertemu kembali di mata pelajaran Biologi lain hari yang dibalas seruan serempak dari para murid.
"Guys, mau ngerjain tugas kelompoknya dimana nih?" tanya Pretty yang tiba-tiba membalik badan ke arah belakang, bertanya pada Larisa dan Gina yang duduk di belakangnya. Tak perlu bertanya lagi, mereka bertiga sudah pasti menjadi satu kelompok setiap kali tugas kelompok diberikan guru dalam mata pelajaran apa pun. Terkecuali jika sang guru sendiri yang menentukan anggota kelompok, jika tidak ditentukan guru alias bebas menentukan anggota kelompak masing-masing, ketiga sahabat baik ini sudah pasti akan sekelompok secara otomatis.
"Rumah gue aja, nanti gue terawang deh tanah mana yang subur supaya tanamannya tumbuh."
Larisa dan Pretty serempak memutar bola mata bosan, kumat lagi sifat sok dukun sahabat mereka yang satu itu.
"Ogah ah, serem ngerjain tugas di rumah you. Secara banyak jimat-jimat aneh ngegantung. Masa di depan tiap pintu ada bawang putih yang digantung, baulah jadinya seisi rumah," sahut Pretty sembari memainkan kuku-kukunya yang terawat karena rajin dia bersihkan.
Gina mendengus kasar, "Itu namanya penjagaan, Pret, bukan jimat. Tiap rumah itu pasti ada penghuninya. Nah, buat mencegah supaya gak ada hantu yang masuk ke dalam rumah, harus digantungin benda-benda yang mereka benci salah satunya bawang putih."
"Keluarga you tuh parnoan. Dimana-mana yang namanya setan takutnya sama bacaan kitab suci, harusnya yang ditempelin itu lantunan ayat suci bukannya bawang putih, garam atau jimat-jimat aneh."
Gina yang tak terima keluarganya dibilang parnoan oleh Pretty, spontan memukul kening pria kemayu itu. "Heeh ... cecurut sawah, diem lo. Sembarangan ngatain keluarga gue parnoan. Nggaklah, keluarga gue itu taat beribadah. Gak ada salahnya kali mengantisipasi."
Pretty balas menyentil jidat lebar Gina, "Ya udah, bukan parnoan tapi sok dukun," balas Pretty, tawa lantangnya seketika menggelegar di dalam kelas. Tak peduli meski dirinya menjadi sumber perhatian seisi kelas. Penghuni kelas XII IPA 3 sudah terbiasa dengan suara petasan Pretty, jadi ya semua sudah memaklumi dan tak ada yang berkomentar. Memilih kembali menyibukan diri masing-masing daripada repot-repot berkomentar yang hasilnya membuat mereka akan menjadi korban mulut pedas Pretty yang berisiknya ngalahin ledakan petasan.
Larisa tak mengatakan apa pun, tak mempedulikan kedua sahabatnya yang terus berselisih. Dia tengah menundukan kepala menatap buku tulisnya sembari menopang dagu dengan satu tangan. Raut wajahnya terlihat malas dan berulang kali menghela napas pelan.
Dirinya menoleh ke arah belakang, pada deretan kursi paling belakang. Sosok Arvan terlihat sedang berbincang dengan teman sebangkunya, Johan. Ya, pemuda itulah salah satu penyebab Larisa kehilangan semangatnya belakangan ini.
Sudah lima hari berlalu sejak pertengkaran mereka di depan kantin kala itu. Dan sejak itu Larisa menuruti nasehat kedua sahabatnya. Dia benar-benar berhenti mengganggu Arvan. Tak pernah berusaha meluluhkan hati pemuda itu lagi agar mau menjadi temannya. Larisa sudah menyerah dan berpura-pura sosok Arvan tak pernah ada dalam hidupnya. Bahkan saat tanpa sengaja berpapasan pun, Larisa selalu mengabaikan pemuda itu. Seolah mereka tak saling mengenal.
Awalnya Larisa merasa lebih tenang, kehidupannya terasa normal seperti sedia kala. Ya, meski masalah hubungannya yang merenggang dengan sang kekasih alias Reza belum kembali pulih. Setidaknya Larisa jauh lebih menikmati hidupnya seperti dulu.
Namun, setiap kali dirinya berada di kelas dan bertatap muka dengan Arvan, rasa kesal itu kembali muncul ke permukaan. Larisa sendiri tidak sadar sejak kapan keberadaan pemuda itu mempengaruhi suasana hatinya. Tak dipungkiri jauh di dasar hatinya dia masih berkeinginan meluluhkan pemuda itu. Hanya menjadikannya teman, menurut Larisa ini bukan suatu kesalahan.
Larisa masih menatap ke arah bangku Arvan, dan ketika pemuda itu tiba-tiba menoleh, membuat tatapan mereka saling bertemu seketika Larisa membuang muka. Terkejut luar biasa saat mendapati Gina dan Pretty tengah menatap dirinya dengan mata yang memicing penuh curiga.
"Kebiasaan deh lihatin si Arvan terus. Kenapa sih, Cha? Masih kesemsem pengen naklukin tuh cowok?" celetuk Gina membuat Larisa semakin salah tingkah di kursinya.
"Si belut rawa itu gak usah dipeduliin. Bagus you gak deketin dia lagi. Tenang kan hidup you sekarang, gak usah lagi dengerin mulut bon cabe tuh belut rawa." Pretty ikut menimpali.
Larisa mengangguk setuju, berusaha menepis jauh-jauh pikirannya tentang Arvan. Dia pun menyengir lebar memandang kedua sahabatnya.
"Jadi apaan yang kalian bahas tadi?" tanyanya.
"Huuh ... makanya jangan ngelamun terus. Kita berdua udah ngomong ampe mulut berbusa nih, lo baru mudeng," sembur Gina dan Larisa hanya terkekeh.
Suara obrolan dan tawa ketiga remaja itu kembali mengudara, tanpa mereka sadari sepasang mata tajam tengah memperhatikan mereka dari kursi belakang. Dan sumber atensinya adalah Larisa.