Sama halnya dengan siswa lain yang akan pergi ke kantin begitu waktu istirahat tiba, Larisa dan kedua sahabatnya pun demikian. Mereka sedang berada di kantin sekarang. Menempati meja yang memang sudah menjadi tempat favorit mereka.
Tidak ada keheningan di dalam kantin. Suara bergemuruh dari para siswa yang sibuk mengobrol sembari menyantap makanan mereka seolah menjadi musik pengiring yang akan terdengar begitu masuk ke area kantin ini.
Hal serupa terjadi pula pada meja yang ditempati Larisa. Kedua sahabatnya tak berhenti berselisih layaknya tikus dan kucing. Meributkan sesuatu hal yang sepele bahkan makanan pun bisa jadi sumber pertengkaran mereka.
Jika kedua sahabatnya sedang bertengkar sekarang, berbeda dengan Larisa yang hanya diam membisu sejak dirinya masuk ke kantin. Sepiring mie ayam yang dipesannya masih utuh, belum tersentuh sedikit pun. Dia duduk dengan dagu yang bersandar pada satu tangannya, tatapannya menerawang kosong. Dilihat dari sudut mana pun gadis itu kentara sedang melamunkan sesuatu.
"Lo punya makanan sendiri, Pretty. Ngapain lo ngambil makanan punya gue? Dasar cowok jadi-jadian," umpat Gina, kesal bukan main karena bakso miliknya yang sengaja dia pisahkan untuk dimakan terakhir nanti justru dengan kurang ajarnya diambil Pretty, tanpa izin dan tanpa permisi. Tanpa merasa bersalah juga, cowok melambai itu memasukan bakso milik Gina ke dalam mulutnya.
"Pelit amat sama temen sendiri. Nih, ambil pempek punya ane kalau you mau Gin-gin," balas Pretty.
"Ogah, gue gak doyan pempek, apalagi punya lo."
Pretty nyengir, tak menyesal sedikit pun sudah mencuri bakso milik sahabatnya. Pandangannya beralih pada mie ayam milik Larisa. Hal serupa dilakukan pemuda itu, dia mengambil begitu saja pangsit kering yang ada di mangkuk mie ayam milik Larisa, memasukan pangsit itu ke dalam mulutnya tanpa permisi.
"Issshh ... gila ya lo, Pret. Udah bakso gue sekarang pangsit punya Icha, lo embat juga."
"Kok jadi you yang sewot sih, Gin? Orang si Icha aja biasa aja tuh," kata Pretty seraya menunjuk ke arah Larisa dengan jari-jari lentiknya.
Gina menoleh ke arah Larisa, mengamati wajah tak bersemangat Larisa sebelum dia menggelengkan kepalanya frustasi.
"Woi, melamun aja deh kerjaannya," ucap Gina kencang, dia menepuk tangan Larisa cukup kencang dengan kipas lipat yang selalu dia bawa kemana-mana, terutama saat ke kantin yang memang cukup panas karena tak ada AC di sana.
"Apaan sih, Gin. Ngagetin aja."
Larisa memberengut, merasa terganggu karena lamunannya buyar gara-gara ulah sahabat absurd-nya.
"Lagian ngelamun terus sih. Hati-hati lo jangan banyak melamun, gak tahu apa di kantin ini banyak hantu penunggunya."
Larisa memutar bola matanya malas, lagi-lagi sahabatnya yang sok cenayang itu mulai berpidato tentang dunia gaib. Larisa benar-benar lelah mendengarnya. Terutama sekarang, dia benar-benar tidak ingin mendengar lelucon receh sahabatnya itu.
"You ngelamunin apa sih? Cerita dong sama kita-kita." Pretty ikut menimpali, tangannya kembali mencomot pangsit kering milik Larisa. Lantas meringis ketika kipas lipat milik Gina meluncur mulus di punggung tangannya.
"Dasar pencuri gak tahu diri," umpat Gina pada Pretty yang sedang mengusap-usap punggung tangannya.
"Bilang aja sirik. Sirik tanda tak mampu."
"Haah? Ngapain sirik? Isshhh ... gue bukan pencuri kayak lo ya," sahut Gina dengan memaksimalkan volume suaranya.
"Eh, itu mulut apa toa, tolong dijaga ya. Ini kantin bukan lapangan yang harus pake toa kalau mau suara you kedengeran," balas Pretty, tak mau kalah. Dan untuk kesekian kalinya Larisa hanya bisa memutar bola matanya bosan melihat perdebatan dua sahabat anehnya.
"Udah dong kalian berdua, bisa gak sih sehari aja nggak ribut?" Ucap Larisa jutek, sebelum dia tiba-tiba berdiri dari kursinya.
"Eh, lo mau kemana Icha?" Tanya Gina heboh sekaligus panik melihat Larisa yang tiba-tiba pergi dengan raut wajah masamnya.
"Gue lagi gak berselera makan. Mau balik ke kelas aja," jawab Larisa lesu.
"Mie ayam you ini gimana? Belum you makan lho."
"Buat lo aja kalau mau."
"Yuhuuu ... pamali, rezeki gak boleh ditolak."
Mangkuk mie ayam milik Larisa pun dalam sekejap berpindah tangan ke hadapan Pretty.
"Dasar lo kayak gembel yang gak makan seminggu," ejek Gina, namun tak digubris Pretty, pemuda itu menyantap mie ayam dengan lahapnya, mengabaikan Larisa yang benar-benar menghilang di balik pintu kantin.
Larisa berjalan dengan lesu sendirian. Kakinya sesekali menendang kerikil kecil yang dilaluinya.
"Huuh ... gara-gara si Arvan yang nolak roti gue tadi pagi, gue jadi gak semangat gini. Emang nyebelin itu cowok, sok jual mahal. Pake acara bilang pindah ke sini buat belajar bukan buat nyari temen. Hello ... emang dia pikir, dia siapa. Bisa gitu dia hidup sendirian? Gak mungkinlah, tiap orang pasti butuh temen. Dasar cowok kuper," gerutunya tiada henti, tak peduli meskipun Arvan yang menjadi penyebab dia tak bersemangat itu tak mungkin mendengarnya.
Niat awal Larisa ingin kembali ke kelasnya, namun saat dirinya melewati perpustakaan sekolah, langkahnya pun terhenti. Dia pandangi perpustakaan itu sejenak.
"Gue ke perpus aja deh. Sekalian nanya-nanya soal novel baru ke Rara."
Setelah mengambil keputusan itu, dia pun masuk ke dalam perpustakaan. Dia berjalan cepat menghampiri Rara, gadis kelas XII yang menjadi petugas penjaga perpustakaan saat jam istirahat maupun pulang sekolah. Mereka cukup dekat karena hobby mereka sama yaitu baca novel dan komik.
"Hei, Ra," sapa Larisa, setelah dia mendudukan dirinya di kursi tanpa meminta izin pada Rara.
"Eh, Icha, udah lama lo gak ke perpus?" Tanya Rara, memang dulu hampir tiap hari Larisa mampir ke perpustakaan hanya sekadar mengobrol seputar cerita novel dengan Rara, namun semenjak mereka naik ke kelas XII, Larisa tak pernah lagi datang ke perpustakaan,
"Iya nih, baru sempet ke sini," jawab Larisa seraya terkekeh.
"Eh, Ra, masih suka baca novel, kan?" tambahnya, Rara mengangguk penuh semangat.
"Suka dong pastinya. Lo udah baca belum cerita baru author yang nama akunnya Dewarman atau nama penanya Ellakor?" Tanya Rara heboh, Larisa menggelengkan kepalanya.
"Belum tuh, terakhir karya dia yang gue baca yang tentang cowok SMA yang temenan sama hantu itu, Best Friend ya judulnya kalau gak salah inget?"
"Iya, iya bener. Gue juga baca cerita dia yang itu."
"Terus cerita baru dia yang lagi lo baca apa judulnya?" Tanya Larisa, mulai penasaran.
"Itu yang tentang siluman rubah putih. Apa ya judulnya gue lupa?" Kata Rara, memasang pose sedang berpikir keras untuk mengingat judul novel yang sedang dia baca.
"Oh, cerita tentang siluman ya, gue kurang minat. Pasti cowoknya aneh," timpal Icha.
"Eh, siapa bilang? Cowoknya keren tahu. Ganteng, cool, bengis lagi hobby-nya bunuh sesama siluman."
"Ooh, tipe-tipe tokoh cowok favorit gue berarti," sahut Larisa, dia mendesah lelah saat pembahasan mereka ini justru mengingatkannya pada Arvan.
"Cha, bentar ya, gue angkat telepon dulu."
Larisa tersenyum, dia anggukan kepalanya begitu mendengar Rara meminta izin untuk mengangkat ponselnya yang bergetar hebat karena ada telepon masuk.
Sambil menunggu Rara bertelepon ria, Larisa menggulirkan matanya menatap seisi perpustakaan yang cukup sepi. Hanya ada beberapa siswa yang terlihat fokus dengan bacaan masing-masing. Hingga ekor mata Larisa tanpa sengaja melihat ke bagian paling pojok perpustakaan, dimana di sana sosok cowok yang menolak rotinya tadi pagi tengah asyik berdiri dengan sebuah buku di tangannya.