Larisa menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, berusaha mengimbangi laju sepeda Arvan yang membimbingnya di depan. Padahal Larisa sudah menawarkan pada pemuda itu untuk menumpang di mobilnya sedangkan sepedanya bisa diikat di belakang mobil. Namun, pemuda itu menolaknya mentah-mentah. Beralasan mengendarai sepeda bagi dia merupakan salah satu upaya agar dirinya selalu sehat. OK, selain sebagai kendaraan rupanya bagi Arvan sepeda miliknya juga dia jadikan alat untuk berolahraga.
Larisa tak mendebat lagi, memilih mengalah dan membiarkan Arvan mengendarai sepeda sesuka hatinya.
Larisa mengernyit ketika melihat Arvan menghentikan sepeda seraya memberi isyarat dengan tangannya agar Larisa memarkirkan mobilnya tepat di sebelah sepeda Arvan. Larisa kembali menurut.
Larisa turun dari mobil setelah memarkir mobilnya dengan sempurna, menghampiri Arvan yang berdiri di samping sepedanya.
"Kok kita berenti di sini?"
Arvan tak menjawab, pria itu mengendik ke arah samping kiri dengan dagunya. Saat Larisa ikuti arah yang ditunjuk Arvan melalui isyarat itu, sebuah toko bunga lah yang dia lihat.
"Kita harus beli bibit tanaman yang mau kita tanam nanti. Di toko itu banyak pilihannya."
Larisa tak memprotes apa pun, dia mengekori Arvan ketika pemuda itu melangkah memasuki toko.
Dan saat mereka tiba di depan toko, Larisa melebarkan mata takjub. Begitu banyak jenis bunga dijual di sana. Bunga-bunga yang bermekaran dengan indah. Larisa terpukau sekarang, terlebih aroma wangi yang tertangkap indera penciumannya, sukses membuatnya terbuai dalam kenyamanan.
"Lo mau kita nanem bunga apa?" tanya Arvan. "Atau mau nanem buah? Toko ini juga jual bibit buah kok."
"Kita nanem bunga aja lagi. Gue lebih suka bunga daripada buah soalnya."
Dengusan itu meluncur dari mulut Arvan begitu mendengar jawaban sang gadis. "Bukan masalah lo lebih suka bunga dibanding buah. Tapi yang harus dipikirin itu tanaman mana yang kira-kira bakalan cepet tumbuh."
"Lah, emangnya kita bisa tahu tanaman mana yang tumbuhnya lebih cepet?" Larisa tak tinggal diam, dia sedikit tersinggung dengan penolakan Arvan atas pendapatnya tadi.
"Makanya itu kita diberi tugas ini sama Bu Arisa, buat meneliti perkembangan tumbuhan yang kita tanem, kan? Pasti perkembangan mereka beda-beda."
"Ya udah, lo aja deh yang pilih kita mau nanem apa."
Larisa membuang muka, memilih mengalah karena dia tahu tak akan menang jika berdebat dengan Arvan. Pemuda itu terlalu keras kepala dan Larisa malas menanggapi. Dia ingin acara tanam menanam ini cepat selesai agar dia bisa cepat pergi ke Mall untuk bertemu Pretty dan Gina.
"OK, kita nanem bunga lagi aja."
Larisa kembali menoleh dengan kening mengernyit. "Gak apa-apa kok kalau lo maunya nanem buah. Gue sih terserah lo."
"Lo mau nanem bunga apa?"
Larisa tercenung, pemuda di depannya itu sungguh aneh. Tadi Larisa sudah memberikan pendapatnya bahwa dia lebih suka menanam bunga, Arvan menyela seolah tak menyukai idenya. Dan kini, di saat Larisa memasrahkan semuanya pada pilihan pemuda itu, justru dirinya disuruh memilih.
Larisa menggelengkan kepala, tak habis pikir.
"Woi ... cepetan pilih mau nanem bunga apa?"
Larisa memutar bola matanya, malas. Arvan dengan kekeraskepalaan dan tak sabarannya menjadi paket komplit definisi orang yang menyebalkan.
"OK. Gue yang pilih. Tapi awas kalau protes lagi," ancam Larisa, tak ingin kejadian tadi terulang lagi.
Larisa pun mengedarkan pandangan untuk menelisik berbagai jenis bunga yang terpajang di depannya. Bunga-bunga itu indah membuat Larisa kebingungan harus memilih yang mana.
Hingga tiba-tiba ekor matanya menangkap bunga berwarna kuning terang, bunga matahari yang seketika membuatnya teringat pada Reza. Bunga yang selalu diberikan sang kekasih untuknya, bahkan saat menyatakan cinta dan mengajaknya berpacaran pun, Reza memberikan bunga matahari alih-alih memberinya bunga mawar yang terkesan lebih romantis.
"Bunga matahari yang selalu menghadap ke arah matahari juga melambangkan ketulusan dan kesetiaan."
"Alasan aku milih ngasih bunga matahari ke kamu karena dua hal itu yang aku tawarkan waktu nembak kamu, ketulusan sama kesetiaan aku."
Larisa tertegun saat mengingat jawaban Reza saat dirinya bertanya alasan sang pacar selalu memberikan bunga matahari untuknya.
"Oi, malah ngelamun."
Arvan menepuk punggung Larisa cukup kencang sembari bicara dengan nada cukup kencang tepat di depan telinga gadis itu.
Larisa tersentak hingga nyaris melompat dari tanah yang dia pijak, dia mendelik tajam pada si pelaku yang membuatnya terkejut setengah mati sekaligus membuyarkan lamunan Larisa tentang pacarnya.
"Ngagetin aja lo. Untung gue gak jantungan"
"Cepet pilih mau bunga yang mana, susah amat sih."
Larisa mendesis jengkel, baru tahu bahwa Arvan begitu tidak sabaran. Kembali Larisa menggulirkan bola mata pada deretan bunga yang terhampar indah di depan mata. Dan katika tatapannya tertuju pada bunga krisan, Larisa merasa tertarik.
"Bunga itu aja," katanya sembari menunjuk bunga krisan dengan jari telunjuk.
"Bunga Krisan ya?"
Larisa mengiyakan dengan anggukan. Dia diam memperhatikan ketika tangan Arvan mengambil empat ikat bunga krisan berbeda warna.
"Ada empat warna di sini. Lo mau yang warna apa?" tanya Arvan, membuat Larisa mendengus geli.
"Yang mana aja boleh. Keempatnya bagus kok. Gue suka," sahut Larisa, tak ingin ambil pusing.
Saat helaan napas panjang Arvan terdengar, atensi Larisa kembali tertuju pada sang pemuda yang masih memegangi empat ikat bunga krisan berbeda warna tersebut.
"Gak bisa gitu dong. Bunga-bunga ini walau sejenis tapi maknanya beda."
Satu alis Larisa terangkat naik.
"Krisan putih ini melambangkan kejujuran dan kesetiaan."
Larisa tercengang, mendengar Arvan mulai menjelaskan satu demi satu makna dari bunga-bunga tersebut. Dia tak menyangka pemuda dingin itu ternyata banyak mengetahui tentang filosofi bunga.
"Krisan Merah melambangkan cinta dan gairah yang mendalam terhadap lawan jenis."
Larisa ber-oh pendek, tak menyela sedikit pun. Membiarkan Arvan yang biasanya irit bicara kini bicara panjang lebar di depannya. Diam-diam gadis itu mengulum senyum. Hari ini sisi lain seorang Arvan yang pendiam dan dingin baru dia ketahui.
"Krisan Kuning bermakna kegembiraan, keceriaan dan optimisme. Dan Krisan Ungu berarti semangat yang kuat. Mana yang mau lo pilih?" Arvan menyudahi penjelasannya. Menatap Larisa tak sabar agar si gadis cepat memberikan pilihannya.
"Woow ... gue kaget lo tahu banyak tentang bunga ya. Manis banget. Gue gak nyangka loh cowok dingin sama galak kayak lo ternyata romantis juga. Soalnya menurut gue, cowok yang tahu banyak soal bunga itu romantis banget."
Arvan memasang wajah datar, namun jika diperhatikan baik-baik dirinya sempat menegang untuk sepersekian detik.
"Bawel. Cepet mau pilih yang mana?" tanya Arvan sembari membuang muka ke arah lain.
Larisa terkikik geli, dia tahu Arvan sedang malu. Sebenarnya ingin menggoda pemuda itu lebih jauh, namun mengingat mereka tak memiliki banyak waktu, Larisa pun memfokuskan atensinya pada keempat bunga yang masih berada di tangan Arvan.
"Kalau gue boleh jujur, gue lebih suka Krisan merah. Maknanya manis banget. Romantis lagi. Haah ... coba pacar gue ngasih bunga krisan merah ini ya. Seneng banget gue."
Arvan kembali memalingkan wajahnya, kini tatapannya lekat tertuju pada Larisa yang sedang tersenyum seraya memandangi bunga-bunga di tangan Arvan.
"Tapi, kalau disuruh milih bunga mana yang mau kita jadiin bahan penelitian, kayaknya krisan kuning aja deh."
Larisa berujar girang, jari lentiknya mengusap kelopak bunga krisan kuning yang tampak bersinar terang.
"Jadi pilihan lo krisan kuning?"
Larisa mengangguk antusias.
"Kenapa?" tanya Arvan lagi.
"Hmm ... mungkin karena maknanya sama kayak kepribadian gue."
Saat dilihatnya alis Arvan mengernyit hingga nyaris menyatu, Larisa terkekeh pelan. Menyadari pemuda itu tak memahami maksud ucapannya. "Ada orang yang bilang gue ini periang, ceria orangnya. Sama persis kan kayak makna bunga krisan kuning ini?"
Arvan mendengus, "Kepedean banget lo."
"Serius loh, ada yang bilang gitu."
"Siapa?"
Larisa nyaris menyebut nama Reza, namun urung karena menurutnya tak ada gunanya juga dia memberitahu Arvan. Toh, pemuda itu juga tak mengenal Reza.
"Rahasia. Yang pasti ada orang yang pernah bilang gitu sama gue."
Arvan menggeleng tak percaya. Ketika dia tiba-tiba mengembalikan keempat ikat bunga itu di tempatnya semula, Larisa hanya diam memperhatikan.
"Pak Maman," panggil Arvan pada seorang pria paruh baya yang merupakan pemilik toko tersebut.
"Tolong dibungkus dua bibit krisan putih ya."
"Siap, Van. Mau nanem bunga lagi? Bukannya tadi pagi udah beli bibit bunga juga ya?"
"Iya, Pak. Mau nanem lagi buat cadangan takut bunga yang tadi gak tumbuh."
Pak Maman mengangguk, dia dengan cekatan membungkus bibit bunga krisan putih seperti permintaan Arvan.
"Hei ... apaan sih? Kok malah beli bibit krisan putih?" bisik Larisa sembari menarik kaos Arvan agar pemuda itu menunduk.
"Menurut gue yang putih lebih bagus."
"Terus ngapain lo nyuruh gue yang milih tadi?"
Arvan hanya mengangkat bahu, dan reaksi ambigu pemuda itu sukses membuat Larisa geram.
"Dasar cowok aneh, nyebelin."
Setelah puas mengumpat, Larisa pun mengambil langkah seribu. Memilih kembali ke mobilnya daripada bertahan berdiri di samping pemuda yang selalu berhasil membuat mood-nya berantakan.