Hal pertama yang mereka lakukan setibanya di pekarangan rumah Arvan adalah menanam bibit bunga yang sudah mereka beli. Larisa ikut membantu kali ini, tak membiarkan Arvan yang menanamnya sendirian.
Arvan yang menggali tanah sedangkan Larisa yang meletakan bibit bunga serta pupuknya. Setelah bibit bunga dan pupuk itu tertanam sempurna, Arvan menyiramnya dengan air.
"Akhirnya selesai juga. Tinggal kita awasi deh tiap hari."
Larisa yang pegal karena terlalu lama berjongkok itu pun lekas berdiri, merentangkan kedua tangannya ke udara untuk meregangkan otot-otot tubuhnya.
Setelahnya, Larisa mengedarkan matanya ke sekeliling. Pekarangan rumah Arvan sempit, hanya beberapa petak tanah. Jika dibandingkan dengan taman belakang rumah Larisa tentunya perbedaannya bagai langit dan bumi.
Ketika tatapan Larisa tertuju pada rumah bernuansa putih, hanya terdiri dari satu lantai dan sepertinya sudah cukup tua, dirinya terenyak menemukan seorang wanita paruh baya tengah berdiri di depan pintu. Mengawasi mereka entah sejak kapan.
"Van, itu siapa?" tanya Larisa, menunjuk pada sang wanita.
Arvan menoleh, menatap arah yang ditunjuk jari telunjuk Larisa. "Nyokap gue," jawab Arvan. "Di rumah ini gue cuma tinggal berdua sama nyokap."
Larisa refleks menatap pada Arvan yang masih berjongkok di depan tanah yang baru saja mereka tanami bibit krisan putih.
"Bokap lo?" tanya Larisa, meski sebenarnya dia enggan bertanya karena takut menyinggung. Namun, rasa penasarannya yang kelewat tinggi akhirnya pertanyaan itu meluncur dengan sendirinya.
"Udah beres kan nanemnya? Lo udah boleh pulang."
Larisa terbelalak. Bukannya menjawab, pemuda itu justru mengusirnya.
"Lo ngusir gue?"
"Terserah lo mau nganggapnya apa, yang jelas lo udah gak ada urusan di sini."
Larisa kesal bukan main, tanpa sadar dia menghentakan kakinya ke tanah sebelum melangkah cepat hendak menuju mobilnya yang terparkir di depan pagar kayu rumah Arvan.
Jika saja suara ibu Arvan tak tertangkap indera pendengarannya, pasti sekarang Larisa sudah melesat pergi.
Gadis itu urung masuk ke dalam mobil, kembali menoleh pada ibu Arvan yang berjalan perlahan menghampiri dirinya.
"Kenapa buru-buru? Ayo masuk dulu ke dalam. Minum dulu. Kamu temennya Arvan, kan?"
Larisa tertegun, dia melirik ke arah Arvan yang masih belum berpindah dari tempatnya berjongkok.
"Van, suruh temen kamu mampir ke dalam dulu. Mama udah bikin pisang goreng loh."
"Gak usah, Tante. Makasih banyak," tolak Larisa dengan sopan.
"Gak apa-apa, Nak. Ayo masuk."
Larisa tak bisa menolak saat wanita ramah yang ternyata ibu Arvan itu memegang tangannya. Membawa Larisa berjalan bersama menuju ke dalam rumah. Larisa kembali melirik ke arah Arvan, tak melihat reaksi penolakan dari Arvan, pemuda itu ikut melangkah masuk ke dalam rumah.
"Ayo duduk. Jangan malu-malu."
Ibu Arvan menyuguhkan sepiring pisang goreng yang masih mengepulkan asap putih. Larisa tersenyum kecil, semakin tak enak hati untuk menolak. Akhirnya dia pun menurut. Mendudukan dirinya di sofa berwarna pink yang tampak usang dan tua. Bahkan ada yang berlubang di beberapa bagian.
"Oh iya, minumnya lupa. Kamu mau minum apa, Nak?"
Larisa mengerjap, tatapannya yang sempat menelisik seisi ruangan yang sempit itu kini teralihkan.
"Gak usah, Tante. Ngerepotin," sahutnya, masih sesopan tadi.
"Teh manis anget mau ya? Cuma ada teh sama air putih."
"Kalau gitu air putih aja, Tante," sela Larisa cepat. Untuk kesekian kalinya merasa sungkan untuk menolak.
"Van, ambilin air putih buat temen kamu."
Larisa melirik pada Arvan yang berdiri mematung di dekat pintu, gadis itu benar-benar merasa tak enak hati sekarang.
"Iya, Ma."
Dan Larisa benar-benar terkejut karena Arvan yang dikenalnya galak dan judes itu, begitu mematuhi perintah ibunya. Sepertinya Arvan tak seburuk yang Larisa kira.
"Nama kamu siapa?"
Larisa tersentak, lagi-lagi dirinya yang sedang melamun harus dikagetkan oleh lawan bicara yang secara mendadak melontarkan tanya.
"Larisa, Tante. Panggil aja Icha," sahutnya seraya mengulas senyum.
Ibu Arvan sangat ramah, terlihat jelas dari senyumannya yang terulas untuk Larisa. Parasnya pun cantik. Meski sudah berumur, gurat-gurat kecantikan dan keanggunan itu masih belum pudar.
"Ini pertama kalinya Arvan ngajak temannya ke rumah. Kamu kayaknya istimewa ya buat Arvan? Kalian benar cuma teman?"
Larisa terbelalak, tiba-tiba dia gugup dan panik secara bersamaan.
"Nggak kok, Tante. Kami cuma temen sekelas. Saya datang ke sini untuk mengerjakan tugas kelompok."
Ibu Arvan ber-oh panjang.
"Tante kirain kalian pacaran."
Larisa menggeleng sembari terkekeh. Dan senyuman di bibirnya pudar tatkala melihat raut sendu yang tiba-tiba tercetak di wajah lelah ibu Arvan.
"Arvan itu anaknya pendiem. Susah bergaul. Temannya bisa dihitung jari di sekolah lamanya. Tapi ... sebenarnya dia anak yang baik, cerdas dan sangat menyayangi keluarga."
Larisa terdiam, mendengarkan ucapan ibu Arvan yang seolah sedang mencurahkan isi hatinya mengenai sang putra.
"Tante seneng kamu mau jadi teman Arvan."
Tangan Larisa yang tengah saling bertaut tiba-tiba digenggam ibu Arvan, karena pada dasarnya mereka duduk bersebelahan.
"Arvan bukan tipe anak yang terbuka dan mau asal berteman. Jadi, waktu tante lihat dia ajak kamu ke rumah, tante tahu kamu spesial buat dia."
Larisa seketika melebarkan mata.
"Tante harap kamu terus temenin Arvan ya. Kasihan anak itu."
Larisa tak paham apa makna yang tersirat dari kalimat terakhir ibu Arvan. Dia pun tak bisa bertanya karena sosok Arvan yang kini muncul sambil membawa nampan berisi air putih dan kue kering dalam toples.
"Ini diminum," katanya saat meletakan segelas air di hadapan Larisa.
Larisa mengangguk, sempat memakukan pandangannya pada Arvan sebelum dirinya mulai mencicipi sajian yang dihidangkan.
"Pisang goreng ini enak," katanya jujur. Dia tidak bohong, pisang goreng buatan ibu Arvan memang krispi saat digigit. Rasanya pun pas dilidah Larisa.
"Syukur kalau Icha suka."
Larisa dan ibu Arvan saling melempar senyum seolah mereka sudah akrab. Dan interaksi dua orang itu tertangkap jelas mata Arvan.
"Ma, aku ke kamar dulu."
"Mau ngapain ke kamar? Tidur?"
Arvan yang sudah melangkah itu pun kembali berhenti. "Nggak kok, Ma. Cuma istirahat aja."
"Ada temen kok ditinggal sih, Van. Gak boleh gitu."
Larisa meringis, dia jadi merasa bersalah pada Arvan. Padahal mungkin pemuda itu memang sudah kelelahan mengingat dia terus mengayuh sepeda. Padahal jarak rumah ini dan rumah Larisa cukup jauh.
"Daripada tidur, mendingan kamu ajak Icha jalan-jalan."
"Gak usah, Tante," tolak Larisa cepat.
"Di dekat sini ada taman, bagus deh pemandangannya. Icha harus lihat."
Ibu Arvan kembali menatap sang putra.
"Ayo Van, diajak jalan-jalan Icha-nya. Mumpung lagi main di rumah, kapan lagi coba Icha main ke sini?"
Arvan dan Larisa saling berpandangan untuk beberapa detik lamanya. Hingga orang yang pertama memutus kontak mata di antara mereka adalah Arvan.
Pemuda itu berjalan tanpa kata menuju pintu keluar.
"Icha, sana jalan-jalan sama Arvan. Serius tamannya bagus. Tante aja senang duduk di sana. Rasanya damai, adem banget."
"Tapi kasihan Arvan, mungkin dia ingin istirahat. Pasti dia capek."
Ibu Arvan berdecak, "Nggak apa-apa, dia anak laki kok. Lagian tante tuh seneng banget Arvan ngajak temennya ke rumah. Ini pertama kali, Cha. Sebelumnya dia gak pernah ngajak temennya ke rumah. Beneran, tante gak bohong."
Larisa tak bisa menolak saat ibu Arvan menarik tangannya untuk bangun dari sofa.
"Oh iya, sekalian juga bawa pisang gorengnya buat cemilan di sana."
Larisa semakin salah tingkah sekarang, terutama saat dilihatnya ibu Arvan begitu semangat memasukan pisang goreng ke dalam wadah plastik.
"Ini pisang gorengnya. Habiskan ya. Makan berdua sama Arvan."
Larisa menggigit bibir bawahnya ketika ibu Arvan mendorong punggungnya pelan.
Dengan enggan dan diliputi rasa bersalah dia berjalan menghampiri Arvan yang sedang duduk di atas sepedanya.
Bibir Larisa manyun ke depan beberapa senti, wajah Arvan begitu datar dan tanpa ekspresi hingga Larisa sulit menerka suasana hati pemuda itu saat ini.
Tanpa kata Larisa melangkah menuju pagar, mobilnya menjadi tujuan. Seperti halnya tadi, dia akan mengikuti Arvan dari belakang. Itulah yang direncanakan Larisa.
"Mau ke mana?"
Larisa spontan menghentikan langkah, menoleh pada Arvan yang tiba-tiba melontarkan tanya.
"Ke mobil gue."
"Jalannya sempit. Cuma gang kecil, mobil lo gak bakalan masuk."
Larisa melongo, semakin dibuat salah tingkah.
"Ya udah, gue jalan kaki aja kalau gitu."
Larisa kembali melanjutkan langkah, lantas terkesiap dikala Arvan mengayuh sepedanya dan berhenti untuk menghadang jalan Larisa.
"Ayo naik," ajak Arvan sembari menunjuk dengan lirikan mata pada jok besi di bagian belakang sepedanya.
"M-Maksudnya naik sepeda lo?"
Arvan mengangguk, "Tamannya jauh. Matahari juga lagi terik gini. Kita naik sepeda aja supaya cepet nyampe."
Sungguh Larisa ingin menolak, namun ... saat dirinya menoleh ke belakang dan mendapati ibu Arvan mengangguk antusias padanya, memberikan isyarat agar tidak menolak ajakan Arvan. Larisa pun tak bisa menolak lagi.
Hingga dengan perlahan dan hati-hati dirinya mendudukan diri di jok belakang sepeda Arvan yang terbuat dari besi tersebut. Larisa refleks memeluk pinggang Arvan saat pemuda itu melajukan sepedanya kencang tanpa aba-aba.
Kedua remaja itu pun melesat pergi dengan sepeda, meninggalkan wanita paruh baya yang kini tersenyum lebar karena bahagia melihat sang putra yang terlalu banyak memendam luka, akhirnya menemukan seseorang yang bisa mengembalikan senyumannya yang sempat hilang.