Suasana kelas XII IPA 3 bergemuruh dengan suara para siswanya yang tengah terlibat obrolan dengan teman mereka masing-masing. Ada yang bergerombol membentuk kelompok, ada yang hanya mengobrol dengan teman sebangku bahkan ada pula yang memilih menyendiri dengan menyibukan diri membaca buku atau bermain ponsel.
Kelas memang sedang bebas karena guru bahasa Indonesia yang seharusnya mengajar di jam itu, tidak masuk karena sakit. Alhasil hanya beberapa tugas yang diberikan dan harus dikumpulkan sebelum bel pulang berbunyi, karena mata pelajaran itu berlangsung di jam terakhir. Sekitar satu jam lagi bel pertanda pulang akan segera berbunyi.
Mereka semua merupakan anak yang pandai jadi tak sulit bagi mereka untuk menyelesaikan tugas yang diberikan sang guru. Menyisakkan cukup banyak waktu untuk mereka menunggu bel berbunyi sembari mengobrolkan berbagai hal.
Gina dan Pretty tak ada bedanya dengan siswa yang lain, mereka asyik mengobrolkan hal-hal yang tidak jelas. Seperti biasa terkadang mereka akan beradu urat karena perbedaan pendapat. Namun, tidak demikian dengan tokoh utama kita. Larisa tidak seperti biasanya bergabung dengan kedua sahabatnya, dia memilih berdiam diri di kursinya sembari asyik membaca buku, mengabaikan sepenuhnya percekcokan antara Gina dan Pretty yang duduk di sampingnya.
Sesekali Larisa melirik ke arah deretan bangku belakang, pada meja yang ditempati Arvan dan Johan lebih tepatnya. Pemuda dingin itu tengah melakukan hal yang sama dengan Larisa yaitu membaca buku. Meski Johan yang duduk di sampingnya entah pergi kemana sekarang, pemuda itu tetap asyik membaca seorang diri.
Larisa diam-diam memperhatikan ekspresi wajah Arvan yang sedang serius membaca, tanpa sadar tersenyum tipis ketika mengingat kejadian saat istirahat siang tadi. Seperti sebuah keajaiban tiba-tiba pemuda dingin itu mengajaknya bergabung dengan kelompoknya untuk mengerjakan tugas biologi.
"Wooi ... Icha-icha paradise."
Larisa tersentak hingga buku di tangannya tanpa sengaja terjatuh dari tangannya karena suara petasan Pretty yang nyaris membuatnya jantungan. Larisa memelototi Pretty yang kini terkikik geli, seolah puas karena berhasil membuat Larisa terkejut bukan main.
"Apaan sih, Pret? Untung gue gak punya riwayat penyakit jantung, kalau nggak ... udah kejang-kejang gue saking kagetnya," gerutu Larisa disertai bibirnya yang manyun ke depan, tak suka.
"Lagian sih ngelamun terus. Ditanyain dari tadi gak nyahut-nyahut. Itu mata seliweran kemana sih? Lihat ke belakang mulu perasaan."
Refleks Larisa memukul lengan Pretty dengan buku pelajaran bahasa Indonesia yang sejak tadi dibacanya, sukses membuat Pretty meringis karena kesakitan ditimpuk buku setebal itu.
"Sakit, Cha."
"Rasain. Makanya kalau ngomong disharing dulu, jangan asal bunyi."
"Tapi si Pretty gak salah kok, lo dari tadi emang ngelihat ke belakang mulu. Lihatin apa sih?" Gina yang baru saja menyahut kini melongokan kepalanya ke belakang, mencari-cari objek apa yang sejak tadi ditatap Larisa hingga mengabaikan dirinya dan Pretty yang sejak tadi berkoar-koar memanggil nama Larisa.
"Nggak kok. Siapa yang lihatin ke belakang? Ngaco kalian," sanggah Larisa mulai panik, takut terciduk dua sahabatnya sejak tadi dia memperhatikan Arvan yang sedang sibuk membaca di bangkunya.
"Oh, ane tahu," kata Pretty heboh seraya menjentikan jarinya. "You pasti lagi merhatiin si belut rawa, kan? Makanya ngelirik mulu ke belakang?" Saat mengatakan ini alis Pretty bergerak naik-turun menggoda Larisa.
"Isssshhh ... nggak. Ngapain gue lihatin dia. Gak penting amat." Larisa masih membantah.
"Ah, yang bener? Awas lo jatuh cintrong sama tuh manusia kutub."
"Idiiih ... Gina, apaan sih?" Larisa semakin salah tingkah karena kedua sahabatnya terus mencerca dirinya. Sialnya susah sekali membohongi mereka.
"Apa sih bagusnya si belut rawa? Bagusan Reza kemana-mana kali." Pretty mulai berkhutbah, melontarkan berbagai pujian pada Reza yang begitu diidolakannya.
"Reza itu udah keturunan sultan, pewaris tahta satu-satunya, ganteng, wangi, keren, baik plus ramah lagi orangnya. Gak kayak tuh belut rawa ..." Dengan dagunya Pretty menunjuk Arvan dengan malas.
"Tuh, belut rawa udah judes, jutek, mulutnya pedes kayak bon cabe level 30, kuper alias kurang pergaulan, bisu lagi."
"Kok bisu sih? Dia gak bisu kok, bisa ngomong." Yang membela Arvan ini tentunya Larisa karena seorang Regina mustahil berbaik hati mau membela pemuda sekelas Arvan yang menurutnya jenis makhluk yang harus dihindari karena menguarkan aura mencekam berdasarkan radar sok cenayangnya.
"Percuma kalau gak bisu tapi irit ngomong. Mendingan orang bisu sekalian, diem terus karena emang gak bisa ngomong. Nah, si belut rawa, bisa ngomong tapi kayak orang bisu."
"Udah gitu auranya nyeremin lagi," ucap Gina menambahkan ucapan Pretty yang menurutnya belum lengkap menyebutkan semua kekurangan Arvan.
"Cocok. Setuju ane sama you."
Larisa memutar bola matanya saat melihat Gina dan Pretty bertos ria, untuk pertama kalinya pikiran mereka sejalan.
"Kalian tuh kenapa sih kayaknya benci banget sama si Arvan? Emang dia salah apa sama kalian?"
"Bukan benci," sahut Gina. "Tapi gak mau berurusan sama dia aja. Dia juga gitu, kan? Gak mau berurusan sama kita-kita makanya selalu menyendiri."
"Orang kayak gitu justru mesti dideketin kan supaya dia mau berbaur sama kita-kita."
"Kalau orangnya welcome waktu dideketin sih fine-fine aja, nah si belut rawa malah galak kalau dideketin. Siapa juga yang sudi deketin doi. Cuma orang idiot yang masih mau deketin dia walau sering diusir." Pretty berujar dengan menggebu-gebu. "Nih, contohnya orang idiot itu." Pretty menunjuk wajah Larisa dengan telunjuknya sontak Larisa menepisnya kasar.
"Issshhh ... enak aja ngatain gue idiot. Gue ini baik hati makanya deketin dia, kasihan aja lihat dia menyendiri terus."
"Kasihan atau kepincut muka dia yang lumayan ganteng?" Gina menyenggol lengan Larisa membuat Larisa terbelalak disertai semburat merah yang mulai menjalar di wajahnya.
"Jangaaaaan! Awas ya you ampe kepincut si belut rawa, ane laporin sama pangeran kodok ntar!"
Larisa dan Gina saling berpandangan pasalnya respon Pretty terlalu heboh hingga pemuda kemayu itu berdiri dari duduknya sambil teriak-teriak tidak merestui jika Larisa sampai menjalin hubungan dengan Arvan. Walaupun hal itu tidak pernah sekalipun terlintas di kepala Larisa.
Berpacaran dengan Arvan apalagi sampai hatinya berpaling pada pemuda itu, jelas tak ada dalam kamus hidup Larisa.
"Lebay lo, Pret," ujar Gina seraya menendang betis Pretty dari bawah meja.
"Sakit dukun Gina, ane kan cuma mengutarakan pendapat. Ane ini pendukung sejati kisah asmara pangeran kodok sama belalang sembah."
Larisa ikut tertawa menyaksikan aksi konyol kedua sahabatnya. Tanpa sengaja dia melirik ke arah belakang, tersentak tatkala menemukan Arvan sedang menatap juga ke arahnya.
Larisa cepat-cepat membuang muka, jantungnya berdetak cepat dengan tiba-tiba.
'Si Arvan gak denger obrolan kita barusan kan?' gumamnya dalam hati, merasa was-was.