Larisa sedang mengeluarkan buku catatannya dari dalam tas, sebentar lagi bel tanda masuk akan berbunyi jadi dia bersiap-siap untuk mengikuti pelajaran Kimia yang sebentar lagi akan berlangsung. Kimia merupakan salah satu mata pelajaran favoritnya. Intinya semua mata pelajaran yang berhubungan dengan hitung menghitung sangat Larisa sukai.
"Oi, cecenit."
Atensi Larisa dari buku teralihkan begitu suara cempreng Pretty menyapa telinganya.
"Cecenit ... cecenit, kalau ngomong jangan asal bunyi," semprot Gina tak terima.
"Yee ... kan udah diresmiin nama geng kita itu cecenit alias centil-centil genit."
Larisa dan Gina saling berpandangan, sebelum keduanya bergidik serempak seolah baru saja ada hantu penghuni kelas yang meniup tengkuk mereka berbarengan.
"Kapan diresmiinnya, kok gue gak inget ya?"
"Gue juga gak inget tuh." Larisa menambahkan.
"You, you ini emang udah pikun." Pretty menunjuk wajah Gina, lalu gantian menunjuk wajah Larisa dengan jari telunjuknya yang lentik.
"Kita udah bahas ini di Mall waktu itu pas kita jalan-jalan. Idiiiih ... masih muda kok otaknya pikun kayak nenek-nenek sih. Kayak ane dong, otak sama kulit sama-sama kenceng." Pretty mengibas-ngibaskan rambut pendeknya sembari mengedipkan sebelah mata, menggoda. Sama persis seperti para waria jalanan yang biasa menggoda pria-pria yang sedang nongkrong di warung pecel lele pinggir jalan.
Larisa dan Gina sama-sama menggelengkan kepala, tak pernah mengerti kenapa bisa ada manusia seperti Pretty terlahir ke dunia. Sialnya pemuda kemayu itu sahabat baik mereka. Terkadang mereka sering berpikir apa dosa mereka sehingga dipertemukan dengan orang aneh macam Pretty ini. Terlahir sebagai pemuda lumayan ganteng, cerdas dan tajir, tapi sayang seribu sayang kelakuannya minus sekali, melawan kodrat dengan bersikap seperti gadis centil.
"Lo aja kali yang centil-centil genit, kita mah nggak tuh," celetuk Gina, masih tak sudi menerima keputusan seenak jidat Pretty yang asal memberi nama geng mereka.
"Udah deh jangan berantem."
Larisa berusaha melerai karena di depannya kini Pretty dan Gina sudah saling melotot, sebentar lagi baku hantam akan terjadi jika dia tidak cepat-cepat bertindak. Bisa-bisa buku catatannya jadi korban keganasan keduanya jika sudah saling tarik urat karena biasanya benda di sekitar mereka selalu menjadi alat untuk perang saling lempar barang. Larisa sudah hafal betul kebiasaan dua sahabat absurd-nya itu.
"Tadi lo mau ngomong apa, Pret?" tambah Larisa karena keduanya masih saling melotot seolah bola mata mereka siap menggelinding keluar.
"Oh, itu." Pretty berubah drastis menjadi sok kalem, dia bersedekap anggun di atas meja Larisa dan Gina. "Ane mau nanya sama you berdua, kapan kita mau ngerjain tugas kelompok biologi?"
Larisa terenyak, dia lupa belum memberi tahu dua sahabatnya bahwa dia tidak jadi satu kelompok dengan mereka, melainkan dirinya telah bergabung dengan kelompk Arvan dan Johan.
"Hari ini aja yuk, mumpung hari jumat. Enak, waktu kita banyak," ajak Gina yang langsung diangguki Pretty.
"Lo setuju gak, Cha?"
Larisa menggigit bibir bawahnya ketika Gina melayangkan tanya padanya.
"Hmmm ... gini, guys. Ada sesuatu yang harus gue kasih tahu ke kalian."
Pretty dan Gina saling berpandangan, wajah mereka tampak heran sekaligus penasaran.
"Apa tuh? Bilang aja." Pretty menimpali.
Larisa meneguk ludah sebelum mulutnya terbuka untuk menyahut.
"G-Gue ..." Larisa menatap Gina takut-takut, lalu gantian menoleh pada Pretty. Melihat betapa seriusnya dua orang itu, Larisa kembali meneguk ludah.
"Kenapa sih, Cha? Lama amat ngomong doang juga." Gina yang pada dasarnya tidak sabaran, semakin mendesak. Tak sadar tindakannya membuat Larisa semakin salah tingkah.
"Tapi janji ya kalian jangan marah," pinta Larisa sembari menangkupkan dua tangan di depan dada, pose memohon.
"Udah sih bilang aja, susah amat." Pretty ikut gregetan.
"Janji dulu gak bakalan marah kalian berdua."
"Iya, gak akan marah, cepetan ngomong ada apaan."
Larisa menghela napas panjang, jika Gina sudah bicara seperti itu, dia sedikit lega.
"Gue gak jadi satu kelompok sama kalian." Larisa seketika panik ketika melihat Gina dan Pretty melotot bersamaan.
"Cuma di tugas biologi itu aja kok kita gak sekelompok, nanti kalau ada tugas kelompok di pelajaran lain, kita pasti sekelompok seperti biasa. Please ... sekali ini aja." Larisa memasang ekspresi sememelas mungkin agar kedua sahabatnya memaklumi dan mau mengabulkan permintaannya.
"Kita gak marah kok Cha, cuma heran aja. Tumben aja gitu."
"Iya, bener. Ane juga kaget aja barusan. Emangnya you satu kelompok sama siapa ngerjain tugas biologi itu?"
OK, Larisa kembali dilanda kepanikan. Bukan apa-apa, sejak kemarin kedua sahabatnya itu menasehati Larisa agar tidak dekat-dekat dengan Arvan. Sekarang jika mereka tahu Larisa satu kelompok dengan Arvan, entah bagaimana reaksi mereka. Larisa tak sanggup membayangkan.
"Kok diem? Lo sekelompok sama siapa, Cha?" Gina kembali mendesak Larisa agar cepat menjawab.
"Hmmm ... itu ..." Larisa menggulirkan bola matanya gelisah. "Gue sekelompok sama Arvan, Johan," sahutnya sembari memejamkan mata, tak berani melihat reaksi kedua sahabatnya yang menurut perkiraannya pasti heboh.
Larisa mengintip ekspresi dua sahabatnya ketika tak mendengar respon apa pun. Dia membuka matanya sedikit hingga akhirnya terbuka lebar tatkala mendapati Pretty dan Gina hanya menatapnya datar. Sungguh ekspresi kedua orang itu jauh dari apa yang Larisa bayangkan sebelumnya.
Larisa pikir Pretty akan berteriak histeris hingga melompat dari kursinya, ekspresi lebay pemuda kemayu itu jika terkejut. Atau Gina yang akan memarahinya karena tak suka mendengar Larisa yang dekat-dekat dengan Arvan.
Nyatanya tidak demikian, mereka berdua justru diam seribu bahasa dengan raut wajah datar tanpa ekspresi apa pun.
"K-Kalian gak kaget?" tanya Larisa polos.
"Lihat lo yang ragu-ragu buat ngomong udah gue duga lo sekelompok sama si Arvan," sahut Gina santai.
Larisa melirik ke arah Pretty yang masih terdiam seraya masih setia memandanginya.
"Lo gak marah gue sekelompok sama Arvan, Pret?"
"Marah juga percuma, you udah terlanjur sekelompok sama si belut rawa. Ya udah, ane sih fine aja."
Larisa sontak tersenyum lebar, senang tiada tara karena kedua sahabatnya mau memaklumi. Pemikiran Larisa yang menduga mereka akan marah besar setelah mendengar pengakuannya ternyata meleset jauh dari kenyataan.
"Lo yang ngajuin diri pengin satu kelompok sama tuh anak?" Gina kembali bertanya yang langsung Larisa tanggapi dengan gelengan.
"Nggak kok, si Arvan sama Johan yang ngajakin. Gue gak enak mau nolak, jadi ya gue terima aja."
"Bilang aja you seneng bisa sekelompok sama si belut rawa. Jangan-jangan tuh belut udah gak licin lagi. You berhasil ngandangin dia ya, Cha?"
Larisa terkekeh mendengar ucapan Pretty yang dari hari ke hari semakin ngaco.
"Gue juga heran tiba-tiba dia ngajakin gue satu kelompok. Mungkin hati dia udah terbuka mau nerima ajakan pertemanan gue."
"Udah dapet hidayah kali tuh bocah," celetuk Gina seenak jidat. "Asal lo inget aja kata-kata gue waktu itu."
"Kata-kata yang mana?" Satu alis Larisa terangkat naik.
"Jangan bermain api kalau lo gak mau kebakar nantinya. Bakalan runyam masalahnya kalau api yang lo mainin membesar sampai lo gak bisa kendaliin."
Larisa menundukan kepala, meski Gina tak mengatakan secara langsung, dia paham maksud ucapan tersirat gadis itu.
"Iya, bener kata si kecebong gurun. Inget you udah punya pangeran kodok. Jangan selingkuhin dia ya, kalau you ampe selingkuh, ane benci ... benci sama you, belalang sembah."
Larisa mengulum senyum, meski Pretty sedang menasehatinya serius tapi panggilan nyeleneh pemuda itu padanya, Gina dan Reza membuat Larisa tak kuasa menahan senyum.
"Siap boss. Gue gak akan kelewat batas kok," sahut Larisa sembari memposisikan tangannya memberi hormat pada Gina dan Pretty.
"Tapi rencana kita hari minggu jadi ya, gue udah minta izin soalnya sama nyokap."
"Harus jadi dong, ane udah punya ide nih buat bantuin you siapin hadiah kejutan buat babang Reza." Pretty berujar genit sembari mengedipkan sebelah mata.
Larisa tak bisa membantah, kedua sahabatnya tampak bersemangat menemaninya mencari hadiah untuk Reza.
"Iya, jadi. Kita berangkatnya siang ya. Jam satuan, nggak apa-apa, kan?"
"Kok siang amat sih, Cha?" protes Pretty.
"Soalnya gue pengen santai-santai dulu di rumah, kalian juga kan pasti gak mau buru-buru bangun kalau hari minggu?" Larisa menyengir lebar berharap alasannya ini bisa diterima kedua sahabatnya.
Ketika melihat Pretty mengangguk dengan bibir manyun beberapa senti ke depan, berbarengan dengan Gina yang hanya mengangkat kedua bahunya, Larisa tahu alasannya diterima dengan baik oleh kedua sahabatnya.
Dalam hatinya Larisa semakin bersyukur karena memiliki sahabat yang pengertian dan peduli padanya seperti Gina dan Pretty.