Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Kembali ke rutinitas baru. Menjadi pejuang untuk menjadi terkenal, mendapatkan pundi-pundi uang dari kerja kerasnya sendiri.
"Baiklah, perjuangan sesungguhnya dimulai,"
Dirga menaruh koper ke dalam kamarnya. Di apartemen itu hanya ada Septian. Yogi sedang mengunjungi rumah orang tuanya, dan sisanya tentu sedang kuliah.
Omong-omong soal kuliah, Dirga berniat untuk menunda kuliahnya tahun ini. Sebisa mungkin dirinya akan kuliah tanpa menggunakan uang orang tuanya. Meskipun orang tuanya mampu untuk membiayai, Dirga hanya ingin merasakan kuliah menggunakan uang sendiri. Ya bisa dianggap melatihnya untuk bekerja keras sebelum mendapatkan sesuatu. Tak masalah jika dia akan tertinggal dari teman-teman lainnya.
"Lalu jika nanti sudah memiliki uang sendiri, kau ingin kuliah apa? Tetap arsitek?" tanya Septian saat keduanya berada di ruang tamu.
Dirga menggeleng, "Tidak, mungkin aku akan mendalami ilmu bisnis saja," jawabnya yakin.
Laki-laki didepan Dirga itu tertawa, ya sepertinya tidak percaya. Karena sedari berada di sekolah dasar, Dirga selalu berbicara ingin membuat rumah mewah hasil tangannya sendiri. Tak mungkin tiba-tiba keinginannya berubah. Yang mana Septian sangat paham sifat tetap akan pendirian Dirga itu kuat.
"Sudah tidak minat menjadi arsitek?" tanyanya lagi.
Dirga dengan mantap menggeleng kembali, "Tidak, Chika-lah yang akan menekuni bidang arsitek itu. Jadi, semisal popularitas kita menurun, setidaknya aku masih memiliki ilmu dari bidang bisnis. Itu menurut pemikiranku," papar Dirga.
Menurut Septian, pemikiran Dirga cukup luas. Dia berani mengambil tindakan apa yang sudah dipikirkan matang-matang untuk kedepannya. Bahkan jika itu akan sangat beresiko. Toh, Septian dan keenam temannya tetap akan mendukung satu sama lain.
Jujur saja, tujuan awal mereka bertujuh memang ingin di kenal banyak orang, mendapatkan uang dari kerja keras sendiri, membanggakan orang tua, serta menjadikan diri sendiri lebih unggul dari orang lain. Lebih unggul bukan hanya dari satu bidang, bukan?
Tak lama, sebuah ketukan pintu mengudara saat Septian dan Dirga masih berbincang. Jika kedua manusia itu berada dalam satu atap, satu ruangan, sampai satu oksigen, jangan harap salah satu diantaranya akan mengalah. Untuk membukakan pintu saja harus tunjuk-menunjuk. Seperti anak kecil saja.
"Aku sudah tua, kau saja yang lebih kuat dari aku," lontar Septian.
Dirga mendesis, ingin sekali memaki orang didepannya. Akhirnya Dirga memilih mengalah untuk membukakan pintu. Awas saja, suatu saat Dirga balas.
Langkahnya sampai dipintu yang masih terus terketuk. Dibukanya pintu itu, menampilkan sang manajer yang membawakan beberapa kantung makanan. Dirga mundur satu langkah, memberikan jalan untuk sang manajer lewat. Menaruh semua kantung diatas meja.
"Ini kubawakan camilan,"
Dua laki-laki itu saling menatap. Untuk apa repot-repot Caroline membawa begitu banyak camilan? Septian sudah membatin, seminggu kemarin saat tak ada Dirga, Caroline bahkan hanya dua kali mengunjungi Goldie.
Laki-laki termuda disana berjalan kearah dua orang yang terduduk di sofa. "Terimakasih, tapi tidak perlu repot-repot. Kami bisa membeli sendiri," ucapnya gamblang. Lantas duduk bersampingan dengan Septian.
"Anggap saja aku membawakan ini untuk menyambutmu pulang, Ga," kata Caroline yang mengarah ke Dirga.
"Tahu begini, lebih baik tadi pergi saja," gumam Dirga lirih sekali.
Mungkin, jika wanita itu tidak memiliki niat jahat, Dirga, Septian, dan keempat teman lainnya tidak akan merasa terbebani seperti ini. Harus berpura-pura juga didepannya. Memangnya hanya Caroline yang bisa berpura-pura? Lima anggota Goldie juga handal.
-
-
-
Sore ini, semua anggota Goldie mendapat jadwal untuk pengarahan. Pelatih serta pembimbing mereka bilang, dalam waktu dekat mereka akan diperkenalkan ke publik sebagai artis baru dari Venus Entertainment. Berita itu diterima dengan penuh antusias oleh setiap anggotanya.
"Selamat untuk kalian," kata Dimas, sang pelatih.
Dapat dilihat kebahagiaan yang terpasang diwajah mereka. Membayangkan mereka melangkah jauh sekali untuk sampai disini. Sampai dititik dimana mereka akan diperkenalkan ke publik. Secepatnya mereka akan memberikan kabar ini pada keluarga masing-masing. Ini juga berkat doa keluarga.
Malam ini mereka harus bersenang-senang. Seperti biasa, adakan makan bersama. Pokoknya malam ini harus begadang. Menghabiskan waktu mereka bertujuh.
Sayangnya, tiba-tiba saja Jamal berkata tak bisa ikut dalam acara itu. Dia bilang, adiknya sakit dan dirawat di rumah sakit. Orang tuanya juga membutuhkan Jamal untuk membantu membayarkan biaya pengobatan adiknya. Beberapa dari anggota lainnya juga sudah siap untuk membantu meringankan beban Jamal, tapi laki-laki itu menolak. Dia masih merasa mampu untuk membayar biaya rumah sakit adiknya. Maka, sebelum petang benar-benar berakhir, Jamal sudah pergi dari apartemen.
"Baiklah, kira pesan pizza sembari menonton film horor," Haikal menyuarakan sarannya.
"Memangnya kau ingin seperti di drama-drama? Jika wanita atau pria yang takut, dia akan memeluk orang disebelahnya," cibir Tomi.
"Bilang saja kalau kau takut menonton film horor. Tenang, akan kututup matamu nanti," balas Haikal.
Melihat perdebatan mereka, tiba-tiba Nanda berceletuk, "Bagaimana jika kita menonton.." kalimatnya terhenti, Nanda memberikan isyarat kepada teman-temannya dengan menaikturunkan alisnya beberapa kali dengan senyuman lebar.
"Ay-"
"Kubunuh kalian satu persatu," tandas Yogi dengan tatapan mautnya. Kalau sudah suara Yogi yang keluar, sepertinya niatan itu tak akan terlaksana. Atau mungkin-
"Baiklah, aku yang akan memilih," imbuh Yogi.
Wah, teman-temannya itu sedang memanjatkan syukur. Tumben sekali Yogi ingin diajak yang begini. Kelima temannya kan jadi semakin semangat untuk cepat-cepat menonton.
"Siapa yang terangsang lebih dulu, besok dia harus membuatkan sarapan untuk kita," Septian mengajukan sebuah pertaruhan. Ya, lumayan dirinya berisitirahat dari kegiatan dapur. Dan taruhan itu disetujui oleh kelima lainnya.
Hey, mereka laki-laki normal. Sesekali juga ingin menonton yang seperti itu. Ssstt.. Jangan bilang siapa-siapa, ya. Akulah yang memberikan ide itu pada Nanda.
Dilain tempat, sebuah ruangan bernuansa klasik dengan banyak hiasan yang menempel di dinding serta lampu temaram yang menggantung di langit-langit, memberikan ketenangan untuk setiap pengunjung yang datang. Dua insan yang memesan dua porsi pasta serta minuman, tengah berbincang di meja yang terletak di sudut ruangan.
"Memangnya teman-temanmu tak apa jika kau tinggal seperti ini?" tanya Caroline yang sedang mengaduk minumannya.
Jamal menggeleng, juga tersenyum guna memberikan keyakinan pada Caroline, bahwa semua akan baik-baik saja selama tak ada yang memberi tahu keenam temannya. "Tidak apa-apa. Palingan mereka juga sedang menonton film dewasa,"
Mendengar penuturan Jamal, wanita didepannya itu sempat tersedak, "Jadi kalian suka menonton film seperti itu?" kejutnya.
"Kami laki-laki. Itu hal biasa. Lagipula barusan aku hanya berbicara asal saja," jedanya seraya memasukkan satu suapan spaghetti. "Tadi mereka bilang ingin makan malam bersama. Aku sering melakukannya dengan mereka, tapi aku belum pernah melakukannya denganmu," tambahnya lagi.
Caroline tersenyum. Itu bukan senyuman tulus, itu senyuman untuk menampilkan keberhasilannya dalam menjebak Jamal. Perlahan tapi pasti, Jamal akan semakin menyukai manajernya. Dan semakin mudah juga untuk Caroline menghancurkan karir Goldie.