Chereads / Red Jelly / Chapter 40 - Awal Terkenal

Chapter 40 - Awal Terkenal

Tujuh orang itu mendadak seperti sedang menyentuh bongkahan es. Dingin sekali. Ditambah mendengar suara jepretan kamera seperti sudah menanti kehadiran mereka. Iya, hari ini Goldie siap akan diperkenalkan pada publik. Grup baru yang dilatih berbulan-bulan, untuk dapat menunjukkan skillnya yang semakin hari semakin bertambah hebatnya.

Nanda sebagai pemimpin grup juga sudah terlihat gugup, bibirnya tak dapat terkatup dengan sempurna. Sepertinya ia tengah menyiapkan pidato singkat sebagai seorang pemimpin grup. Teman-temannya juga bangga pun takjub, Nanda bisa mengutarakan perasaan keenam temannya lewat pidatonya, tapi mereka belum tentu bisa menjadi seorang pembicara seperti Nanda.

"Aku tahu, kalian juga pasti gugup. Tapi kita harus yakin, jangan sampai membuat diri kita jatuh karena kesalahan kecil," ucapnya memberikan semangat untuk teman-teman satu grupnya.

Septian dan Yogi masing-masing berada disamping Nanda, mengelus punggung serta pundak sebagai penguat. Dua kakak yang menguatkan adiknya untuk terus memimpin. Sisanya, masing-masing dari mereka masih merapalkan doa agar ini berjalan cepat dan lancar. Sehingga mereka bisa memulai karir dengan membagikan lagu-lagu mereka.

Sampai panggilan yang ditujukan untuk Goldie agar segera naik ke panggung bersama manajer mereka. Wah, jantung mereka sudah seperti melorot ke perut. Ini benar-benar menegangkan sekaligus membahagiakan. Jika satu persatu anggota boleh jujur, kaki mereka sudah terasa lemas ditatap banyak pasang mata wartawan serta lensa-lensa kamera yang menyoroti perawakan mereka.

Harapan mereka saat ini, supaya mereka tidak pingsan tiba-tiba. Tidak lucu rasanya saat sedang diperkenalkan ke awak media, salah satu dari mereka pingsan karena terlalu gugup.

"Perkenalkan, kami dari Goldie. Saya Nanda,"

"Saya Septian,"

"Saya Dirga,"

"Saya Haikal,"

"Saya Yogi,"

"Saya Tomi,"

"Dan saya Jimmy,"

Saat Jamal sudah menyebutkan namanya, teman-temannya seketika melirik ke arah pemuda itu. Masing-masing dari mereka memiliki pemikiran yang sama, bahwa Jamal masih tetap akan menggunakan nama panggungnya. Sebenarnya, Tomi dan Dirga itu juga sudah saling memberikan tatapan, keduanya saling tersenyum untuk menyamarkan tawa yang sedang mereka tahan.

Baiklah, lupakan Jamal yang membuat teman-temannya terkejut. Terfokus pada Nanda yang memberikan pidato singkatnya. Nanda juga memberikan kalimat ucapan terimakasih untuk manajer serta agensi yang sudah mempercayai mereka.

"Suatu kebanggaan untuk kami berada di agensi ini. Kami akan terus berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik dari yang terbaik. Terimakasih," akhiran dari pidatonya.

Setelah hampir dua jam lamanya acara itu berlangsung, semua anggota Goldie kembali ke belakang panggung. Mengucapkan banyak terimakasih untuk para staf yang sudah banyak membantu ketujuh pemuda itu.

"Kalian tahu, saat aku berpidato tadi, aku bahkan menekuk jari-jari kakiku," akunya disertai tawa.

"Aku dan Dirga saling melempar senyum, saat Jamal mengenalkan dirinya sebagai Jimmy. Itu sebenarnya kami sedang menahan tawa," Tomi juga ikut mengakui yang dilakukannya bersama Dirga saat acara berlangsung.

"Hey, aku bahkan sudah bilang jika aku merubah namaku menjadi Jimmy," protes Jamal yang menjadi bahan perbincangan.

"Aku disana sudah menahan ingin buang angin. Untung saja dapat kutahan, walaupun tidak enak diperut," kini Haikal yang mengakui sesuatu.

Dari ketujuh orang itu, hanya Septian dan Yogi yang tak mengakui apapun. Itu karena mereka tidak ditanya. "Bang, kalian berdua tak merasakan apapun saat acara tadi?" tanya Haikal pada Septian dan Yogi.

"Kakiku tak merasakan apa-apa, hanya tanganku yang terasa dingin," sahut Yogi.

"Eiy... Kalian itu tidak tau," jedanya disertai tawa. "Aku memasang hot pack didalam sepatuku. Jari-jari kakiku juga terasa dingin," imbuhnya masih dengan tawanya.

Mendengar semua pengakuan Goldie dari kejauhan, Caroline menghampiri tujuh pemuda itu. Masih dengan pakaian yang terakhir gunakan, Caroline mengajak Goldie untuk berfoto. Semua momen penting itu harus diabadikan. Suatu saat nanti, mereka akan sadar, foto itu adalah saksi bisu awal perjuangan mereka.

"Siapa disini center kalian?" tanya Caroline.

"Dirga/Jamal," ucap Septian dan Tomi bersamaan.

Kalau dua orang ini menyebutkan dua nama yang berbeda, Caroline tak bisa hanya memilih Dirga untuk berfoto disebelahnya. Untung saja dua nama itu bukan pilihan sulit. "Oh, baiklah, kalau begitu kalian berdua saja. Aku akan berada diantara kalian berdua," tambahnya sekaligus menarik kedua lengan Dirga dan Jamal.

Semakin keliatan saja—batin Tomi yang melirik tajam ke arah Caroline.

Sesi berfoto itu akhirnya selesai setelah dilakukan beberapa kali. Caroline membiarkan mereka untuk kembali beristirahat sekaligus mengganti pakaian. "Dirga, fotonya sudah kukirim semua ke nomormu," ucap Caroline.

Sontak membuat Dirga menjadi pusat perhatian anggota Goldie yang lain. Sang pemilik nama saja juga terheran, kenapa harus dia? Jadi, Dirga hanya mengangguk saja. Biarlah kakak-kakaknya jika ada yang ingin protes.

"Kenapa tidak dikirim di grup obrolan saja?" tanya Tomi pada sang manajer. "Jadi tak perlu mengirim lagi di grup," tohoknya tepat sasaran.

Mendengar ucapan Tomi, Caroline terdiam sejemang menatap ketujuh pemuda didepannya sebelum akhirnya tersenyum dengan jawabannya. "Grup obrolan kalian sepertinya tenggelam. Dan dari nama kalian bertujuh, hanya Dirga yang inisialnya berada di abjad awal," jabarannya.

Daripada menimbulkan perdebatan, Dirga akhirnya membuka suaranya, "Tidak apa-apa. Sudah kukirim ke kalian," Maniknya masih melihat ke arah ponsel, melihat ada lima pesan dari Chika. Alisnya sampai hampir bertautan. Astaga itu pesan sudah dari tadi pagi. Sekarang sudah lewat tengah hari. Semoga saja Chika tidak memberikan pidato seperti yang dilakukan Nanda tadi.

Kecil kemungkinan jika Dirga menelpon Chika. Dirga tidak ingin teman-temannya menganggap Dirga mencampurkan urusan pribadi dengan karir. Akhirnya dia membalas pesan Chika. Dirinya juga meminta maaf karena dia tak membuka ponsel. Namun, yang membuatnya mengernyitkan dahi, satu kalimat yang Chika kirim.

'Kakak memberikan baju apa pada kakak kelas dua?'

Tunggu, Dirga juga sampai mengingat apa dia pernah memberikan sesuatu pada adik kelasnya selain Chika. Seingatnya, dia sama sekali tak pernah memberikan apapun pada adik kelasnya dibawah satu tahun. Dia juga khawatir, lantaran Chika tak kunjung membuka pesannya kendati gadis itu tengah aktif pada media sosialnya.

"Chika, ayo balas pesanku," ucapnya pada diri sendiri. Dirga sudah ketar-ketir.

Hingga menjelang sore, Chika masih belum membuka pesannya. Dirga tak bisa menunggu balasan Chika terus-terusan, ia harus berkumpul bersama keenam lainnya untuk membicarakan hal kedepannya. Hal penting mengenai lagu pertama yang akan mereka rilis.

Huft... Semoga ini tak berlangsung lama.

'Chika tidak tahu baju apa yang Kak Dirga kasih ke kakak kelas itu'

'Kakak jangan berbohong. Chika tidak suka dibohongi'

'Sudah ya, Kak. Chika ingin istirahat'

Dirga terbangun saat mendengar tiga notifikasi ponselnya berbunyi. Ah, rupanya dia tertidur di sofa setelah perkumpulan bersama yang lain. Diliriknya jam ponselnya, sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Cukup lama, ya Dirga tertidur.

Kepalanya sedikit pening saat terbangun. Ditambah rentetan pesan Chika yang membuatnya semakin mengerang. Dirga sampai mengacak rambutnya.

"Siapa sih yang membuat berita tidak benar itu?"

Dirga beranjak dari sofa berjalan ke arah kamar mandi. Melewati Tomi yang sedari tadi bermain game online untuk menemaninya menunggu Dirga tidur. Kurang ajar sekali memang Dirga ini, Tomi diabaikan begitu saja tanpa ucapan terimakasih.

Selepas dari kamar mandi, Dirga memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Rasa kantuknya sudah menghilang. Kepalanya terus memikirkan kalimat-kalimat Chika. Kekasihnya ini sepertinya marah dengannya.

Netranya menangkap kemeja putih Jamal yang tergantung. Matanya terpejam. Sekelebat bayangan terlewat, bayangan saat dirinya menolong adek kelas yang terkena bola basket. "Aaa.. iya, bajuku dia yang membawanya," Dirga baru saja tersadar. Cepat-cepat dirinya mengambil ponsel, mencari kontak Chika.

"Ini masih pukul delapan, aku yakin Chika belum tidur,"

Panggilan suara itu terus mencoba menghubungi dengan milik Chika. Berkali-kali juga ponselnya tak dapat dihubungi. Ya Tuhan, Dirga belum siap jika harus bertengkar dengan Chika.

Jamal yang baru saja masuk, melihat raut wajah Dirga yang getir. Ia melangkah mendekati Dirga. "Ada apa?" tanya Jamal yang duduk disebelah sisi kanan ranjang.

"Aku bertengkar dengan Chika," jawab Dirga. Lantas ia menceritakan apa yang terjadi dengannya dan juga Chika. Karena merasa tak tega, Jamal memberikan ide untuknya datang ke rumah Chika besok pagi sebelum gadis itu berangkat sekolah.

-

-

-

Hari ini, Dirga mengikuti apa saran Jamal. Pagi-pagi sekali, laki-laki berbadan kekar itu sudah siap dengan kaos polos, topi hitam, serta celana training berwarna hitam, tak lupa masker. Berjalan mengendap-endap keluar dari apartemen dibantu oleh Jamal. Sebenarnya mereka tidak diizinkan untuk keluar bebas, setelah acara konferensi pers kemarin.

"Berpura-pura lah seperti sedang berolahraga," titah Jamal.

Dirga mengangguk, menjauh dari apartemen dengan berlari kecil. Ia juga memesan ojek online untuk mengantarnya sampai rumah sang kekasih. Semoga lancar—harapannya.

Sekitar tiga puluh tujuh menit Dirga sampai tepat di depan rumah Chika, bersyukur gadis itu belum berangkat, karena Dirga masih mendengar suara teriakan memanggil ibunya. Langkahnya memasuki gerbang rumah yang terbuka, menuju pintu utama. Terlihat semua anggota keluarga sedang berkumpul di ruang tamu—baru saja selesai sarapan. Melihat presensi Dirga berdiri, ibunda Chika menghampiri kekasih putrinya. Duduk bersebelahan bersama Chika. Dirga juga bertemu ayah kekasihnya itu. Mungkin karena sudah siang, ayah Chika berkata akan menunggunya di mobil sekaligus akan memanaskan mesinnya.

"Chika, dengarkan aku. Aku tak ingin berlama-lama seperti ini. Baju yang kau kira kuberikan pada anak kelas dua, itu adalah seragamku yang terkena darahnya saat kita akan menuju tempat pemotong rambut," tuturnya panjang lebar. "Kan aku juga sudah cerita padamu. Dan dia belum mengembalikannya padaku," tambahnya.

"Kakak tidak berbohong, kan?" tanya Chika meyakinkan.

"Tidak, sayang. Sudah ya, kita berbaikan," Dirga memberikan jari kelingkingnya supaya Chika juga mau menautkan kelingkingnya.

Kurang dari satu menit mereka berbaikan, tiba-tiba sang ayah berteriak, "CHIKA, PUTUSKAN DIRGA!" tiga kata itu sontak membuat lima orang lainnya terkejut dengan ucapan sang ayah.