Chereads / Red Jelly / Chapter 39 - Sesuatu Yang Mengganjal

Chapter 39 - Sesuatu Yang Mengganjal

Ini pukul setengah tujuh pagi, Dirga sudah harus bangun lantaran dirinyalah yang kalah pertaruhan semalam. Sial memang, bocah berumur delapan belas tahun sudah diajak menonton film dewasa. Lagipula, Dirga juga menyukainya.

Diliriknya disamping ranjang, Jamal sudah tertidur. Batin Dirga, sepertinya Jamal kelelahan menjaga adiknya di rumah sakit. Dirga membenarkan selimut untuk menutupi tubuh Jamal. "Tenang saja, Bang, untukmu kubuatkan spesial," gumamnya. Lantas ia beranjak menuju dapur.

Disana Dirga sedikit bingung akan memasak apa, biasanya jika di rumah, ibunya yang selalu membuatkan sarapan. Tapi, setelah melihat telur di kulkas, ia terpikirkan akan membuat omelette untuk keenam lainnya. Itu karena Dirga hanya bisa membuat omelette. Daripada tidak ada sarapan sama sekali.

Mungkin karena Dirga memasak kurang rapi sampai panci dan sendok-sendok berjatuhan, sampai membangunkan Nanda karena suaranya yang nyaring.

"Akan kubantu, karena aku orang kedua yang terangsang setelahmu," ucap Nanda pada Dirga.

Dirga jelas sangat bersyukur, karena akan ada yang membantunya. Semoga saja tidak ada yang melihat kekacauan dapur ini selain Nanda, bisa habis Dirga dimarahi.

"Bang, semalam Bang Jamal pulang jam berapa? Kasihan sekali, sepertinya dia lelah sekali menjaga adiknya. Aku tak tega," tanya Dirga.

Pemuda berumur tiga tahun lebih tua dari Dirga itu terdiam sejemang, "Sepertinya jam tiga. Saat itu aku tak memperhatikan jam, mataku sudah terlalu berat untuk kubuka lebar-lebar," jelasnya.

Dirga mengambil menaruh telur-telur yang sudah dicucinya, diletakkan didepan Nanda. Ia beralih mengambil mangkuk besar serta sendok. Sedangkan Nanda, membantu memecahkan semua telur ke dalam mangkuk.

"Khusus Bang Jamal, nanti biar aku saja yang membuatnya, ya. Aku ingin membuatkannya sedikit berbeda dari yang lain," pintanya pada Nanda.

Selesai semua dengan urusan dapur, Nanda membangunkan satu persatu teman-temannya. Pasti masih bermimpi basah. Eh, maksudnya masih bermimpi indah. Pada kenyataannya, saat Nanda membangunkan, tak ada satupun yang langsung bangkit. Nanda perlu mengeluarkan tenangnya untuk menarik temannya agak turun dari ranjangnya.

Dengan bantuan Dirga juga, akhirnya mereka bertujuh berkumpul di meja makan. Dua laki-laki itu memberikan satu persatu piring pada mereka. Dirga juga sudah membuatkan teh hangat. Tak lupa, anggota termuda itu menyerahkan piring dengan porsi yang sedikit lebih besar dihadapan Jamal.

"Untukmu, pasti kau lelah menjaga adikmu semalaman," kata Dirga seraya menyodorkan teh hangat juga untuknya.

Jamal tersenyum, sesaat dirinya merasa bersalah telah membohongi keenam temannya. Maafkan aku semua, begitu batinnya.

-

-

-

Berbeda cerita dengan Chika yang menjalani paginya hari ini. Chika dan Arum tengah berjalan bersama menuju kelasnya. Pagi ini Chika kembali menjalani aktifitas sekolah. Sayangnya, mulai saat ini Chika tak menjamin akan selalu datang pagi—tukang antar jemputnya sudah bukan Dirga.

"Bagaimana rasanya berhubungan jarak jauh?" ledek Arum pada Chika yang terdengar menghela nafasnya kasar.

Bagaimana Arum tidak meledek, biasanya saja Chika selalu menggodanya karena menjalani hubungan jarak jauh bisa saja pasangannya tidak akan setia. Sekarang barulah Chika merasakan bagaimana rasanya.

Chika bisa saja membalas ledekan Arum itu, tapi rasa malasnya lebih menggerogoti tubuhnya. Apalagi kini keduanya masih berjalan menuju kelas. Jika memang pertanyaan Arum harus dijawab, Chika akan bilang dirinya belum merasakan kesulitan yang terjadi saat berhubungan jarak jauh.

"Lalu bagaimana hubunganmu dengan Kevin?" tanya Chika yang baru saja meletakkan tasnya dikursi. Keduanya baru saja sampai kelas.

Jika sudah diberi pertanyaan mengenai hubungan, Arum akan sangat senang sekali menjawabnya. "Kevin? Masih seperti biasanya. Aku masih menunggunya," jawab Arum dengan senyuman.

"Lalu dengan Kak Dante?" tanya Chika lagi.

"Kami jauh lebih membaik, tak ada marah-marah lagi dengannya," jawab Arum.

"Baguslah,"

Baru saja akan memainkan ponsel, seseorang dari kelas lain datang memanggil namanya, "Chika, kau disuruh datang ke kantor menemui guru sejarah,"

Chika mengangguk, tanpa menunggu lama, gadis itu segera berjalan ke kantor. Memang sebenarnya sedikit malas begitu. Apalagi cuaca yang mendung juga mendukung untuk semakin membuat Chika malas sekolah. Semoga hari ini adalah hari baik, supaya guru tak memberikan tugas yang memberatkan.

Sayangnya memang hari ini bukan hari baik, sesampainya di kantor guru, Chika diberikan tugas untuk menulis catatan dari buku guru ke papan tulis. Mendadak dirinya ingin mengundurkan diri dari sekretaris kelas.

Berjalan kembali ke kelas itu juga membutuhkan tenaga. Ditambah kelas Chika itu kelas yang paling jauh dari jangkauan pandangan. Harus melewati banyak kelas, menyapa kakak kelas yang dilewati. Hingga tak sengaja Chika mendengar salah satu kakak kelas dua yang membicarakan kekasihnya.

"Iya, baju Kak Dirga masih kubawa. Dia tidak mencarinya, kurasa memang itu kenangan untukku setelah dia lulus. Haruskah aku kembalikan ke rumahnya?" ucap salah satu gadis di sana.

Baju? Baju apa? Kak Dirga tidak pernah cerita—batin Chika. Cepat-cepat ia melangkah menuju kelasnya. Ada saja yang membuat moodnya hari ini turun.

Arum dibuat bingung saat Chika menyodorkan buku yang dibawanya. Dia kira, tugas itu hanya untuknya sebelum Chika meminta tolong untuknya menuliskan catatan itu di papan tulis. Chika harus mengurus sesuatu. Ya, karena melihat raut wajah Chika yang berbeda, Arum mengiyakan permintaan teman sebangkunya itu. Maka, diambilnya buku yang tadi, berjalan ke arah papan tulis setelah Chika memberitahu bagian mana saja yang perlu ditulis.

Sedangkan Chika mengambil ponselnya, mumpung gurunya tidak masuk, jadi sekalian saja Chika tanya saat ini. Namun niatnya sedikit terhambat, ia bingung apa Dirga saat ini tengah latihan atau tidak. Mustahil juga jika Chika menelponnya walau tidak sedang latihan. Ini kelasnya, jika ia menelpon pasti akan menjadi pusat perhatian temannya.

"Baiklah, kirim pesan saja untuknya," gumamnya lirih.

Chika mengetikkan beberapa pesan untuk Dirga. Karena merasa tidak enak dengan Arum, Chika menaruh ponselnya, meminta buku yang dipegang Arum—menggantikan Arum menulis. Awalnya Arum menolak, namun Chika menjelaskan jika ini adalah tanggung jawabnya. Ia mengambil alih buku yang Arum pegang, melanjutkan tulisan Arum.

'Iya, baju Kak Dirga masih kubawa. Dia tidak mencarinya, kurasa memang itu kenangan untukku setelah dia lulus. Haruskah aku kembalikan ke rumahnya?'—kalimat itu terus terngiang. Hingga sebuah tawa terdengar membuat Chika tersadar, bahwa yang ia tulis adalah ucapan kakak kelasnya. Chika berani bersumpah, ia sangat malu karena keteledorannya. Dengan cepat, Chika menghapus kalimat itu. Mengubahnya sesuai dengan yang ada pada buku.

"Maaf, maaf, aku tidak fokus,"

Selang hampir setengah jam, Chika selesai menuliskan semua tulisannya. Kembali ke bangkunya setelah menaruh spidol pada tempatnya. Gadis itu memijat kedua pelipisnya, berharap pening bisa pergi dari kepalanya.

Arum yang menyadari, mengelus punggung Chika. "Kau kenapa? Seperti sedang tidak dalam keadaan baik," kata Arum.

"Tidak, tidak apa-apa, kok," katanya sedikit dihiasi tawa.