"Kak, aku pinjam laptopmu,"
Gadis bersurai panjang itu memperhatikan pergerakan adiknya yang mengambil laptop diatas meja. Mengikuti langkah sang adik menuju pintu kamar. "Awas saja kau memasukkan video porno ke laptopku,"
Wajar saja Dinda khawatir jika laptopnya dipegang Dirga. Adiknya itu laki-laki, pasti sering menonton yang seperti itu. Saat Dirga baru memasuki SMA, pernah sekali dia memasukkan video seperti itu ke laptop Dinda. Apalagi adiknya itu memberi sandi pada foldernya. Hampir seharian Dinda stres membuka sandi itu disaat bersamaan sang adik yang sedang bermain ke rumah temannya.
Gadis itu jelas tahu apa isi folder yang disandi Dirga, lantaran Dirga memberi nama foldernya dengan kata 'Dewasa'. Memang benar, terkadang Dirga bisa sebodoh itu.
Dirga yang mematung diambang pintu kamar Dinda, hanya menatap datar sang kakak yang menatapnya juga dengan tatapan tajam. Mungkin ada satu menit mereka saling tatap, hingga Dirga memilih memutuskan tatapan mereka.
"Iya, tidak akan," ucapnya sambil menutup pintu kamar sang kakak.
Dirga memasuki kamarnya masih dengan mulut yang bergerak. Bergumam sendiri karena sindiran sang kakak. Tenang saja, Dirga sudah punya laptop sendiri, jadi video-video 'Dewasa' miliknya tidak akan mengganggu ketenangan Dinda lagi. Hanya saja, saat ini laptopnya sedang tak bisa digunakan.
Jika dilihat kembali, kakak-adik ini memang sering adu kalimat, namun keduanya saling membutuhkan. Terlihat saat Dinda kesulitan menggambar organ-organ tubuh manusia untuk tugas kuliahnya, dia meminta Dirga untuk menggambarkan. Begitu pula saat Dirga kesulitan mengerjakan tugas biologi, Dinda juga dengan senang hati membantu adiknya. Mau sekeras apapun hubungan adik dengan kakaknya, tetap saja mereka akan saling membutuhkan satu sama lain.
Ponsel yang berdering seketika menghentikan kegiatan Dirga saat ini. Melihat sekilas nama yang tertera sebelum akhirnya menjawab panggilan itu. Suara bariton dari seberang sana masuk dalam rungu Dirga. Membicarakan acara akhir minggu mereka. "Baiklah, terima kasih sudah memberi tahu,"
Semisal hari ini Dirga tak disibukkan dengan tugas membuat teks drama, pasti ia akan memilih bermain video game seharian atau mungkin menelpon sang gadis. Sayangnya, Chika harus menghadiri pemakaman salah satu kerabat dekat keluarganya. Semalam Chika baru memberi tahunya perihal ini.
***
Pukul tiga sore, keadaan kafe memang tengah ramai, jadi sedikit kesulitan mencari meja yang dipesan Jamal. Apalagi Jamal juga tak memberi tahu letak tepat mejanya, Haikal kesulitan mencarinya. Mau tidak mau ia harus duduk di salah satu bangku kosong yang dia harapkan tak ada pemiliknya.
Sampai Haikal melihat sosok laki-laki yang lebih pendek darinya berjalan dengan setelan jaket abu-abu dan sepatu putih mendekati. Laki-laki bernama Yogi itu memandang datar Haikal yang juga memandangnya. Dikepalanya, kenapa Jamal memesan meja dengan kursi yang hanya berjumlah dua, sedangkan mereka bertujuh. Ini bukanlah acara kencan—batinnya.
"Untung saja kau datang cepat. Aku tak tahu dimana meja yang dipesan Jamal, Bang"
Pantas. Hampir saja Yogi menepuk dahinya sendiri. "Kau punya mulut, bisa digunakan untuk bertanya, bukan?" tandas Yogi.
Tak ada sahutan sama sekali dari Haikal. Bukan karena ia tersinggung dengan ucapan Yogi, justru ia tak terpikirkan saat Yogi bicara seperti itu. Akhirnya Haikal hanya membuntuti Yogi menanyakan meja pesanan Jamal pada salah satu pelayan yang menjaga kasir.
Meja bernomerkan dua belas itu menjadi tempat mereka berkumpul. Beberapa menit setelah pelayan menunjukkan mejanya, Jamal datang diikuti beberapa anggota lain dibelakangnya. Saling menyapa satu sama lain, lantaran sekitar satu bulan tidak bertemu. Tidak ada perubahan dari ketujuhnya. Masih sama seperti saat terakhir bertemu.
"Sekali-sekali tak apa kan kita berkumpul?" adalah Nanda yang membuka obrolan lebih dulu. Lagipula, memang ide ini datangnya dari otak pintarnya-bukan, lebih tepatnya Kayla.
Tomi yang nampak melihat satu per satu temannya berujar, "Tidak bisakah kita pesan minuman dulu?" katanya dengan nafas yang sedikit tersengal. "Sungguh, aku haus setelah mengejar bus tadi" lanjutnya.
"Memangnya ada apa dengan mobilmu?" tanya Jamal.
"Aku menggunakan motor. Tapi, saat perjalanan menuju ke sini, ban-ku bocor. Jadi kutinggal motorku di tambal ban," jelasnya. Tomi memang yang paling datang terakhir. Bahkan tatanan rambut yang sudah dirapikannya sekitar lima belas menit di rumah tadi, sudah berubah seperti orang bangun tidur.
"Kenapa tidak menghubungiku?" tanya Dirga.
"Bisakah kalian tahan pertanyaan kalian itu? Aku sangat haus"
Sebenarnya teman-teman Tomi ini tengah mengerjainya. Mereka tahu jika Tomi kelelahan, hanya saja mengerjai seseorang itu mengasyikan. Disaat seperti ini, yang tidak mereka punyai hanya hati nurani. Saling mengejek, saling mengerjai satu sama lain. Tak ada satupun dari mereka yang teringgung, asal mereka tahu batasan untuk saling mengejek.
Kasihan melihat teman dekatnya sangat kelelahan, Jamal menawarkan diri untuk memesankan minuman untuk keenam temannya juga dirinya. Ya walaupun masih diselingi dengan candaan—masih berniat mengerjai Tomi.
Saat pesanan datang pun, Tomi masih dikejutkan ketika Jamal memberikannya sebotol air mineral. Bukannya tidak mau berterimakasih karena sudah dipesankan, tapi yang Tomi butuhkan saat ini minuman dingin dan menyegarkan. Protes pada Jamal pun rasanya percuma, karena Jamal menjawab dengan kalimat yang tidak sepenuhnya benar ataupun salah.
"Itu juga dingin dan menyegarkan, Tom. Aku mengambilnya di lemari pendingin,"
Kalimat Jamal barusan, disambut gelak tawa kelima teman lainnya. Raut wajah Tomi juga mulai terlihat masam, lebih baik Tomi habiskan saja air mineral ini, setelah itu pulang. Biarlah teman-temannya yang membayar minumannya.
"Tenang Tomi, pesananmu sedang dibuat. Mereka kehabisan stroberi untuk membuat minumanmu," jelas Jamal pada Tomi yang baru saja menghabiskan sebotol air mineral itu.
Sudahlah, Tomi tidak jadi berniat pulang. Minuman kesukaannya sebentar lagi juga akan datang. Laki-laki ini tidak serius merajuk. Nanti malah tidak ada yang mau mengantarnya ke tambal ban. Tidak mungkin harus naik bus lagi, uangnya bisa buat membayar tambalan ban motornya. Omong-omong, Tomi memang terkenal pelitnya jika sudah menyangkut uang.
Serius, ini akan jadi momen yang sangat langka untuk mereka. Karena Haikal dan Nanda yang akan menyusun skripsi, serta Dirga yang akan ujian kelulusan. Sisanya, juga pasti memiliki kehidupan yang harus diurus.
Langit senja yang semakin redup tergantikan gelapnya malam, tak membuat ketujuhnya semakin bosan untuk terus membahas sesuatu. Sampai, sebuah tangan putih menyentuh salah satu pundak laki-laki termuda disana. Membuat kejut keenam orang-kecuali Jamal yang tahu akan hadirnya wanita ini. Siapa lagi kalau bukan sang manajer? Pengatur segala jadwal Goldie.
Tak luput dari pandangan Jamal, sebuah amplop coklat yang dipegang tangan kiri Caroline menarik atensinya setelah wanita itu menyapa keenam temannya. "Olin, amplop apa yang kau bawa?"
"Hey, tidak sopan sekali kau memanggil namanya langsung," tegur Septian tiba-tiba.
"Tidak apa-apa, Septian. Sebenarnya aku lebih nyaman dipanggil nama langsung oleh kalian. Jangan memandang dari umurku," tuturnya lembut. "Aku kesini ingin memberi tahu kalian berita bagus. Surat ini datang dari Venus Entertainment. Kalian keterima diagensi ini," ditunjukkannya amplop itu.
Semua terkejut, termasuk Dirga yang juga tak menyangka kalau manajernya ini juga tahu perihal keterimanya Goldie diagensi ini. Ditambah kalimat Caroline yang baru saja dilontarkan.
"Aku mengirimkan salah satu video saat kalian tampil," lirihnya menatap ketujuh laki-laki didepannya. "Maaf, aku tak memberi tahu kalian lebih dulu,"
Tunggu, ini aneh—batin Dirga. Air muka Caroline yang ditangkap Dirga, tak menampilkan ada kebohongan disana. Namun, dia juga bingung kenapa Chika dan Caroline bisa tahu dalam waktu yang berdekatan. Dan alasan mereka juga sama, sama-sama mengirimkan video ke agensi itu. Memang benar, suatu panggilan itu bersifat resmi apabila mendapat surat resmi juga. Tapi, tidak mungkin juga Chika mengarang cerita. Gadisnya saja masih polos begitu.
"Kau benar-benar manajer yang baik. Mas Arka memang tepat menjadikanmu sebagai manajer kami," kata Jamal.
"Baiklah, kalau begitu aku pamit. Aku tadi sedang berada di seberang sana. Lalu teringat bahwa kalian akan berkumpul disini, jadi sekalian saja. Nikmati waktu kalian," pamitnya dengan senyuman ayu.
Wanita itu berjalan menjauh dari meja hingga tenggelam dalam kerumunan orang depan kafe. Membuat Haikal cepat-cepat merapat pada Jamal. "Jamal, kau yang memberitahunya, kan?"
"Jamal itu menyukai manajer sendiri. Dia saja sampai memujinya tadi," sela Yogi.
"Bisakah kalian berhenti memanggilku Jamal? Berapa kali aku katakan, sekarang aku ini Jimmy," kesal Jamal. Temannya selalu saja memanggil dengan nama aslinya.
"Jamal. Jamal. Jamal." ejek Tomi pada teman seumurannya itu. Ini saatnya dia membalas kejahilan Jamal tadi. Rasakan saja balasan untuk Jamal. Biasanya pembalasan itu lebih menyakitkan. Tomi jadi tertawa sendiri dalam batinnya.
"Jamal," sambung Dirga yang turut menjahilinya.
Sontak Jamal melirik ke arah Dirga. Sudah tahu Jamal itu dua tahun lebih tua darinya. Masih saja anggota yang dianggap bocah oleh keenam temannya itu menantang Jamal. Bukannya mengaku salah, malah mengikuti Jamal yang menautkan kedua alis dilanjutkan dengan kekehan.
Namun tak berlangsung lama kegiatan saling mengejek itu terjadi. Karena kalimat yang mengalun dari bibir Tomi, lebih mendapatkan perhatian.
"Tapi aku tak terlalu menyukainya," ucapnya polos. Birainya bahkan sampai maju-maju saat sedang berbicara. Kedua tangannya juga digunakan untuk menopang dagu. "Menurutku dia suka menggoda,"
Sorot mata Jamal yang ia berikan pada Dirga beralih pada Tomi. Tatapan itu semakin menyalang, seakan tak terima apa yang diucapkan. Wajar saja sih jika Tomi berkata begitu, memang kenyataannya beberapa kali Tomi melihat manajernya itu menggoda seorang lelaki. Hanya saja, dirinya tak mengatakan siapa laki-laki itu.
***
Meja hitam yang penuh dengan alat gambar hingga tak menyisakan sedikit ruangpun, tak terjamah sama sekali. Sang pemilik yang masih sibuk dengan benda pipih yang tersambung panggilan sedikit menghambat pekerjaan yang belum selesai. Biasa, Arum jika sudah berhubungan dengan mata pelajaran matematika pasti akan mengganggu Chika. Padahal Chika masih mengerjakan tugas menggambarnya.
"Sudahlah, Arum. Selesaikan dulu saja menggambarnya, aku tahu kau juga belum menyelesaikannya," ucapnya yang baru saja mengapit ponselnya dengan pundak. Tangannya digunakan untuk merapikan peralatan yang terlihat berantakan. "Matematika masih tiga hari lagi. Besok bawa saja bukunya, akan kuajarkan caranya. Aku janji,"
Mungkin temannya itu sedikit kecewa, terdengar jelas Arum menghela nafas kasar. Masalah ini bermula saat tadi siang setelah jam istirahat kedua. Sudah tahu mata pelajaran selanjutnya matematika, Arum malah tertidur. Chika juga sudah berusaha membangunkan teman sebangkunya itu, karena Pak Surya berjalan menghampiri meja keduanya. Hasilnya, Arum memiliki tanggungan untuk mengerjakan tiga soal yang harus dikerjakan pada pertemuan selanjutnya.
Arum tidak tahu saja dibalik suara Chika yang akan membantunya, gadis itu tertawa. Mau tidak tertawa, bagaimana? Arum sadar jika dirinya lemah dalam pelajaran berhitung, malah mencari masalah dengan guru pengampunya. Ini akibat Arum yang terlalu banyak makan saat istirahat.
Panggilan keduanya terputus begitu saja—lebih tepatnya Chika yang memutuskan. Jika tidak cepat diakhiri, bisa-bisa Arum menanyakan matematika lebih lama lagi. Lebih kesalnya lagi, baru saja menyentuh pensil selepas menutup panggilan, ponselnya berdenting. Sebuah pesan baru saja menghampiri ponselnya.
'Sedang apa, Chika?'
Satu kalimat pertanyaan yang dikirim Dirga. Demi apapun, Chika akan menampar siapa saja dengan kalimat-kalimat panasnya karena mengganggunya mengerjakan tugas.
Baru saja akan mengambil ponselnya, panggilan video itu lebih dulu menyapa. Menampilkan laki-laki yang terduduk mengenakan piyama hitam.
"Kenapa lama sekali menjawabnya?"
Jika kalian berharap Dirga akan mendapat respon yang lucu dari sang gadis, kalian salah besar. Pada kenyataannya, Chika menyuarakan kekesalannya dengan nada tinggi. Dan itu cukup membuat Dirga terkejut.
"Kak Dirga bisa tidak sih, jangan melakukan panggilan video malam-malam begini?! Kak Dirga juga pasti tahu kan, ini bukan weekend. Chika punya tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas. Arum tadi sudah mengganggu, sekarang Kak Dirga juga mengganggu. Ini sudah pukul sepuluh malam, dan tugas Chika belum selesai," cebiknya yang langsung menutup panggilan Dirga.