Laki-laki yang berada di ruangan penuh akan rak berisikan ribuan buku, tengah berkutat dengan dua buah buku mata kuliahnya. Tampilan yang layaknya seorang asisten dosen karena kacamata yang tergantung dipangkal hidung bangirnya—ya, memang asisten dosen. Serta alis yang saling bertautan menegaskan bahwa dirinya sedang tidak ingin diganggu.
Mungkin sedang mengejar materi untuk ujiannya, atau mungkin tengah membantu pekerjaan sang dosen. Entahlah, tak ada yang tahu pasti apa yang sedang dilakukannya. Yang jelas, dua buku ukuran tebal lebih penting dari ponselnya yang terus bergetar sejak sepuluh menit lalu.
"Sudah hampir satu bulan ini aku melihatmu rajin memasuki perpustakaan"
Seseorang telah menepuk salah satu bahu Nanda. Laki-laki itu jelas terperangah, kedatangan temannya yang tiba-tiba membuyarkan fokusnya.
"Apa grupmu itu sudah bubar?"
Nanda menggeleng, "Tidak, kami baik-baik saja. Memang kami sedang tidak ada panggilan untuk tampil"
Perempuan yang duduk dihadapannya tertawa kecil, membuka buku bertuliskan 'Mikroskop' disana. "Jika kalian baik-baik saja, tak mungkin kau membiarkan ponselmu saat ada panggilan masuk," ujarnya tanpa melihat Nanda. "Bukankah dia salah satu teman grupmu?"
Bisa jadi sang penelpon lelah untuk menghubungi Nanda. Saat laki-laki berbaju biru itu menoleh, ponselnya sudah dalam keadaan diam. Menatap sejenak sebelum akhirnya mengecek siapa yang menghubunginya.
"Ajaklah mereka sesekali berkumpul. Tak masalah tidak membicarakan tentang pekerjaan. Setidaknya hubungan pertemanan kalian masih terjalin,"
Nampak Nanda terdiam sejemang, menatap kosong perempuan bernama Kayla yang masih sibuk membaca buku. Hingga sedetik kemudian, buku-buku yang tadi menjadi pusat perhatiannya segera dirapikan.
"Kay, aku pergi dulu. Aku harus menemui dosen. Sampai jumpa," pamitnya pada Kayla.
Lantas Nanda meninggalkan Kayla sendirian pada tempat mereka saling bertukar kalimat. Melewati beberapa gedung fakultas menuju sebuah taman baca kampusnya. Menaruh kembali barang yang dibawanya, lalu membuka ponsel yang menjadi atensinya saat ini.
Ya, 'bertemu dosen' hanya alibinya. Setelah mendengar penuturan Kayla, sedikit banyak Nanda tersadar, apa yang dikatakan gadis satu kampus beda fakultas itu ada benarnya. Apalagi dirinya ini seorang pemimpin, tanggung jawabnya tak hanya sebatas pekerjaan.
Hazelnya meniti kata per kata pesan milik Jamal. Memahami isi kalimat sebelum akhirnya membalas pesan milik temannya itu.
Sebagai seorang pemimpin, Nanda tak hanya memimpin enam temannya. Namun, dirinya juga mendengar keluh kesah, entah itu masalah pekerjaan atau masalah pribadi dari masing-masing temannya. Jika dilihat, memang Nanda adalah satu-satunya anggota yang jarang memiliki masalah pribadi. Dia juga banyak belajar dari masalah teman-temannya. Bukan berarti yang lainnya tidak dapat percaya, hanya saja menceritakan keluh kesah pada sang pemimpin, lebih banyak mendapat masukan yang masuk akal.
Sebenarnya saat Nanda memiliki masalah, dia juga pasti bercerita pada teman tertuanya digrup. Menurutnya, cukup satu atau dua orang saja yang mengetahui permasalahannya. Pikir Nanda, kelemahan itu bukan hal yang harus ditunjukkan.
"Bang, disini," panggil Jamal pada salah satu meja kafe.
Keduanya kini berada di salah satu kafe, Nanda sengaja menyuruhnya ke kafe ini, lantaran jika berbicara pada ponsel rasanya tidak leluasa untuk mengutarakan semuanya.
"Lama tak jumpa, Mal," sapanya saat Nanda hendak mendudukan diri.
"Namaku Jimmy, aku sudah merubahnya," ucapnya sambil memasukkan kedua tangan pada saku celana.
"Hahaha.. Baiklah-baiklah. Jimmy," katanya. "Memangnya, apa yang ingin kau ceritakan?" lanjutnya, masih dengan sisa tawa yang tertinggal.
Jamal meletakkan tangannya pada meja, menarik nafas sebelum berkata. "Begini, Goldie telah memutuskan untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing, dan hanya akan bekerja sebagai penyanyi kafe," jedanya. Terlihat Nanda mengangguk. "Berarti, peraturan yang waktu itu kau buat tentang 'berpacaran' tak berlaku lagi, bukan?" lanjutnya dan Nanda masih mengangguk sebagai jawabannya.
"Berarti, jika aku menyukai manajerku sendiri, tidak salah, bukan?"
Nanda sukses terdiam dibuatnya. Entah kerasukan hantu dari mana Jamal bisa mengatakan pernyataan seperti itu. Bukan apa-apa, sih. Pikir Nanda disini, jika nanti keduanya benar memiliki hubungan, dan suatu saat mereka akan memiliki permasalahan, apakah bisa tidak dibawa dalam pekerjaan?
"Kau serius?" tanya Nanda.
Jamal tampak mengernyitkan dahi. "Memangnya kau pernah melihatku tidak serius dengan wanita?" tanyanya balik disana.
"Selalu. Kau itu perayu ulung," tembak Nanda tepat sasaran.
"Itu dulu. Sekarang aku sudah berubah"
Sang pemimpin itu kembali terdiam, menyaksikan Jamal yang tengah menyesap kopi yang sudah dipesannya terlebih dulu. Bermain dengan pemikiran sendiri adalah kebiasaan Nanda. Otaknya bekerja dua kali lebih keras. Dimana dia harus menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh dosennya, serta Jamal yang tetap pada pendiriannya ingin menjadikan manajernya menjadi kekasihnya.
"Akan kupikirkan nanti. Aku harus kembali ke kampus," lantas Nanda bangkit dari tempat duduknya. Sebelum langkahnya dilanjutkan, Nanda sempat menyampaikan sesuatu. "Weekend, kita kumpul. Ajak yang lainnya juga. Sampai jumpa, Jamal,"
Punggung lebar itu menghalau begitu saja. Membiarkan temannya berteriak saat menyadari sesuatu. "Hey, namaku Jimmy,". Nanda hanya melambaikan tangan tanpa berbalik. Untung saja keadaan kafe tidak terlalu ramai.
***
Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Mengganggu seseorang yang sedang melakukan perawatan diri. Dengan setengah hati, ia berjalan menghampiri pintu yang terus menerus terketuk.
Jika didrama, sang pemilik rumah akan terkejut ketika ada seorang tamu yang datang tanpa mengabarinya dulu. Lain halnya dengan saat ini, sang tamulah yang terkejut saat melihat pemilik rumah hanya menggunakan bathrobe dengan wajahnya yang sangat putih. Tamu itu adalah seorang pengantar surat.
"M-maaf Bu, eh mbak" gugup si pengantar surat. "Saya hanya ingin mengantarkan surat atas nama Natasya Caroline," lanjutnya.
Perempuan itu menerima amplop coklat dengan sedikit rasa penasaran yang bercokol. Pengantar surat itu lantas pamit sebelum pergi meninggalkan pelataran rumah Caroline. Tanpa berlama-lama, dibukanya penutup amplop itu. Dari sisi depan maupun belakang amplop yang dipegangnya, tak ada nama pengirimnya.
Kedua mata perempuan itu tampak terbelalak saat melihat nama pengirim pada kertas putih yang baru saja diambil dari dalam amplop. Ada dua perasaan yang singgah dihatinya selepas melihat surat itu. Pertama, sebagai seorang manajer, dirinya bahagia bahwa Goldie mendapatkan undangan kontrak. Kedua, sebagai seorang wanita, dia tidak bahagia. Lantaran rencana awalnya tidak berjalan sesuai keinginannya.
"Aku bahagia dengan kabar baik ini," ia melipat kedua tangannya didepan dada. "Tapi tidak bahagia juga, karena mereka harus berjalan bersama. Padahal, hanya Dirga yang ingin aku sukseskan,"
Sedetik kemudian ia kembali tersadar, alisnya juga hampir bertautan. "Tapi aku belum mengirimkan video apapun ke agensi ini," katanya bermonolog. Bahkan rahangnya sampai digerakkan. "Ah, sudahlah. Maskerku mulai retak"
Selepas dari urusan maskernya, Caroline berjalan menuju meja makannya. Hidup mandiri itu begini, apa-apa ya dilakukan dengan sendiri. Padahal usianya juga sudah matang untuk menikah. Alasannya jelas 'hanya menunggu Dirga', itupun jika Dirga membalas perasaannya.
Berkutat dengan bayangan indahnya, membuatnya tak sadar sebuah ketukan pintu hadir kembali. Memangnya barang seorang pengantar surat ada yang tertinggal?
Untung saja, perempuan itu telah selesai membersihkan wajahnya. Kalau tidak, orang itu akan terkejut lagi.