Meja makan hitam beserta piring berisikan roti dengan telur setengah matang siap untuk disantap empat anggota keluarga. Cangkir putih berisikan larutan kafein juga telah disiapkan sang istri. Satu dari empat kursi di ruang makan belum nampak figur yang akan menempatinya. Pasti telat bangun lagi.
Sang ibu yang memperhatikan anak gadisnya tengah menyantap sarapannya tersenyum sebelum akhirnya membuka obrolan. "Tumben memakai warna hitam?" tanyanya mengamati ikat rambut yang dipakai Chika. "Baru, ya?"
Mendengar suara ibunya, Chika menghentikan kegiatan mengunyah roti. Mengangguk mantap menjawab pertanyaan sang ibu. "Chika tidak ingin terlihat terlalu anak kecil," jawabnya sambil menggigit rotinya.
Ibunya hanya tersenyum. Padahal kalau kalian lihat, Chika itu mengikat rendah rambutnya dikedua sisi. Tidak ada hubungannya dengan ikat rambut yang berwarna hitam atau merah atau warna lainnya. Asal Chika nyaman, ibunya tidak mempermasalahkan mau bagaimana penampilan putri satu-satunya. Yang penting tidak melewati batas kewajaran saja.
Tiba-tiba saja terdengar suara derap langkah, berasal dari tangga penghubung lantai satu dengan lantai dua. Tubuh laki-laki yang menuruni lantai itu terlihat gontai dengan rambut yang masih acak. Piyamanya saja masih menempel lengkap. Menyusul anggota keluarga lainnya dimeja makan. Mengambil selembar roti tawar, tanpa olesan atau toping apapun, dimakannya roti tawar itu. Mungkin karena masih setengah sadar, makanya dirinya malas untuk makan yang terlalu ribet.
Bahkan sang ayah saja sampai terheran, kenapa dirinya bisa mempunyai anak seperti ini? Benar-benar tidak mewarisi sifatnya. Batinnya saja sampai tertawa. Sesapan kelima kopi miliknya menandakan telah habisnya larutan kafein didalamnya.
"Kau tidak kuliah?" tanya sang ayah pada Johan.
Anak pertamanya itu menggeleng dengan pandangan yang melamun sambil menggigit sisa roti tawar ditangannya.
"Kak, teman kakak yang kemarin kok keringatnya bau sekali? Padahal kan dia perempuan. Cantik juga," kata Chika tiba-tiba.
Chika sempat mendapat teguran sang ibu karena membicarakan orang dibelakangnya, ya tapi bagaimana, teman kakaknya kemarin kan perempuan, seharusnya bisa merawat diri. Pandangan Johan mendadak teralihkan pada kolam ikan dekat ruang makan. Mengisikan penuh sisa kesadarannya sebelum menimpali kalimat Chika. "Dia memang seperti itu. Cantik, tapi sedikit jorok," ujarnya.
Sepersekon kemudian sang ayah bangkit, mengambil jas serta tas yang ditaruhnya dilantai. "Cepat siapkan bekalmu, Papi tunggu di mobil," ajaknya pada Chika.
Dibantu sang ibu memasukkan beberapa potong roti pada kotak bekal, Chika membuka resleting tas dan memasukkan botol minum serta kotak bekalnya. Mencium pipi kanan sang ibu lantas menyusul sang ayah.
Di mobil Chika hanya terdiam, seketika teringat keadaan Dirga semalam. Pasti sampai sekarang masih dipikirkan oleh laki-laki itu. Mungkin hari ini Chika akan sedikit membantunya, pastinya dengan meminta bantuan Arum juga. Berharap cara ini berhasil.
Padahal sekolah Chika sudah dekat, namun tiba-tiba hujan mengguyur bumi. Ditambah Chika lupa membawa jaketnya, pasti hari ini suhu akan dingin. Mobil ayahnya juga tidak ada payung, mau tidak mau nanti dia harus berlari menuju kelasnya.
Untung saja Chika tidak berlari sendiri, ada beberapa kakak kelasnya juga yang berlari bersamanya. Tak masalah bajunya sedikit basah, yang penting Chika sampai kelas tepat waktu.
"Arum"
Teman sebelahnya tengah membuka cermin kecil, sedikit merapikan penampilannya. Menengok menerima panggilan Chika. Ditutupnya cermin itu, lantas menghadap Chika. "Hm? Ada apa Chika? Rindu?"
Chika mendengus kesal. Masih bisa saja Arum mengajaknya bercanda. "Ck," decaknya. "Boleh minta tolong, tidak?"
Melihat Arum yang mengangguk, Chika semakin bernyali besar untuk menggunakan cara ini. "Ayahmu kan bekerja di salah satu perusahaan label musik. Bisa tidak video ini dikirimkan ke perusahaan itu?" pintanya pada Chika, tangannya menyerahkan video yang ada pada tab-nya. "Kumohon".
"Ayahku tidak memiliki kewenangan untuk mengurus yang seperti itu," ucap Arum. Terlihat lesu menempel diwajah Chika, Arum jadi tak tega melihat teman sebangkunya seperti itu. Ya walaupun Chika terkadang menjahilinya, Arum itu masih punya hati nurani. "Tapi, akan kucoba tanyakan pada ayahku," lanjutnya.
Akhirnya Chika tersenyum cerah. Dirinya berjanji akan merapalkan doa agar usahanya berhasil. "Terimakasih, Arum".
Lain halnya di tembok belakang sekolah, bercak darah mengalir dari salah satu sisi. Jaket kulit yang dikenakan orang itu juga robek terkena kawat. Kedua tangannya juga bergetar, darah juga mengalir disela-sela jari tangan kanan. Giginya saling beradu menahan amarah yang mengadu otak dan hatinya. Matanya juga menyalang panas mengingat apa yang tengah dialaminya.
Tubuh Dirga bersender pada tembok, perlahan melorot dengan posisi terduduk memegangi lutut. Dering ponselnya juga diabaikan sedari tadi. Tak peduli siapapun itu, Dirga hanya tak ingin diganggu. Dia merasa benci pada dirinya sendiri. Sudah tidak mendapatkan hati Chika, sekarang tidak lolos audisi untuk entah yang keberapa kali. Memang masih ada harapan untuk menjadi arsitek, tapi itu bukan tujuan utamanya. Entahlah, sudah berapa lama Dirga disitu, sampai tidak mengikuti tiga mata pelajaran. Tasnya juga sengaja tidak ditaruh pada kelasnya. Sudah dipastikan memang Dirga membolos.
Hingga terdengar suara berat tengah menghampiri salah satu kantin dekat tembok dimana Dirga berada. Guru itu mendengar sesuatu seperti suara gemeresak, dan langsung menaruh kesimpulan jika salah seorang murid tengah membolos.
"Dirga?!"
***
"Arum," panggil Chika dengan lirih. Saat ini pelajaran bahasa sedang berlangsung. Namun, sesuatu mengganggunya. "Arum, perutku sakit sekali"
"Kau kenapa Chika?" dia melihat wajah Chika sudah pucat pasi. Tangannya memegangi perutnya. Kuku-kuku jari tangannya juga mulai memutih. Arum sampai ikut panik karena Chika mengerang kesakitan. Tanpa pikir panjang, Arum langsung berdiri meminta izin untuk membawa Chika ke ruang kesehatan.
Bu Citra selaku guru bahasa juga menyuruh Alya-ketua kelas untuk membantu Arum membawa Chika ke ruang kesehatan. Padahal tersisa dua jam pelajaran terakhir, namun sakit yang dirasakan tak kunjung reda. Saking sakitnya Chika tak sempat memakan bekalnya. Alya juga menyuruh Arum untuk membawakan bekal Chika, siapa tahu temannya ini terkena magh.
Ketika sampai di ruang kesehatan, Chika ditidurkan pada brankar samping kotak obat. Dua tangan gadis itu terasa dingin, tubuhnya juga mengeluarkan keringat. Arum dan Alya tak tega meninggalkan temannya, namun Chika menolaknya dengan alasan akan tidur hingga sakitnya hilang. "Kalian kembali saja ke kelas, jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja," ucapnya lirih. "Terimakasih" tuntasnya saat kedua temannya hendak membuka pintu.
Chika memejamkan maniknya berharap dapat tertidur dan tidak merasakan sakit, supaya saat terbangun dia tidak merasakan sakitnya lagi. Beberapa menit matanya terpejam, samar-samar dirinya mendengar guru konseling yang memberi peringatan. Awalnya Chika tak memperdulikan sebelum ia mendengar guru itu menyebut nama Dirga, karena posisi ruang kesehatan dengan ruang konseling bersebelahan.
Dengan tubuh yang tertatih juga sisa tenaga yang dipunya, Chika memaksakan untuk bangkit melihat Dirga. Berkali-kali mengatur keseimbangannya sampai akhirnya terhenti di depan pintu saat melihat Dirga kabur ke arah atap ketika guru konseing meninggalkannya sendirian diruangan konseling. Sejenak lupa akan sakitnya, Chika bergegas mengambil kotak bekalnya sebelum mengejar Dirga.
Perlahan menaiki satu per satu tangga, mengabaikan rasa sakit. Diatas, dia melihat Dirga yang duduk bersenderkan tembok, salah satu kakinya ditekuk dengan tangan yang bertumpu diatasnya, kaki lainnya dibiarkan terselonjor.
"Kak Dirga"
Dirga sama sekali tak menoleh ke arah datangnya suara. Dia juga tahu siapa yang datang. Terlihat dari ekor matanya, sang pujaan berjalan ke arahnya. Tidak, saat ini tidak ada kata 'cinta' dulu diotaknya.
"Kak Dirga kenapa seperti ini?" tanya Chika masih dengan intonasi lembut walau Dirga tak membalas ucapannya. Jujur saja, Chika sama sekali tidak memprediksi akan seperti ini. Dia hanya khawatir Dirga tidak makan karena masih merasa sedih. Itu tujuan Chika membawa bekal hari ini. "Chika tahu kakak pasti belum makan," Chika memberikan kotak bekalnya.
Bukannya uluran tangan berurat itu menerima, malah kotak bekal berwarna merah terlempar jauh ke arah utara. Tiba-tiba saja hati Chika teriris juga terasa sesak saat maniknya harus menahan genangan agar tak tumpah begitu saja. Padahal raganya memaksa untuk meluapkan sesaknya. Bahkan, ini lebih sakit dari sakit perutnya.
Dirga tak menampik jika yang dilakukannya barusan itu menyakiti perasaan Chika. Pikirannya lebih didominasi oleh emosinya sendiri. Rematan tangan yang terluka, menambah rasa perih yang ada setelahnya dia memukul tembok belakang sekolah. Untuk membalas tatapan Chika dia tak sanggup.
Jika saja dirinya sedang tak dikuasai emosi, Dirga pasti akan menerima kotak bekal itu. Dan dipastikan juga, mereka akan makan bersama. Di atap gedung sekolah,. Berdua.
Terdengar sayup suara Chika mengeluarkan kalimat terus-terusan. Menyadarkan Dirga dari perbuatannya ini, bahkan menjelaskan kemungkinan konsekuensi yang akan diterimanya. Tentu saja Chika khawatir, karena Dirga bukanlah salah satu murid yang memiliki riwayat buruk di sekolah, malah sebaliknya.
"Kak Dirga tahu," Chika menjeda ucapannya, menarik nafas kelewat panjang. "Saat ini, ingin sekali Chika marah pada Kak Dirga, ingin sekali memukul Kak Dirga, ingin sekali memaki Kak Dirga, ingin sekali membenci Kak Dirga". Chika menyeka kasar air matanya. "Tapi tidak bisa. Chika terlalu sayang dengan Kak Dirga," imbuhnya.
Dirga mendongak, melihat wajah ayu sang gadis yang basah air mata. Lantas melihat langit yang menggelap. Hujan akan turun kembali. Dirinya mencoba berdiri memegang tangan putih gadis di depannya yang masih terisak. Belum saja niat itu terlaksana, Chika lebih dulu memeluknya.
"Chika sayang Kak Dirga," ucapnya bersamaan turunnya hujan. Namun yang Chika dapatkan, Dirga menjauhkan tubuhnya dan meninggalkannya. Dirinya sudah akan bersumpah menjauhi Dirga selamanya sebelum akhirnya sebuah jaket kulit berwarna hitam menutupi kepalanya. Juga, kotak bekal miliknya ditangan laki-laki itu. Iya, Dirga yang melakukannya.
Membawa Chika berteduh adalah putusan paling benar. Dirga tak akan tega jika Chika dibiarkan hujan-hujanan.
Dirga menyesal, menyesal atas semua yang dilakukannya hari ini. "Maafkan aku, Chika. Aku berjanji akan menanggung apapun konsekuensinya,"
Dirga mengusap pipi Chika lembut, merapikan poni Chika yang berantakan akibat air hujan. Sempat juga dia mencubit tulang hidung sang gadis. "Sudah, jangan menangis".
Jika dihitung sisa dua jam pelajaran telah habis. Waktu memang akan berjalan cepat ketika kita tidak mengeluhkan keadaan. Keduanya juga sudah berbaikan, Chika juga membalut tangan Dirga yang terluka menggunakan facial headband miliknya. Mau tidak mau Dirga harus memakainya. Untung saja berwarna merah, darahnya jadi tidak terlihat
Hampir pukul tiga sore sebelum setelah jam pelajaran terakhir selesai, Dirga menuntun Chika menuruni tangga, kembali ke ruang kesehatan. Ya tadi Dirga bertanya bagaimana Chika tahu jika dirinya di atap sekolah.
"Kita makan bekalnya di sini saja"
"Jangan. Tidak usah dimakan," cegah Chika pada Dirga yang hendak membuka penutup kotak bekal itu. "Bekalnya sudah rusak, nanti Kak Dirga tidak suka"
Ah, ini semua salahku, begitu batin Dirga. "Bagian sini masih bisa dimakan," tuturnya sambil menyingkirkan bagian roti yang masih bisa dimakan. Memang, membuat hati orang yang disayang sakit, itu seperti menusukkan pedang pada diri sendiri. Karena ulah diri sendiri, orang lain yang harus tersiksa.
Sepuluh hari selepas kejadian di atap sekolah, sedikit demi sedikit Dirga bisa menerima keadaannya sekarang. Benar kata Chika, kegagalan itu bukan berarti tidak akan sukses. Ya walaupun masih sempat beberapa kali menangis, percayalah sekarang Dirga sudah bisa menerimanya.
Teman-teman Dirga juga menjalankan kehidupan mereka masing-masing. Menjadi mahasiswa, bekerja paruh waktu. Mencari titik harapan baru untuk bertahan hidup.
Sekarang ditempat yang penuh dengan perlengkapan cat, Dirga bekerja. Bekerja tanpa dibayar. Memangnya siapa yang mau bekerja tanpa dibayar? Tentu saja hanya Dirga yang menginginkannya. Bagaimana tidak, lantaran rumah Chika-lah yang menjadi tempatnya bekerja.
Mengubah warna dinding, memberikan dekorasi baru, pokoknya Chika ingin yang kekinian. Memang banyak minta Chika ini, Dirga sampai tertawa dalam hatinya. Semenggemaskan itu gadis yang datang dengan tangan membawa penampan.
"Kak Dirga, makan siang dulu"
Menghampirinya yang tengah duduk bersandar pada pinggiran ranjang Chika. Lucu sekali penampilan Chika siang ini. Rambut yang dikuncir asal, serta baju dengan ukuran besar hingga menutupi celana pendek yang dipakai.
Dilihatnya gadis itu mengamati setiap inci. Tak ada kalimat penolakan yang keluar dari bibir merah itu. Bahkan saat melihat satu gambar disalah satu dinding, Chika malah tersenyum lebar. Dirga rasa itu terlihat lucu bagi Chika, sebuah gambar hati dengan dua warna kesukaannya dan juga sang pelukis gambar itu.
"Suapin," bukan Dirga namanya jika tidak menggoda Chika.
Air muka Chika seketika berubah, menoleh pada laki-laki yang tengah menjahilinya. Ah, tidak. Chika tidak tahu jika Dirga menjahilinya. "S-suapin?" matanya mengerjap beberapa kali.
"Tanganku penuh dengan cat, Chika. Tidak bisa makan. Padahal aku lapar" alibinya, tangannya memegangi perut, seolah-olah memang lapar. Dirga mengamati wajah lugu Chika yang masih terdiam. Lucu sekali. "Kau bilang aku kakakmu. Tidak masalah dong, aku menyuruh adikku untuk menyuapiku". Tanpa Chika sadari, Dirga memasang senyum kemenangan.
Lantas Chika mengambil piring berisikan makan siang untuk laki-laki itu. Chika itu jelas kalah telak dengan Dirga. Ini salahnya sendiri yang berkata menyayangi Dirga seperti kakaknya saat kejadian di atap sekolah.
Duduk bersimpuh dihadapan Dirga, menatap mata seindah mata anjing. Memberikan satu suapan tanpa memutuskan kontak mata. Yang Chika menatap dengan kekesalan, yang Dirga menatap penuh kemenangan.
Namun sepersekon kemudian, Dirga mengambil alih piring dari tangan putih Chika. Memberikan satu suapan juga pada Chika, karena dia tahu gadis itu juga belum makan lantaran menemaninya mengubah kamar. Sebenarnya juga ini pemaksaan dari Dirga. Pikirnya, secara tak langsung mereka berciuman. Dan terus dilakukan bergantian. Ingatkan Dirga setelah ini dia tak akan minum.
"Lagi," titah Dirga memberikan satu suapan namun ditahan Chika.
"Ini mulut Chika sudah penuh, Kak" rengeknya karena Dirga terus memberikan suapan demi suapan untuk Chika. Tapi Dirga tak mengindahkan rengekan Chika. Sampai akhirnya gadis itu memiliki cara ampuh menghentikan kegiatan 'pemaksaan' ini.
"Kakak sayang, berhenti"
Dirga terdiam sejenak sebelum berkata, "Baik. Jika tanpa 'kakak'," terdengar penekanan pada kata 'kakak'.
"Sayang,"
.
.
.
bersambung