Barang sehari saja rentetan kalimat pada kertas putih yang dipegangnya dapat teringat jelas dikepala. Sebenarnya banyak lembaran yang harus dipelajarinya, namun Arka mengatakan kertas itu yang harus diprioritaskan. Kertas putih berisikan hal-hal yang harus dihindari beberapa anggota, seperti phobia atau alergi.
Memilih menyandarkan diri pada sofa masih dengan membawa beberapa lembar kertas ditangannya. Jika dipikir kembali, menggantikan posisi manajer lama itu cukup sulit. Apalagi masing-masing anggota dari grup bernamakan Goldie belum terbiasa akan kehadiran Caroline.
Omong-omong soal anggota Goldie, Caroline jadi teringat sesuatu yang ia baca. Dirga tak suka kue dan lilin ulang tahun? Tapi kenapa?-batinnya. Entahlah, wanita itu sedang malas untuk berpikir keras. Ditambah seminggu lagi adalah hari mereka untuk tampil diacara pernikahan. "Lebih baik aku merebahkan diri saja".
Caroline bangkit dari sofa, tungkainya diarahkan menuju kamar mandi bertujuan untuk membersihkan diri sebelum akhirnya keluar dengan pakaian yang berganti dengan piyama bermotif mawar putih. Lanjut merebahkan diri pada kasur. Dirinya mencoba untuk menutup kedua maniknya namun terhalang oleh bayangan yang sekilas terlintas. Bayangan saat dirinya pertama kali bertemu Dirga. Tiba-tiba dadanya terasa sedikit sesak saat kembali mengingat kalimat Dirga sebelum meninggalkan kantor Arka.
'Lebih baik lindungi apa yang harus dilindungi darimu. Jangan memberikannya dengan cuma-cuma'
"Apa aku keterlaluan, ya?" Caroline menatap sedu benda pipih yang berada di atas nakas samping tempat tidur sebelum. "Percuma, aku tak memiliki nomornya" lanjutnya disertai helaan nafas panjang.
***
Surya mulai menampilkan wujudnya, menyebarkan salah satu sumber kehidupan makhluk ke penjuru bumi. Embun juga tak segan membasahi dedaunan, aromanya yang khas dipagi hari menimbulkan kedamaian bagi orang yang menghirupnya.
Namun saat ini diitempat lain mungkin tak seindah pagi ini. Dimana gadis berpiyama merah satin itu berteriak, lantaran sebuah tangan berurat tengah meringkuk kuat diperutnya. Bukannya segera tersadar dari tidurnya, tangan itu malah membekap lembut bibir kecil yang mengganggu paginya.
"Ssstt... Diamlah. Ini masih terlalu pagi untuk bangun" kata Dirga masih dengan mata yang tertutup.
Chika membelalakan matanya serta menahan nafasnya sebentar. "Ini sud-h jum l-ma. Kuk D-rga hurus meng-nt-rkan Ch-ka pulang"
Laki-laki itu tak langsung menjawab, tangannya melepaskan bekapan dari bibir Chika. Mengubah posisinya bersandar pada sandaran ranjang. Sedikit melakukan peregangan untuk melemaskan otot-otot serta sendi.
"Lihatlah," tunjuk Dirga pada tas marun yang terletak di atas sofa kecil disudut ruangan.
"Bagaimana bisa?" ucapnya lirih.
"Kak Johan tadi malam menelponku untuk menunggunya datang membawakan pakaian untukmu," jelasnya.
Chika mengernyitkan dahinya serta memberikan tatapan bingung pada Dirga yang terlihat tengah menguap. Bibirnya bergerak tak beraturan, sebelum ia mengeluarkan sebuah pertanyaan. "Terimakasih sudah menjelaskan itu. Tapi, b-bagaimana bisa Kak Dirga m-masuk ke kamar ini?"
"Kau saja tak ingat bagaimana kau bisa tertidur"
Chika mengalihkan pandangannya, melilihat ke segala arah demi mengais ingatannya kembali. Bahkan gadis itu mendengar dengusan nafas Dirga yang diyakini sebagai dengusan mengejek karena dirinya tak ingat. Memang kapasitas otak Chika kecil sekali. Mendadak gadis itu mengerang kecil tanda ia sudah mengingat. "Chika ingat, terakhir Kak Dirga mengajak Chika bicara setelah Chika mengganti pakaian".
"Lalu kau tertidur dan aku menggendongmu sampai kamar". Lantas Dirga menurunkan kedua kakinya membelakangi Chika yang masih mencerna penjelasan Dirga. "Padahal kau belum menjawab pertanyaanku semalam" lirihnya.
Manik Chika menatap punggung Dirga yang sudah menghilang dari balik pintu. Sejemang gadis itu memikirkan gumaman Dirga. Jika boleh jujur, sebenarnya gadis itu mendengar pertanyaan Dirga semalam, walaupun terdengar samar. Gadis itu sedikit merasa bersalah, tapi tidak dapat dipungkiri juga kalau gadis itu belum merasakan perasaan yang sama terhadap Dirga. Baginya Dirga masihlah seperti kakak kedua setelah Johan. Apalagi kemarin sebelum Chika memberikan kejutan ulang tahun untuk Dirga, ia mendengar semua percakapan dari depan ruang latihan. Kepalanya sudah dibuat berpikir padahal masih pagi.
Jam sudah menunjukan pukul enam kurang sembilan menit, dengan segera Chika menuju kamar mandi. Mengguyur tubuh dengan air hangat sedikit lebih menenangkan pikirannya saat ini. Hingga keluar sudah lengkap dengan seragam yang melekat ditubuh. Berjalan keluar kamar dengan menenteng tas kesayangannya.
Terlihat di meja makan seorang gadis dengan jas putih yang disampirkan disandaran kursi sedang mengunyah roti tawar berselaikan stroberi, serta seorang wanita paruh baya yang baru saja menaruh beberapa gelas susu.
"Pagi Ma, Pagi Kak Dinda" sapa Chika.
"Pagi sayang. Ayo sarapan dulu"
Chika hanya mengangguk, tangannya sudah terulur untuk mengambil roti tawar serta selai yang disukainya. Baru mengoleskan selai merah itu saja, Chika sudah tidak sabar untuk menyantapnya. Namun rasa laparnya tiba-tiba ditimpa oleh rasa kesal saat Dirga menyambar roti yang baru saja selesai diolesi. Sang pencuri malah menjulurkan lidahnya. Benar-benar pencuri yang tidak beradab.
Baiklah, kali ini Chika akan mengalah. Dengan hati sedikit kesal, gadis itu mengambil selembar roti tawar lagi, mengoleskannya lagi dengan selai yang sama. Bahkan roti itu sampai membentuk cap tangan Chika, karena memegang terlalu kuat.
"Om Adhi kemana, Ma?" tanya Chika setelah melihat salah satu kursi kosong.
"Om Adhi sudah berangkat lebih pagi tadi"
Saat Chika tengah melanjutkan sarapannya, mendadak kalimat yang dilontarkan Dinda sedikit membuatnya tersedak.
"Kau bisa berjalan?"
"Bisa, Kak"
"Tidak ada yang sakit?" tanyanya lagi setelah menyesap satu tegukan susu. "Dibagian bawah perut, mungkin?"
Chika terdiam sejenak. Haruskah hal itu dibicarakan diatas meja makan seperti ini?. "I-iya Kak. Sakit".
Dinda beberapa kali berdecak disertai gelengen kecil. Menatap Dirga seperti seorang yang memprihatinkan. "Kau bilang hanya akan menciumnya, kenapa bertindak lebih jauh?"
"Sayang, apa maksud ucapanmu?" tanya sang ibu tiba-tiba.
Seperti biasa, Dirga akan menendang kaki sang kakak. Untung saja pagi ini mood Dinda sedang baik, kakaknya hanya mengerang kesakitan. Tanpa melihat sang adik, Dinda lebih memilih menimpali pertanyaan ibunya. "Biasa, Ma. Chika pasti sedang haid," jedanya sambil menghabiskan sisa susu. "Aku menanyakannya sebagai seorang dokter".
"Bukan yang itu, sayang. Tapi, ucapanmu setelah itu.
Kemudian Dinda berdiri, mengambil jas putihnya serta tas yang ditaruh lantai. "Aku ada kelas praktik pagi ini. Untuk yang tadi itu, Mama bisa tanyakan saja pada Dirga. Dirga akan menjelaskannya" katanya sambil mengecup pipi sang ibu sebelum menghalau pergi, meninggalkan tiga orang yang masih dirundung kebingungannya masing-masing.
Dirga hanya bisa merutuki kakaknya didalam hati. Mungkin saat malam nanti Dirga akan membuat perhitungan. Namun, untuk saat ini dirinya hanya bisa gusar, jantungnya pun berdetak tak karuan. Untuk menelan salivanya sendiri juga sulit. Apalagi sang ibu yang menatapnya dengan air muka butuh penjelasan. Sungguh, ini bukan situasi yang diinginkan Dirga dan Chika. Maka dengan Chika beralasan sudah hampir terlambat, Dirga bisa terselamatkan.
"Ma, Chika dan Kak Dirga berangkat dulu, ya" pamitnya sebelum keduanya masuk ke dalam mobil Dirga dengan penuh kelegaan.
.
.
.
bersambung