Gudang tua bekas pabrik roti disulap menjadi markas para mafia. Dani, ketua mafia kini menatap anggotanya yang sudah berkumpul dihadapan nya. Walau sudah pagi, tapi rasanya masih terlihat gelap dalam gudang tua. Aura mengintimidasi menyelimuti ruang itu. Setiap orang yang ada disana tertunduk tak berani menatap Dani.
" Aku dengar, transaksi kita gagal lagi?." kata Dani dengan nada penuh amarah.
Mereka semua semakin menundukkan kepala karena ketakutan dengan ketua mereka yang tengah marah. Wanita yang juga salah satu anggota mafia dibaris belakang terlihat mengawasi gerak-gerik Dani.
" Kalian ingin mati ditanganku? " Dani bertanya."...perusahaan Moon telah gugur, boss besar sudah tidak ada gara-gara para aparat, sialan itu!".
" Satu-satunya cara agar kita tidak mengalami kebangkrutan adalah menjual sabu! "
Dani menghela napas. " Kita tidak tahu keberadaan tuan Adrian. Jadi, sementara ini aku yang bertanggung jawab!"
Pistol magnum berada di tangan. " Jika sampai tuan Adrian tahu masalah ini, aku yakin kalian semua akan dibantai. " kata Dani.
Rasa takut menguasi mereka. Membayangkan jika Adrian tiba-tiba saja muncul dan menghabisi mereka. Mereka lebih memilih untuk di pukul oleh beribu-ribu aparat dari pada disiksa oleh Adrian.
Dani mendesis. '' Salah satu dari anggota ku pasti seorang polisi yang tengah menyamar. "
Suasana yang awalanya hening menjadi ricuh saat mendengar jika polisi menyusup diantara mereka. Saling mencurigai satu sama lain.
Salah satu dari mereka menunjuk kearah belakang. Kearah seorang Wanita berpakaian rapi. " Kau, bukankah kau anggota baru?."
Semua mata tertuju kearah wanita itu.
" Kenapa kau menuduhku?. " senyuman mengejek diperlihatkannya. " Kau ingin ku bunuh disini?" tanyanya lagi.
" Tahan emosi mu, Tanya. Mereka hanya tidak tahu siapa dirimu sebenarnya." kata Daniel berusaha menenangkan rekan nya itu.
Tanya memberontak dalam pelukkan Daniel. Matanya fokus menatap lurus ke depan, ingin menghabisi pria gemuk dihadapannya itu. Pria itu bersembunyi dibelakang rekannya, ketakutan melihat Tanya yang benar-benar ingin membunuhnya.
Dani duduk nyaman di kursi kayu. Menatap penuh minat kekacauan dihadapannya saat ini. Dua pria yang berdiri disamping Dani hanya diam, tak berani mengatakan apapun. Mereka takut.
" Bisakah kalian berhenti bertengkar? " Dani bersandar dikursi dengan kening berkerut.
Mereka tidak mendengarkan perkataan Dani. Menggeram marah karena diabaikan, peluru dari pistol magnum meluncur tepat ke kepala pria gemuk yang bersembunyi itu.
Mereka semua terdiam.
" Siapa lagi yang ingin peluru bersarang di kepala? aku dengan senang hati akan menembak kepala kalian. "
Dani beranjak dari tempat duduknya. Berjalan dengan santai menuju jasad dihadapannya. Menarik kerah kemeja pria itu dan menyeretnya menuju pintu.
"Kubur dia! " perintah Dani pada penjaga diluar ruangan.
Melihat jika jasad pria itu sudah dibereskan. Dani kembali duduk dengan nyaman. "Aku akan memberi tugas penting kepada kalian semua."
***
Kring!
Kring!
Kring!
Ponsel Zea berdering. Zea segera membuka kedua matanya, terbangun dari tidur pulas. Tenaga masih belum terkumpul. Rambut panjangnya berantakkan saat ini, lingkaran hitam menghiasi kedua matanya.
Zea meraih ponselnya dengan posisi masih berbaring di atas kasur. Dengan sekuat tenaga, usaha keras, ia akhirnya bisa meraih ponsel yang tergeletak di meja samping kasur.
Matanya menyipit. Berusaha membaca tulisan di layar ponsel yang masih saja berdering keras.
Kring!
Kring!
Rasanya kantuk kembali menyerangnya. Namun ia tetap menerima panggilan tersebut.
" Halo! " suaranya masih lemah karena kantuk.
" Sudah bangun pangeran tidur? Ini aku."
Zea mendadak bangkit dari posisi tidurnya. Berjalan menuju jendela kamarnya, menyibak gorden berwarna coklat itu dengan kasar dan menatap kearah luar.
Eri sedang menatap Zea yang berada dilantai dua dengan pelototan mautnya. " Turun! bukan waktunya untuk bersantai. Kita akan pergi mendaftarkan mu ke Grand piano Competition." kata Eri.
Zea mengerjap-ngerjap kelopak matanya. "He? Sekarang pembukaan pendaftaran nya? " Zea merasa jika pendaftaran dilakukan besok, bukan hari ini.
"Makannya, aku bilang dicatat semua jadwal mu itu! Jangan terus ngandali diriku, Zea..."
"Tapi—"
" Turun atau—" Eri memegang Caca, kucing kesayangan Zea yang kini mendongak menatap Zea, "—ku jual kucing mu! " ancam Eri.
Kucing kesayangan nya, akan dijual? Dalam hati Zea merutuk ancaman Eri, kenapa ia tidak bisa melawan Eri yang seorang wanita? Oh! seketika Zea menepuk keningnya saat menyadari pikirannya.
" Kenapa aku ingin melawan pelatihku sendiri sih? "
" Siapa yang ingin kau lawan? " suara Eri dari ponsel mengejutkan Zea. Lagi-lagi Zea merutuki kebodohannya. "...cepat turun! " sekali lagi Eri menyuruh Zea untuk turun.
"Iya... ya... "
Zea memasang ekpresi wajah masamnya. Emosinya ia tahan, berusaha mengkontrol. Dari pada Eri mengamuk diluar, lebih baik ia segera turun dan menemui Eri yang tengah mengeluarkan kata-kata sucinya itu.
" Bagus, akhirnya kau turun juga. Kita akan langsung pergi." Eri menyerahkan kantong plastik berisikan kemeja putih dan celana hitam untuk Zea. " Pakai itu setelah kita sampai." tambahnya lagi.
Eri bahkan tidak perduli dengan bau badan Zea. Eri dengan agresifnya menarik Zea untuk masuk kedalam mobil yang sudah terparkir dihalaman depan rumah.
Zee baru saja keluar dari mobilnya. Ia baru saja sampai. Melihat adiknya ingin pergi, ia pun mendekati mereka berdua.
Kaca mobil diturunkan saat Zee mengetuk-ngetuk kaca jendela. " Kau mau bawa adikku kemana? "
Eri melepaskan kacamata yang dikenakannya. " Oh, Zee. Kau semakin tampan saja. Aku akan mendaftarkan adikmu ini ke Grand piano Competition. Jadi, aku pinjam adik kesayangan mu ini..."
Zee merasa dongkol dengan tingkah Eri yang seenaknya. Segera ia menjauhkan dirinya setelah mendapatkan jawaban dari Eri barusan. Maniknya tak sengaja melihat wajah kelelahan Zea, menahan rasa kantuk yang datang.
Zee mengelus surai panjang Zea. Menyadarkan kembali Zea dari rasa kantuk beratnya itu seketika. Rasa hangat menjalar saat sang kakak mengelusnya penuh kehangatan. Perlakuan Zee menyentuh hati yang paling dalam dan menghancurkan rasa kantuknya.
Eri diam, membiarkan Zee yang tengah memberikan semangat kepada Zea lewat sentuhan.
" Kak Zee harus menonton pertunjukkan Zea di Grand piano Competition." senyuman secerah mentari terlukis diwajahnya.
Zee tersenyum. " Kakak akan mendukung mu, Kakak akan melihat penampilan terbaik mu di Grand piano Competition." Zee menepuk bahu Zea. " Berjuanglah." tambahnya lagi.
" Terima Kasih, Kak Zee."
Ia mungkin tidak memiliki waktu banyak dengan kembarannya. Pekerjaan mereka lah yang membuat tak bisa menghabiskan waktu bersama sepanjang hari. Akan tetapi, mereka selalu memanfaatkan waktu yang sedikit ini. Tak perduli berada dimana, tapi Zea yakin jika suatu saat pasti akan ada waktunya mereka menghabiskan waktu bersama dengan berbagai cerita yang mungkin akan membuat Zee kelelahan mendengar ceritanya.
***
Ghibran menghempaskan tubuhnya dengan keras, ia merengut kesal dengan tumpukkan kertas diatas meja nya saat ini. Sesekali ia mengacak-acak surai hitam nya kesal. Dahinya semakin berkerut ketika notif email masuk.
" Kenapa Ghib? Gak biasanya kamu kaya gini. Tuh muka kusut amat, belum di strika ya?."
Sepertinya mulut Anang perlu di sumpal dengan kertas yang berhamburan di atas mejanya saat ini.
" Gak tahu nih, Nang. Tiba-tiba kepala ku sakit ngurusin kasus ini. " kata Ghibran.
Anang meraih kertas yang ada digengaman Ghibran. Bola matanya melirik kanan-kiri dengan cepat dengan mulut bergerak cepat. Memahami tulisan tersebut.
" Apartemen Goo? " Anang mengernyit tak karuan." Aku baru mendengar apartemen ini." tambahnya lagi.
" Ck, " Ghibran berdecak kesal.
" Malam ini kita akan mengintai apartemen itu. Warga sekitar banyak yang mengeluh mengenai apartemen goo."
" Serius? Kenapa masalah ini diserahkan ke kita? " heran Anang.
" Jangan banyak ngeluh! " sahut Ghibran kesal. Melipat kedua tangannya ke depan.
***
Zea dan Eri sudah mendapat nomor urutan untuk besok mengikuti seleksi. Mereka kini tengah duduk di depan gedung musik, lebih tepatnya di sebuah taman. Menikmati es krim di cuaca cukup panas dengan nikmat sambil berteduh di bawah pohon.
" Duh, aku jadi malas untuk bergerak." kata Eri yang sudah menghabiskan es krimnya itu. Membuang stik es krim ke sembarang tempat dan merebahkan dirinya sekedar melihat langit siang.
Zea menghela napas. Melihat kebiasaan buruk Eri yang suka membuang sampah sembarangan. Segera ia meraih stik es krim milik Eri dan memasukkan nya ke tempat sampah yang tersedia.
Eri mengernyit. " Apa gunanya tukang bersih taman kalau kau membuangnya? "
" Aku diajarkan oleh ayah dan ibuku untuk membuang sampah pada tempatnya. Gak kaya kamu yang gak diajar dengan baik. "
" Heh, mulut mu itu, ya. Pengen ku cubit biar monyong."
Zea tertawa. " Nanti wajahku gak tampan lagi dong. Bukankah wajah ku ini senjata kedua ku setelah skil bermain piano ku? " sambil menaik-turunkan alisnya.
"Ck." Eri berdecak kesal, tiba-tiba ia mengkerut. " Kau belum mandi, ya? " tanya Eri sambil menutup hidungnya.
Zea menjitak kening Eri. "Yak!! kau yang menyeretku dengan paksa. Padahal kau tahu jika aku baru saja bangun tidur!! "
Eri menepuk jidat merutuki kebodohannya barusan. Ia baru ingat kejadian tadi pagi. Dimana ia menyeret Zea paksa saat baru bangun tidur.
" Ya, maaf! "
" Maaf, maaf... Sekarang antar aku ke rumah. Mau mandi ini. " kata Zea.
"Gak bisa. Hari ini aku ada urusan sangat penting. " memasang ekpresi wajah memohon, " Naik angkot aja ya? " tambahnya lagi.
Zea mengulurkan kedua tangannya dihadapan Eri. " Uang! " kata Zea. " ...Ingat, kau langsung menyeretku." lanjutnya.
Eri mengeluarkan beberapa lembar uang kepada Zea. Menyerahkannya dengan ekpresi wajah cemberut.
" Oke deh! " kata Zea setelah merasa jika uang pemberian Eri cukup untuk membayar angkot.
" Kalau gitu aku pergi. Jaga dirimu baik-baik ya~"
" Kamu juga, hati-hati di jalan. "
Setelah Eri pergi meninggalkan Zea. Zea pun beranjak dari posisi duduk dan mulai berjalan menyusuri trotoar. Sesekali berhenti saat rasa lelah tiba-tiba saja datang tanpa diundang.
" Loh, kok jalan kaki? "
Zea menoleh. Dokter Devan tersenyum kearahnya yang tengah kelelahan.
" Ah, aku mencari angkot dan taksi, tapi tidak ada yang lewat." jawab Zea dengan wajah cemberut. " Ngomong-ngomong, dokter sendiri sedang apa di sini? " tanya Zea.
" Aku tadi menemui pasien ku, dia tinggal di sekitar sini. "
Zea menganggukan kepalanya.
" Bagaimana kalau kau ke apartemenku? Aku baru saja membeli bahan makanan. " sambil mengangkat dua kantong plastik besar berisikan minuman, sayuran, dan daging.
" Boleh. Aku juga penasaran bagaimana tempat tinggal dokter tampan seperti anda. " kata Zea.
Zea memutuskan untuk pergi berkunjung ke apartemen Devan. Membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke apartemen.
Zea menatap sekelilingnya. Merasa asing dengan tempat yang tengah dikunjunginya.
" Ayo! " ajak Devan dengan ramah.
Zea mengikuti langkah Devan yang memasuki apartemen. Tidak ada satpam yang berjaga. Bahkan ada beberapa kaca jendela yang retak. Devan menekan tombol lift saat mereka sudah masuk kedalam lift.
Mengernyit ketika bau amis memasuki indra penciumannya. " Bau darah " gumam Zea pelan.
" Dokter Devan, kenapa ada beberapa jendela yang rusak? " Zea penasaran akan jendela yang ia lihat barusan.
" Oh! anak-anak di sini suka sekali bermain bola. Mereka tak sengaja memecahkan jendela. Besok baru diperbaiki. " jawab Devan tanpa menatap Zea.
Ting!
Lift terbuka. Mereka keluar dari dalam lift dan berjalan menuju sebuah pintu berwarna coklat. Devan menekan tombol, hingga pintu terbuka dengan lebar.
Zea masuk kedalam setelah Devan mempersilahkan. Sangat rapi, semua perabotan tertata dengan sangat baik.
Duduk di sofa yang tersedia ruang tamu sambil menunggu Devan yang tengah menyiapkan minuman di dapur.
Pandangan Zea lurus ke sebuah pisau yang memiliki bercak merah dekat sebuah boneka beruang berpita merah jambu. Rasa penasaran nya lebih besar. Ia berdiri. Berjalan menuju pisau itu dan memandangnya penuh teliti.
Dari aromanya saja sudah sangat dikenalnya. Bau darah.
" Sedang apa kau di sana? " tanya Devan yang keluar dari dapur sambil membawa secangkir jus dan beberapa cemilan.
Zea menoleh kebelakang. " Boneka beruang ini sangat lucu. " kata Zea. " Apa boleh ku pegang? " tanya Zea.
" Boleh! "
Zea meraih boneka beruang tersebut dan memeluknya. Berjalan kembali kearah sofa untuk menikmati secangkir jus apel olahan Devan.
" Dokter Devan. Bolehkah aku numpang mandi disini? Soalnya aku belum mandi hingga sekarang. "
Wajah Zea memerah. Menahan malu. Apalagi ia melihat Devan yang tengah menahan tawa.
" Silahkan, akan ku ambilkan handuk baru."
" Te-terima kasih, Dokter Devan. "
Segera Zea pergi menuju kamar mandi. Membersihkan dirinya dari keringat yang sudah lengket di tubuhnya itu.
Klak!
Pintu apartemen terbuka saat Devan baru saja menyerahkan handuk kepada Zea. Ia menatap kearah Ardian yang kini penuh dengan noda darah.
" Apa ada tamu? " tanya Ardian.
" Ya, dia di kamar mandi. Lebih baik kau memakai kamar mandi satunya. " kata Devan.
Ardian segera berjalan menuju kamar mandi satunya yang terletak dekat dapur. Devan menghela napas lelah melihat jejak kaki Ardian yang ada di atas lantai. Segera ia membersihkan jejak kaki tersebut.
" Ah! segarnya..." kata Zea yang kini tengah sibuk mengkeringkan rambut panjangnya.
Devan mengembalikan pel lantai ke gudang penyimpanan. Menghampiri Zea yang selesai mandi.
" Tak terasa, sudah malam. "
Devan mengikuti arah pandangan Zea. " Ya, apa perlu ku antar sampai rumah? "
Zea menggelengkan kepalanya sebagai tanda penolakkan. " Aku bisa pulang sendiri."
Karena Zea menolak. Devan pun hanya bisa mengantar Zea hingga tepat di depan pintu apartemen.
Brak!
Suara bantingan mengejutkan mereka berdua yang tengah asik berbincang. Dengan cepat Zea mencari sumber suara itu.
" Kak Ghibran."
Ghibran keluar dari mobil jeep hitam dengan tergesa-gesa. Menarik Zea dan menyembunyikannya di belakang punggung. Devan menatap heran kearah Ghibran yang berani-beraninya menghentikan percakapan mereka berdua.
Ghibran sekilas melirik kearah apartemen yang ada di belakang Devan. Apartemen itu memiliki aura yang begitu mencengkam. Penerangan yang minim, tapi ramai penghuninya.
Terlalu aneh bagi Ghibran.
" Kak Ghibran." Zea memanggil namanya dengan keras. Segera Ghibran menoleh untuk merespon panggilan Zea.
Zea tersenyum. " Perkenalkan, dia Dokter Devan spesialis mata."
Devan tersenyum saat Ghibran lagi-lagi menatapnya dengan tatapan curiga.
" Dan ini Kak Ghibran yang ku ceritakan, Dokter Devan."
Zea tak dapat merasakan aura yang dikeluarkan oleh Ghibran saat ini. Benar-benar tidak peka akan situasi.
" Senang bisa bertemu dengan anda. " kata Devan.
Baju polisi. Penghuni apartemen menatap kearah Ghibran penuh waspada.
Anang yang berada dalam mobil jeep merutuki kebodohan Ghibran yang tidak mengenakan jaket untuk menyembunyikan seragamnya itu.
Ghibran tak membalas perkataan Devan. Dia menarik paksa Zea untuk masuk ke dalam mobil jeep. Menutup pintu dengan keras.
" Bukankah apartemen ini terlalu aneh? " kata Ghibran, menatap sinis kearah Devan yang justru tersenyum ramah kearah Ghibran.
" Kau benar. " jawab Devan.
Ghibran berdecak kesal. Segera ia masuk ke dalam dan menyuruh Anang untuk mengemudi mobil menjauhi apartemen barusan.
***
" Kak Ghibran, kenapa malah menatap aneh kearah Dokter Devan?"
Anang dan Ghibran menatap sekilas kearah Zea yang duduk di belakang.
" Hei, anak muda. Kau tidak merasa aneh dengan apartemen itu? " tanya Anang.
" Tidak " jawab Zea sambil menggelengkan kepalanya. " Penghuni apartemen itu ramah. " tambahnya lagi.
Ghibran memijat keningnya. " Jangan lagi berurusan dengan orang itu atau penghuni apartemen itu. Mereka berbahaya. "
" Apa yang tengah Kak Ghibran sembunyikan dari ku? "
Ghibran menghela napas. " Zea, dengarkan perkataan ku baik-baik. Jangan pernah menilai sesuatu hanya dari penampilan luarnya semata. Karena kau tidak akan tahu, seperti apa yang sesungguhnya ada padanya."
***
Adrian keluar dari apartemen, memakan roti isi yang baru saja dibelinya. " Jadi, polisi sudah mulai mengintai apartemen ini? " kata Adrian tepat berdiri di samping Devan.
" Apa langkah mu selanjutnya? " tanya Adrian.
Devan menatap Adrian. " Bersikaplah seperti orang biasa. Yakinkan jika apartemen ini hanyalah apartemen biasa. "