Chereads / Mengapa Kita Harus Dipertemukan? / Chapter 26 - Korban Mutilasi

Chapter 26 - Korban Mutilasi

Rara keluar dari mobil Patrolinya. Berjalan tergesa-gesa menuju rombongan warga yang menemukan jasad seseorang yang kini tak berbentuk lagi. Seluruh anggota tubuhnya terpotong dan ada beberapa yang hilang.

" Sudah ada 10 korban Mutilasi." gumam Rara.

Salah satu polisi yang ikut dengannya menuju tempat kejadian mulai memasang garis polisi. Agar para warga tidak mendekat kearah jasad tersebut.

"Sangat susah mencari bukti si pelaku karena desa ini tidak memiliki CCTV." keluh Tara.

Rara mengangguk setuju dengan perkataan pria dihadapannya itu yang memiliki nama Tara. Sangat susah mencari pelaku pembunuhan jika tidak ada satu pun bukti yang mereka dapat kan.

Bunyi sirene terdengar. Ambulans dan mobil polisi datang dan mulai mengevakuasi jasad tersebut. Para warga merekam momen tersebut untuk diabadikan. Salah satu anggota medis menyuruh mereka untuk tidak merekam proses evakuasi tersebut. Namun, mereka tidak memperdulikan perkataannya. Tetap merekam.

Rara menepuk bahunya pelan. "Mau bagaimana lagi." kata Rara saat melihat anggota medis yang memperingati para warga untuk tidak merekam itu merasa jengkel karena tidak dihiraukan.

"Lebih baik cepat-cepat mengevakuasi jasad itu agar kita segera pergi dari sini."seru Rara.

Membutuhkan waktu 30 menit bagi tim medis untuk mengevakuasi jasad tersebut. Memasukkannya kedalam kantong jenazah dan membawanya pergi dari tempat kejadian.

Rara dan Tara masih tetap berada dilokasi kejadian. Berkeliling, berharap jika ada sedikit bukti yang akan mereka dapatkan.

Sebuah tumpukkan kayu membuat Rara curiga. Apalagi bau darah begitu menyengat ditumpukkan itu. Memasang sarung tangannya dan mulai membongkar tumpukkan kayu itu dengan pelan.

Sebuah karung beras bernoda darah ditemukan oleh Rara tak jauh dari penemuan mayat. "Sepertinya pelaku membawa korban menggunakan karung beras." kata Tara menebak.

"Tetap disini. Ada yang ingin ku pastikan." kata Rara.

Rara mulai berjalan menyusuri desa. Menatap sekeliling berharap firasatnya kali tepat. Saat berada di ujung desa, tepatnya dikebun para warga. Rara dapat melihat satu CCTV yang terpasang dekat kebun.

Rara mengernyit. Ditempat sunyi seperti ini kenapa harus ada CCTV?, pikirnya.

"Ah.."

Rara menoleh kebelakang saat melihat kakek tengah duduk dipondok kecilnya. Rara dapat menebak jika kakek tersebut baru saja selesai panen singkong.

"...kemarilah nak." Kakek itu menuruh Rara untuk mendekat.

Rara menghampiri kakek tersebut. Duduk dipondok kecil itu. Kakek itu menawarkan singkong rebus kepada Rara. Rara dengan senang hati menerima singkon rebus itu dan mulai memakannya.

" Kek, ngomong-ngomong kenapa dikebun sepi seperti ini dipasang CCTV? kenapa tidak di pemukiman warga saja." tanya Rara setelah menghabiskan singkong rebus ditangannya.

Kakek itu menuangkan air hangat kegelas kaca dan menyerahkannya kepada Rara. "Kakek juga tidak tahu." dia mulai buka suara. "Dulu CCTV itu memang berada di pemukiman warga karena disini biasanya sering dijadikan balap motor liar." kata Kakek.

"Hm.. aku tahu mengenai balap liar itu."kata Rara.

"Tapi, setahun yang lalu seorang pria berbaju hitam mengenakan masker yang menutupi separuh wajahnya melepas CCTV dan memindahkannya ke kebun." kata Kakek."Saat kakek tanya. Dia menjawab jika dia disuruh untuk memindahkan CCTV tersebut." Kakek itu menghela napas. "Setelah itu, banyak sekali penemuan jasad di desa ini."

"Banyak warga yang mengeluh dan meminta untuk kembali memindahkan CCTV ke pemukiman warga." Kakek itu tertunduk lesu. "Tapi, polisi yang datang kesini bilang jika kami tidak perlu memindahkan CCTV itu karena penempatan CCTV itu sudah bagus."

Rara kaget dengan perkataan kakek dihadapannya. Apalagi dengan perkataan terakhir kakek tersebut. "Apa kakek yakin kalau dia anggota polisi?" tanya Rara penasaran.

Kakek itu menganggukan kepalanya pelan. "Seragam yang dikenakannya. Dia polisi." jawab Kakek.

Rara mengangguk kepala nya, memahami informasi yang baru saja dia dapatkan. "Kakek!" panggil Rara pelan. Sekilas mata Rara melirik kearah CCTV yang kini merekam mereka berdua. "Jika seseorang yang tidak dikenal oleh kakek bertanya mengenai saya disini... " Rara semakin memperkecil suaranya. "...bilang saja kalau aku ini cucu kakek yang tengah berkunjung."

Kakek itu menganggukan kepalanya.

"Aku tidak ingin kakek terlibat dengan kasus yang tengah ku tangani." kata Rara memberi alasannya. "Apalagi sepertinya pelaku tengah mengawasi kita melalui CCTV."

***

Rara masuk kedalam mobil patroli dimana Tara sudah menunggunya. Tara mengemudi mobil patroli menuju jalan raya. Pandangannya fokua kedepan, memperhatikan jalan.

"Tara" panggil Rara.

Tara merespon panggilan Rara dengan cara menoleh kesamping sekilas.

"Bantu aku untuk mencari orang yang mengaku sebagai anggota polisi itu..." "...perkataan kakek itu, entah mengapa selalu kepikiran."

Rara bersandar, memandang pepohonan yang tumbuh subur dipinggir jalan raya. "Firasatku mengatakan jika dia bukanlah anggota kepolisian."

***

Devan menekan bel didepannya berulang kali. Wajahnya kini penuh dengan kerutan kekesalan. Sudah hampir 1 jam ia berdiri di depan pintu sambil menekan bel berulang kali.

Cklek! Pintu terbuka dengan lebar. Memperlihatkan pria berambut gimbal yang tengah mengenakan pajamasnya. Manik hitam nya menatap malas kearah Devan.

"Kau gila?" Devan memukul kepala pria dihadapannya kesal. "Lagi-lagi kau membuang jasad korbanmu ditengah kerumunan warga?" tanya Devan.

"Ck, aku males mengkuburnya." jawabnya sambil menggaruk belakang kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal.

Devan menunjuk wajah pria itu. "Jika sampai polisi tahu seluruh apartemen ini dihuni oleh psikopat, pembunuh, dan buronan..." Devan mendekatkan wajahnya."...Pertama-tama aku akan membunuhmu." kata Devan dengan nada mengancam.

***

" Mama! " teriakkan gadis kecil berkuncir dua itu membuat Rara yang baru saja pulang menoleh menatap anaknya yang tengah berlari kesenangan kearahnya.

Rara menangkap tubuh kecil itu dengan mudah dan menggendongnya. "Um.." mencium kedua pipi anak nya. "Mana Papa?" tanya Rara.

"Sudah pulang..." Fadhli keluar dari kamar mandi dengan pakaian santai nya.

Rara mencium kening Fadhli dan juga kedua pipi Fadhli bergantian. "Bagaimana dengan pekerjaan mu, sayang?" tanya Rara yang kini berjalan menuju dapur bersama dengan Tika dalam gendongan nya.

Fadhli mengikuti Rara dari belakang. Duduk dikursi makan bersana dengan Tika yang asik memainkan boneka pororo.

"Aku tengah menangani kasus korban mutilasi." kata Rara. Tangannya sibuk menyiapkan makan malam.

Fadhli mengangguk."Pasti sangat susah menangani kasus itu. Apalagi pelakunya belum diketahui." kata Fadhli.

"Aku dengar kau besok akan melaksanakan misimu?" kata Rara sambil menaruh sayur yang ada dalam mangkuk di atas meja makan.

"Ya, mungkin aku akan jarang pulang kerumah."jawab Fadhli.

"Narkoba?" tebak Rara.

"Ya, aku akan menangkap bandar narkoba."

Tika menghentikan kegiatannya. Memandang Fadhli dengan tatapan khawatir. Walau umurnya masih 2 tahun, tapi Tika sudah mengerti tentang berbagai hal.

"Papa..." Tika merentangkan kedua tangan mungilnya. Meminta Fadhli untuk memeluknya.

"Ada apa, nak?" tanya Fadhli yang kini membawa Tika dalam pangkuannya.

Tika memeluk leher Fadhli. " Hati-hati, papa..." mendengar perkataan Tika membuat Fadhli tersenyum bahagia. Anaknya ini benar-benar mengkhawatirkan pekerjaannya sebagai polisi.

"Papa akan pulang secepatnya." kata Fadhli lalu mencium kedua pipi Tika. "Setelah itu, kita akan pergi ketaman bermain...".

Tika meloncat kegirangan dalam pangkuan Fadhli. Dia begitu senang mendengar kata 'taman bermain'.

Rara duduk disamping Fadhli. Memberi suapan sayur kepada Tika. Tika menerima suapan dari mamanya. Memakan sayur tersebut dengan lahap.

" Anak pintar! " puji Rara membuat Tika semakin kegirangan mendapat pujian.

Fadhli merangkul bahu Rara. Memperhatikan intraksi anak dan istrinya. Dia tersenyum. Tak menyangka jika ia bisa merasakan arti sebuah keluarga.