Ghibran memparkirkan motornya tepat dihalaman depan rumah Zea. Zea turun dari motor Ghibran, melepaskan helm yang ia kenakan dan menyerahkannya kepada Ghibran.
Zea berlari kecil menuju teras rumah. Mengambil payung dekat rak sepatu dan kembali berlari menuju Ghibran yang tengah menunggunya.
"Terima kasih Kak Ghibran." Senyuman secerah mentari kini diperlihatkan oleh Zea kepada Ghibran.
Ghibran menyipit. "Aku baru sadar jika kau memanggilku dengan sebutan kakak..." "...dan juga barusan kau begitu ramah kepadaku?".
"Ah! apa kita tidak bisa berteman?" Zea memasang ekpresi wajah sedih dihadapan Ghibran. "Kita memiliki kesamaan." lanjut Zea begitu pede nya. "Suka dengan piano."
"Aku tidak suka dengan piano..." jawab Ghibran dengan nada datarnya.
Zea memukul bahu Ghibran. "Dasar! gak mau jujur!" seru Zea kesal.
"Pergilah!" usir Ghibran sambil mendorong Zea menuju rumah. "Langsung tidur!" perintah Ghibran mutlak.
Zea tersenyum. " Baiklah, kak Ghibran~" jawab Zea.
Ghibran pamit dengan Zea. Mengemudi motornya keluar dari komplek perumahan yang ditempati oleh Zea. Melihat jika Ghibran sudah pergi. Zea pun masuk kedalam rumah.
Gelap. Tidak ada penerangan. Tangan Zea meraba dinding mencari saklar lampu. Menekan saklar untuk menyalakan lampu.
'Meong', Caca kucing jenis persia kesayangan Zea menyambut kedatangan Zea diatas sofa coklat itu. Mengayunkan ekor penuh dengan bulu lebat itu dengan cepat saat Zea menghampiri nya.
"Kau kesepian?" tanya Zea pada Caca yang sudah berada dipangkuannya. Menciumnya saat merasa gemas melihat tingkah Caca yang ingin bermain dengannya.
"Ah! besok aku harus memeriksa mataku." gumam Zea saat melihat kalender yang ada di dekat tv. "Apa kau mau ikut, Caca?" tanya Zea sambil mengangkat kucingnya itu keatas. 'meong!' jawab Caca.
"Sekalian kita mencari persediaan makanan mu juga..."
Zea melihat kearah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 22:00 malam. Zea menaruh kucingnya diatas sofa. Berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya dari kotoran debu yang menempel. Tak lupa Zea memakai Pratista Whitening Night Cream. Krim malam yang dibeli oleh pelatihnya untuk merawat wajahnya agar tetap terawat dengan baik.
Setelah membersihkan wajah dan memakai krim malam. Ia lalu mengganti bajunya dengan pajamas kotak-kotak warna Navy. Mengambil penutup mata bercorak panda lalu mengenakannya. "Selamat malam, Caca." kata Zea saat merasakan kehadiran Caca yang tidur diatas kasur. Segera ia mematikan lampu untuk tidur.
***
Oatmeal tersaji diatas meja makan pagi ini. Ghibran memulai sarapan paginya tanpa ditemani kedua orang tua nya. Kemarin, ayah dan ibunya pergi kerumah nenek yang berada di Palangka Raya.
Segelas susu diteguk begitu saja setelah menikmati Oatmeal. Membersihkan piring dan gelas dengan bersih dan menaruhnya kedalam lemari penyimpanan.
Sebuah berkas berisi data-data seseorang berhamburan diatas meja ruang tamu. "Ardian" seru Ghibran saat melihat foto yang kini menjadi buronan. Sudah tiga tahun, tapi mereka tidak dapat menemukan keberadaan Ardian saat ini.
Ardian benar-benar pintar mencari tempat persembunyiannya.
***
Seorang Pria berjas putih dengan kacamata yang membingkai wajahnya kini dengan teliti memeriksa pasiennya. Menyalakan senter kecil untuk memastikan penglihatan pasiennya.
Layar monitor menyala. Pasien menebak angka maupun huruf yang ada di layar. Pria itu mencatat setiap perkataan Pasien dengan teliti.
"Anda saat ini mengalami gejala Mata silinder atau Astigmatisme." seru Devan, dokter mata yang menangani pasiennya saat ini. "Kelainan refraksi akibat ketidaksempurnaan pada sistim optik mata atau kelengkungan kornea dan lensa yang menyebabkan penglihatan jauh kabur dan berbayang sedangkan penglihatan dekat masih terlihat normal." Devan mulai menjelaskan kepada pasien mengenai Silinder atau Astigmatisme.
Pasien yang merupakan seorang anak remaja itu menganggukan kepalanya, berusaha memahami penjelasan Devan dengan baik. Devan mulai mencatat untuk remaja tersebut agar mengganti lensa kacamatanya.
"Periksa 6 bulan sekali."
"Terima kasih, dok!"
Devan menganggukan kepalanya sebagai balasan ucapan terima kasih dari pasiennya. Asisten nya mulai memanggil pasien selanjutnya untuk masuk keruangannya.
"Dokter Devan! " sapaan ramah dari Zea membuat Devan berdiri dari kursi kerjanya.
Menjabat tangan Zea. "Ah! kau datang hari ini, Zea." kata Devan ramah. Mempersilahkan Zea untuk duduk agar penglihatannya segera diperiksa.
Setelah melakukan pemeriksaan kepada Zea. Dokter Devan mempersilahkan Zea untuk menunggunya selama ia tengah memeriksa pasien yang lainnya. Zea yang memang hari ini tidak ada kegiatan pun memutuskan untuk menunggu Devan.
Hampir 30 menit Zea menunggu Devan. Secangkir teh hangat tersaji dihadapannya serta semangkuk makanan kucing untuk Caca. Caca yang berada dibawah meja mulai mendekat dan memakannya dengan lahap.
"Sepertinya Caca tumbuh besar." Kata Devan yang kini sudah duduk dihadapan Zea.
Ruang istirahatnya kini ditutup dengan rapat agar tidak ada orang luar yang mengganggu percakapan mereka berdua.
Zea menatap sekeliling ruangan bercat biru langit. "Siapa dia?" tanya Zea sambil menunjuk sebuah foto dekat lemari penyimpanan dokumen.
Devan menoleh mengikuti arah pandangan Zea. "Ah, dia teman ku" kata Devan, "Namanya Adrian. Dia seorang pengusahan. Sesekali dia akan berkunjung kesini." jawab Devan memberitahukan kepada Zea mengenai orang yang ada dalam foto.
Zea mengernyit. "Dia sepertinya familiar..."gumam Zea mulai mengingat-ingat.
Devan tertawa mendengar perkataan Zea barusan. "Begitukah?" "—menurutku kau pernah melihatnya di TV" seru Devan dengan senyuman penuh misteri.
Zea tak curiga dengan senyuman yang diperlihatkan oleh Devan. Ia malah merespon perkataan Devan dengan anggukan kepalanya. "Sepertinya kau benar." kata Zea.
"Ah! aku hampir saja lupa.." kata Zea lalu membuka tas yang ia bawa dan mengeluarkan isinya.
Kotak bekal berisi kue bingka kentang dan sarimuka membuat Devan berdecak kagum. Zea menyerahkan sepotong kue bingka kentang kepada Devan. Devan dengan senang hati menerima kue tersebut dan memakannya.
"Aku ingin memberikan kue ini kepada Ka Ghibran. Jadi, aku ingin meminta pendapat mu mengenai kue buatan ku sendiri." kata Zea memberi alasannya.
Devan mengangguk paham. "Kau mau menjadikan ku kelinci percobaan mu?" seru Devan. "Sepengetahuanku kau tidak pandai masak.".
Zea cengir. "Benar sekali. Jadi kalau kau merasakan sakit perut. Beritahu aku, ya~" kata Zea.
Devan menjitak kening Zea dengan kuat membuat Zea yang mendapatkan jitakkan maut dari Devan meringis kesakitan. "Sepertinya aku tidak sakit perut." jawab Devan setelah menghabiskan kue buatan Zea.
"Benarkah? " "Berarti aku berhasil membuat kue ini dengan benar." kata Zea tak percaya.
Devan menganggukan kepalanya.
"Terima kasih, dokter Devan sudah mau menjadi kelinci percobaan ku."
"Ya. Terserah mu lah..." kata Devan dengan nada jengkelnya yang dibuat-buat.
***
Malam telah tiba. Devan menutup klinik miliknya dan berjalan menuju apartemen yang tak jauh dari klinik matanya.
Kucing liar terlihat berkelahi merebut makanan ditempat sampah. Devan menghampiri kucing tersebut, membagikan makanan kucing yang selalu ia bawa kepada dua kucing liar itu.
"Makan yang banyak!" kata Devan pada kucing liar itu dengan senyuman nya. Ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju apartemennya.
Srekk! (Suara seretan)
Devan bisa melihat tetangga apartemennya yang tengah menyeret seorang wanita yang tak sadarkan diri dengan luka disekujur tubuhnya itu menuju apartemen. "Kau mengkotori lantai." protes Devan saat melihat noda darah menghiasi lantai apartemen.
Pria itu menatap Devan sekilas. Tak perduli dengan perkataan Devan dan melanjutkan pekerjaannya. Devan berdecak kesal melihat tingkah menyebalkan pria tua berambut gimbal itu.
Tak ingin berlama-lama melihat pria itu. Devan memutuskan untuk membuka pintu apartemen nya dan masuk ke dalam. Lampu dinyalakan saat ia masuk kedalam. Memperlihatkan beberapa pisau penuh dengan noda darah berhambur diruang utama.
"Adrian. Sudah kubilang untuk tidak mengkotori ruangan ku!" protes Devan yang kini mulai membersihkan kekacauan yang ada.
Adrian yang tengah memutilasi korbannya menatap jengkel kearah Devan yang masih mengomel disana. "Bisakah kau menutup mulutmu?" seru Adrian yang kini marah."kau menghilangkan konsentrasi ku dalam menciptakan sebuah maha karya yang begitu indah ini..." lanjut Ardian.
Menaruh kepala korban mutalisi dilemari pendingin. "Apa kau mau matanya?" tanya Ardian yang kini memperlihatkan dua bola mata yanh ada dalam mangkuk kaca dekat sofa.
Devan mendekat. Menatap bola mata itu teliti. "Ya, aku mau!" jawab Devan sambil mengambil dua bola mata tersebut. "Akan ku simpan!".
Ardian menganggukan kepalanya, mengizinkan Devan untuk menyimpan bola mata tersebut.
"Ah! ngomong-ngomong..." Devan menatap Ardian yang tengah minum soda. "Berhati-hatilah, sepertinya polisi mulai bergerak menyelidiki korban mutilasi mu."kata Devan mengingatkan kepada Ardian.
Ardian melempar kaleng soda kosong tepat ke bak sampah. "Baiklah~" "—aku akan berhati-hati dengan tindakkan ku" jawab Ardian.