"Gue mau tanya." .
"Tanya aja," jawabnya dingin.
"Sebenarnya lo siapa?" tanya gue. Gue sama dia belum kenalan, bahkan dari awal gue sama dia bertemu, gue belum tahu nama dia siapa. Meski gue sudah tahu namanya kemarin, tapi gue belum tahu dari dirinya sendiri.
"Gak mungkin lo gak tahu," jawab dia sambil memberikan senyuman yang begitu dingin.
Senyuman itu tertuju pada gue, ya iyalah orang di sini Cuma ada gue. Bukan! Bukan itu yang gue maksud, dia benar-benar menatap gue lalu dia tersenyum. Senyuman yang ia keluarkan barusan begitu dingin, namun terasa begitu manis.
"Rey?" tanya gue ragu. Kenapa gue bisa tahu namanya? Waktu itu kan gue pernah tanya hal ini sama Anna dan sampai sekarang gue masih mengingat namanya.
"Reynard," sambungnya sambil kembali menatap gue dengan tatapannya yang dingin dan tak lupa dia juga tersenyum. Iya dia tersenyum, tapi senyumannya hanya sekilas. Gue rasa dia orangnya irit banget ya, karena senyum saja bisa sampai seirit itu.
"Apa tadi di jalan gue pingsan?"
"Gue pikir tadi lo mati," jawabnya dengan nada yang kembali datar. Ayolah, ucapannya kembali seperti semula.
"Dan lo pikir sekarang gue kembali hidup iya?" tanya gue yang setengah jengkel akan jawaban yang sudah ia berikan barusan.
Gue memang merasa jengkel sekarang, tapi gue juga ingin tertawa saat mendengar jawabannya. Mungkin tadi gue bakalan tertawa kalau dia tak memasang ekspresi yang begitu datar.
"Ya," singkatnya.
"Ih lo ya, ih kenapa sih lo nyebelin banget?" teriak gue. "Au!" teriak gue saat gue yang semula hendak memukulnya, namun gue terlebih dahulu merasakan sakit, mungkin gara-gara luka yang tadi.
"Rasain," ucapnya sambil tersenyum meledek.
"Ya Tuhan berikan gue kesabaran yang lebih untuk menghadapi satu makhluk ciptaan-Mu ini." Gue berucap dengan nada yang penuh keseriusan. Gue memang bisa kehilangan kesabaran saat sedang menghadapinya.
"Sabar nunggu kapan gue suka sama lo?"
Deg! Seketika pikiran gue berhenti sejenak. Kenapa ucapannya selalu membuat ambigu? "Dih, siapa juga yang pengen disukai sama lo?"
"Lo."
Deg.
Lagi-lagi pikiran gue kembali dibuat berhenti oleh jawabannya. Sungguh menyebalkan!
Kenapa kedekatan gue sama dia menimbulkan perasaan yang berlebih. Dia sampai sekarang masih bersikap dingin, tak jauh berbeda dari awal gue sama dia bertemu, tapi kenapa rasa yang gue rasakan semakin hari semakin berbeda.
Gue sudah biasa dengan kedekatan seorang cowok, tapi kenapa apa yang gue rasakan ketika saat bersama dengan dia sangat jauh berbeda dari yang gue rasakan sebelumnya?
Ketika biasanya gue merasakan kesunyian dan kehampaan, kenapa ketika dia hadir gue merasakan ada sesuatu yang berbeda? Ini pertama kalinya gue mau melanjutkan kontak dengan orang yang gak gue kenal sebelumnya.
Mungkin bukan pertama kalinya, karena gue masih melanjutkan kontak dengan Kak Dev. Tapi apa yang gue rasakan saat bersama dengannya berbeda dengan apa yang gue rasakan saat bersama dengan Kak Dev.
Kenapa di saat yang lain bersikap so peduli dan berlebihan sama gue, kenapa dia bersikap sewajarnya? Dan bahkan jauh dari dugaan gue. Jika kedekatan dia hanya sebatas suka itu tak wajar, karena gue gak merasakan sesuatu hal yang membuktikan kalau dia memang suka sama gue.
Lalu atas dasar apa dia bersikap seperti ini? Dia seolah tahu apa yang gue rasakan, bahkan gue tak pernah menceritakan keadaan gue yang sebenarnya pada siapapun. Kak Dev saja yang sudah lama bersama dengan gue belum bisa atau belum tahu tentang masalah kehidupan gue yang sebenarnya. Tapi dia?
Setelah sekian lama gue merasakan kesendirian, mungkin kini gue mulai merasakan kehadiran, namun hanya dari dia. Hanya dari dia gue merasakan kehadiran. Ketika orang tua gue saja sudah tak peduli sama gue, tapi gue merasa di pedulikan olehnya. Sungguh hati ini benar-benar tidak normal.
"Gue ada di sini, kalau mau tanya sama gue jangan sama hati." Gue terbengong heran saat dia berucap seperti itu. Sebenarnya nih orang dukun atau apa sih? Kenapa dia bisa tahu isi hati gue? Sungguh orang yang aneh.
"Dih emang apa yang harus gue tanyakan sama lo?"
"Bukannya jawabannya sudah lo ketahui, kenapa malah tanya sama gue?" balik tanya dia. Ini kali pertamanya gue dibuat bingung oleh omongan orang lain.
*****
Gue tengah berdiri di lantai Rooftop sambil menatap jalanan yang ramai dipenuhi oleh kendaraan. Gue menatap jalanan dengan pikiran yang terus melayang tak tentu arah. Tak bisa dibohongi jika hati ini merindukan kebersamaan dengan mereka, tangan ini rindu digenggam dan juga rindu menggenggam.
"Ngapain lo ke sini?" tanya gue saat dia berjalan dan mendekat kemudian ikut menatap jalanan tepat di samping gue.
"Ini tempat umum," jawab Reynard dingin. Ya, orang yang barusan menghampiri gue adalah Reynard.
"Kenapa harus di samping gue?" tanya gue dengan begitu ketus sambil menatap wajahnya yang datar. Dia tak menjawab, dia hanya mengangkat kedua bahunya acuh.
"Tempat ini luas kenapa lo milih di sini?" tanya gue lagi.
"Lo kenapa di sini?" tanya dia balik dengan nada yang teramat begitu santai.
"Ya suka-suka gue lah!" jawab gue ketus.
"Gue juga suka-suka gue," ucapnya sambil sedikit tersenyum tipis. Sumpah ya nih orang ngeselin banget. Kenapa ada orang se-dingin dan se-ngeselin dia sih?
"Lo gak risih berdiri di samping gue?" tanya gue sambil memandang sebagian wajahnya.
"Gak," jawabnya dengan begitu santai tanpa menatap gue.
"Gue boleh minta sesuatu gak?" tanya gue. Ini baru pertama kalinya gue mau ngomong akan hal ini sama orang lain.
"Gak perlu gue turutin juga kan?" jawabnya datar yang kemudian tatapannya beralih menatap gue.
"Serah!" ucap gue ketus.
"Lo mau apa?" tanya dia dingin sambil memegang tangan gue. Gue hendak pergi tadi, karena gue sudah terlalu jengkel akan sikap dia yang teramat nyebelin dan teramat dingin.
"Gue cuman mau nyuruh lo buat berpikir sebelum bertindak!" ucap gue yang membuat dia mengernyit bingung. Sudah gue kira, kalau dia gak bakalan langsung paham akan apa yang gue ucapkan barusan.
"Mending lo pikir-pikir dulu sebelum lo mau deket sama gue," ucap gue tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya dia santai tanpa merubah ekspresi dinginnya.
"Gue gak se-baik yang lo kira," jawab gue. Gue gak mau jika dia bakalan menyesal dan merasa salah langkah saat dia untuk memutuskan untuk mau dekat dan berurusan dengan gue.
"Dan lo gak seburuk yang mereka katakan," sambungnya yang kemudian merapikan sedikit rambut gue. Dia langsung berjalan pergi meninggalkan gue yang tengah berdiri di sini. Sebelum dia pergi, dia sempat tersenyum sebentar.
Ucapan dia mengandung arti yang cukup luas. Kenapa dia bisa berucap seperti itu, padahal dia tidak tahu kan bagaimana gue yang sebenarnya? Bahkan bisa saja gue lebih buruk dari yang mereka katakan, tapi kenapa dia berani berucap seperti itu?
Sudahlah Vitt, gak usah terlalu serius kalau dia gak tulus entar lo sendiri yang sakit. Gumam gue pada diri sendiri yang kemudian berjalan melangkah menjauh dari area rooftop ini.
*****
"Heh! Katanya lo cewek yang ditakuti oleh banyak siswi iya?" suara itu menghentikan langkah kaki gue. Gue tahu kalau orang itu berucap dan tertuju pada gue, karena di koridor ini tak ada siapa pun kecuali gue.
Gue hanya berbalik badan tanpa mau menjawab ucapannya barusan.