***
Makan malam yang disiapkan tak disentuh sedikit pun oleh sang suami. Zara kecewa, tapi tak tahu harus berbuat apa. Dia mengerti si suami yang dingin itu pasti lebih kecewa. Suami mana yang bisa tahan wanitanya jalan dengan pria lain, suami mana yang bisa tahan wanitanya meminta cerai terus menerus.
Zara menggenggam sendok dengan kuat. Marah pada diri sendiri karena selalu percaya omongan Aida, sepupunya.
Sebelum menikah dia sudah dihasut bahwa suaminya mempunyai wanita yang dicintai. Karena itu di malam pengantin, Zara mengatakan hal jahat pada suaminya.
'Aku tahu kau tak mencintaiku. Aku juga tak mencintaimu. Jadi pernikahan kita hanya di atas kertas saja. Jangan sentuh aku. Jangan urusi urusanku. Kita hidup masingmasing.'
Sejak itu mereka benarbenar hidup terpisah. Meski serumah tapi bagai orang asing. Zara tinggal di lantai pertama, suaminya di lantai dua. Mereka jarang berjumpa karena si suami akan berangkat sebelum Zara bangun dan pulang setelah Zara tidur.
Pernikahan mereka pun tak banyak diketahui orang. Hanya kerabat saja yang tahu. Pernikahan dilakukan secara sederhana. Sebenarnya pada awalnya Zara sukarela menikah. Karena hasutan Aida sikap Zara terhadap pernikahannya pun berubah.
Zara menghela nafas panjang setelah mengenang semua kebodohannya. Dia merapikan makanan yang tak terjamah secuil pun. Dia masukkan ke dalam kulkas. Bisa disedekahkan pada orang yang kelaparan besok. Toh tak akan basi. Daripada mubadzir.
***
Keesokan paginya, Zara bangun lebih awal dari biasa. Dia ingin menyiapkan sarapan.
Dzefa terkejut saat memasuki ruang makan. Tapi segera dia kawal emosinya agar tak terlihat. Tanpa bicara dia duduk lalu mulai makan seolah tak ada siapa pun di depannya.
"Jika kau sudah sehat kita bisa ke pengadilan untuk mengurus perceraian," ucap Dzefa tanpa memandang Zara.
'Jadi dia tahu aku sakit? Lalu kenapa tak datang menjenguk? Menyebalkan!' rungut Zara dalam hati. 'Eh wait, dia bilang cerai? Nonono!'
"Aku tak mau cerai!" teriak Zara tibatiba membuat Dzefa mendongak menatapnya.
"Meski kau mengkhianatiku tapi aku akan tetap memberikan properti untukmu. Kau tak usah khawatir."
"Tidaktidaktidak! Aku tak ingin properti. Aku hanya ingin kau saja! Suami, aku tak mau cerai!" kata Zara seperti anak kecil. Karena jarang berbicara Zara jadi canggung mau menyebut nama suaminya. Tak ada pilihan lain selain memanggilnya 'suami', setidaknya masih gampang diucapkan dan enak didengar.
"Jangan membuat lelucon pagipagi. Bukankah kau selalu ingin bercerai? Aku akan kabulkan keinginanmu!"
"Aku tak mau bercerai! Pria itu ... pria yang kau lihat bersamaku itu ... dia bukan siapasiapaku. Kami tak berada dalam hubungan cinta atau apalah. Dia hanya pria yang dikenalkan Aida padaku. Aku tak punya perasaan apaapa untuknya. Jadi jangan bercerai denganku, kumohon!"
"Apa kecelakaan kemarin membuat kepalamu terbentur keras? Kau berubah," kata Dzefa sambil mengernyit dahi. Bingung dengan sikap Zara yang tibatiba bersikeras tak mau bercerai.
"Iya aku terbentur dengan sangat keras. Karena benturan itu aku jadi waras sekarang. Suami, aku tak mau berpisah denganmu."
Dzefa berdiri dan mengambil tas, "aku sudah terlambat ke kantor. Assalaamu'alaikum!" ucapnya lalu pergi.
"Wa'alaikumussalaam!"
Zara menggembungkan pipi melihat Dzefa pergi.
"Huft bagaimana membuatnya percaya kalau aku tak mau bercerai?" kata Zara kesal.
Telepon Zara di atas meja makan berdering. Melihat nama kontak orang yang memanggil membuat Zara memutar mata.
"Jalang hipokrit ini. Apalagi yang dia mau orz!" ucap Zara geram lalu membuat deringan itu diam.
Dia tak mau menjawab tapi tak bisa menolak juga. Jadi dia cuma bisa mendiamkan deringan mengganggu itu. Fokusnya sekarang membuat Dzefa tak menceraikannya, hal lain dia akan urus belakangan.
***
Catatan sudah penuh, Zara baru saja menggali informasi dari Bi Anis tentang apa saja yang disukai Dzefa. Dua tahun bersama memang sudah terbuang percuma, Zara menyesal. Asisten rumah tangga bahkan lebih tahu tentang suaminya.
"Aku akan ke supermarket dulu!" beritahu Zara pada Bi Anis. Dia masih belum menyerah memikat Dzefa dengan masakan. Hari ini dia akan mengantar makan siang untuk suami yang hampir menceraikannya itu.
"Non baru keluar dari rumah sakit. Biar saya saja yang beli bahannya. Non istirahat di rumah. Tuan sudah pesan untuk membiarkan Non Zara istirahat," terang Bi Anis.
"Tapi aku sudah baikbaik saja."
Bi Anis menatap Zara dengan sangsi. Meski hanya koma empat hari, tetap saja tak mungkin bisa pulih dengan cepat. Zara baru keluar tiga hari dari rumah sakit. Bi Anis takut Zara mengalami masalah di luar nanti.
"Bibi tenang saja. Aku beneran baik!" Zara memegang lengan Bi Anis sambil tersenyum manis. Setelah membuat wanita itu luluh, Zara langsung pergi tanpa menunggu lama. Dia sempat menyentuh pelipisnya yang masih di perban, ada luka jahitan di sana. Tapi tak Zara pedulikan. Dia merasa baik, apalagi mengingat dia akan mengantar makanan untuk Dzefa nanti.
***
"Oh My Husband!" ucap Zara sambil mengetap bibir saat sadar kalau dia tak membawa dompet. Dia terburuburu pergi tadi. Biasanya dia suka menyimpan uang di mobil, tapi hari ini dia memakai motor karena mobilnya rusak setelah kecelakaan.
'Kalau pulang dulu bakal malu gak ya?' batin Zara. 'Kalau aku disangka maling bagaimana?'
Karena sudah mulai ketakutan, Zara mengeluarkan ponsel lalu memberanikan diri menelepon Dzefa. Dia menyesal tak menyimpan nomor ponsel Bi Anis. Kebetulan antriannya belum sampai dirinya, jadi dia bisa menelepon dulu.
"Assalaamu'alaikum, suami!" kata Zara cepat begitu panggilan terjawab.
"Wa'alaikumussalaam! Ada apa?"
"Apa aku mengganggumu?"
"Aku sedang rapat!"
"Aku ... aku ...." Zara ragu untuk meminta bantuan.
"Berubah pikiran? Mau bercerai?"
"Bukanbukanbukan! Itu anu ... hmm aku sedang di luar sekarang dan ak...."
"Kau masih terluka dan sudah keluar rumah? Tak sabar bertemu kekasihmu kah?"
"Ih bukan! Dengarkan aku dulu! Aku ke supermarket tapi lupa bawa dompet. Suami, kau bisa suruh Bi Anis datang membawa uang tidak? Atau aku minta nomor ponsel Bi Anis saja."
Lama tak ada jawaban dari seberang sana, Zara mulai gelisah.
"Supermarket mana?"
Mendengar tanggapan positif Dzefa, Zara merasa lega. Meski masih terkesan acuh tak acuh tapi itu sudah merupakan hal baik.
'Dia bertanya begitu? Apa dia akan datang sendiri?' Zara sudah tersenyum senang.
"Hey, supermarket mana?"
Asyik melamun Zara lupa menjawab Dzefa. Setelah ditanya kedua kalinya Zara baru menjawab lalu dia menutup telepon.
Menunggu Dzefa datang, Zara duduk di kursi yang berada di dalam supermarket sambil bermain game ponsel.
"Nyonya!"
Zara mendongak melihat pria di depannya. Itu Azriel, asisten Dzefa.
"Bos menyuruh saya kesini," jelasnya.
"Oh!" balas Zara sepatah.
Azriel membantu Zafa mengantri dan membayar.
"Aku bawa motor sendiri," kata Zara melihat Azriel memasukkan belanjaan ke mobil.
"Bos menyuruh saya mengantar anda pulang."
"Tapi motorku bagaimana?"
"Nanti saya suruh orang untuk mengantarkan motor Nyonya ke rumah."
"Aish buangbuang waktu dan terlalu merepotkan!"
"Itu sudah perintah Tuan!"
Zara membuka ponsel lalu mulai mengetik sesuatu. Setelah menekan tombol 'send' dia pun naik mobil dengan Azriel.
ZARA:
'Suami, aku sudah bersikap baik. Aku sudah patuh. Aku pulang dengan Azriel sesuai keinginanmu. Jadi, jangan ceraikan aku! Mumumu 😘.'
***
Bersambung.