***
Tangan sibuk membuka lembaran demi lembaran dokumen. Tapi mata tertuju pada si isteri yang sedang nyenyak tidur di sofa dengan berselimutkan jas dirinya.
Selesai makan tadi, Zara meminta untuk tinggal di kantor Dzefa sampai jam pulang tiba. Tapi dia mengantuk dan akhirnya tidur.
"Boss!"
"Ssstttt!" Dzefa meletakkan telunjuk di bibir begitu Azriel masuk ke ruangan.
Azriel melihat Zara tidur dan langsung menutup mulut rapat. Dia berjalan perlahan dan meletakkan file di meja Dzefa.
"Sebentar lagi meeting dimulai!" bisik Azriel pelan, takut suaranya membangunkan Zara.
Dzefa melirik jam dan Zara bergantian. Dia khawatir membiarkan Zara sendirian. Tapi meeting juga tak bisa ditinggalkan.
"Ayo pergi!" Dzefa berdiri dan segera meninggalkan ruangan.
Semakin awal meetingnya dimulai, semakin cepat dia kembali.
"Jangan berisik dan jangan biarkan siapapun mendekat ke ruanganku!" ucap Dzefa pada sekretaris.
Setiap meeting Dzefa selalu membawa Azriel, jadi dia tak butuh sekretaris untuk ikut.
***
Dua jam berlalu ...
"Suami!" Zara bangun. Dengan mamai dia duduk sambil melihat sekitar. Tak ada siapa pun. "Suami!" panggilnya lagi.
Jam dilirik, sudah setengah enam.
"Apa dia sudah pulang? Meninggalkanku?" duga Zara. "Kalau pun tak suka aku harusnya dia tak meninggalkanku sendirian di sini kan. Ish menyebalkan!"
Jas Dzefa dicampak ke lantai, tas dan handphone di ambil.
"Nyonya!" panggil sekretaris Dzefa.
"Kau belum pulang?" tanya Zara.
"Kalau Boss belum pulang, mana bisa saya pulang."
"Memangnya kemana sua ... maksudku Dzefa?"
"Dia di ruang rapat. Sudah dua jam tapi mereka masih belum selesai."
"Oh makasih!" Zara pun pergi mencari ruang rapat.
"Sudah jam segini mereka masih rapat? Tak masuk akal. Lagipula mana mungkin selama itu. Kalau di filmfilm bisanya rapat cuma sebentar," ucap Zara sepanjang jalan. "Dia pasti ingin menghindariku makanya rapatnya dilamain. Atau enggak rapatnya sudah selesai tapi dia sengaja tak mau menemuiku agar aku menyangka dia pulang dan aku jadi pulang sendiri."
.
.
.
Sementara itu di ruang rapat semua orang tampak lelah. Tapi mereka tak berani bersuara melihat tampang tak puas hati Boss. Banyak hal yang harus diperbaiki dan segala rencana mereka belum ada yang baik di mata Boss.
"Suami!"
Semua orang serentak mengalihkan pandang ke arah pintu.
"Erk sorry!" ucap Zara malu lalu keluar dan menutup pintu dengan cepat.
"Rapat hari ini berakhir sampai di sini. Aku beri waktu sampai besok untuk perbaikan. Besok kita adakan rapat lagi," kata Dzefa lalu keluar menyusul Zara.
Tampak kelegaan di wajah semua orang.
"Siapa itu barusan?" tanya salah seorang di antara mereka.
"Siapapun dia yang jelas dia sudah menyelamatkan kita hari ini. Kalau dia tak datang entah kapan kita bisa pulang. Kalian tahu kan selama Boss tak puas kita tak akan pernah bisa keluar dari sini."
"Hey kalian tak dengar tadi wanita itu bilang 'suami'? Janganjangan itu isteri Boss yang diributkan orangorang beberapa hari terakhir."
"Ah iya benar!"
"Dia benarbenar cantik."
"Sebaiknya kalian segera pulang dan istirahat!" sela Azriel yang dari tadi mendengarkan ucapanucapan bawahannya.
***
"Hey tunggu!"
Zara berhenti tapi menekup muka, malu.
"Aku minta maaf!" ucap Zara tanpa membuka tangannya.
Dzefa menarik tangan Zara, "kau sudah lama bangun?"
Zara menggeleng, masih menunduk.
"Kau tak marah padaku?"
"Kenapa aku harus marah?"
"Aku mengganggu rapatmu."
"Ayo kita pulang!" kata Dzefa tanpa membahas lagi masalah rapat.
Zara mengangkat wajah tak mengerti. Dia pun mengikuti Dzefa pergi.
***
"Arrrgghhhhhh!"
Begitu sampai di rumah Zara langsung berlari ke arah bungkusan paket belanjaan. Baru tadi pagi dia membeli dan sekarang sudah sampai. Benarbenar hebat.
"Ini semua yang kalian beli tadi?" tanya Dzefa.
"Iya!" jawab Zara tanpa menatap Dzefa. Asyik dengan belanjaan sendiri.
"Mandi dan sholat maghrib dulu, baru unboxing!" pesan Dzefa sebelum naik ke kamarnya.
"Ish aku tahu lah!"
.
.
.
Beres sholat maghrib, Zara tak langsung membuka belanjaan. Dia mengaji menunggu waktu isya. Baru setelah isya dia keluar kamar untuk unboxing.
Dzefa yang baru turun hanya menggelengkan kepala melihat ketidaksabaran Zara. Mau buka paket sampai lupa makan malam.
"Apa saja yang kau beli?" tanya Dzefa yang sudah duduk di samping Zara.
"Banyak hal!"
Mata Dzefa melihat ke tumpukan barang yang sudah dibuka. Dia punya perasaan tak enak setelah melihat barangbarang itu.
"Suami, lihat ini semua barang couple. Nanti kau pakai ya!" kata Zara menunjukkan sebuah baju tidur pasangan pada Dzefa.
"Kau serius aku harus memakai ini?" Dzefa menilik baju bergambar donalduck di tangannya. Apahal dia harus memakai pakaian kekanakkan seperti itu?
"Aku pakai daisy, kau pakai yang donald!" balas Zara. "Oh iya selain baju tidur aku punya hal lain."
Dzefa semakin tak enak hati.
"Peralatan mandi kita aku sudah beli yang couple. Handuk kita juga couple lho. Terus hmm sandal rumah kita aku juga beli yang couple. Luchu kan!" Zara mengacungngacungkan sandal berbulunya pada Dzefa.
"Aku lapar!" kata Dzefa lalu berdiri dan pergi ke ruang makan. Geli membayangkan diri memakai sandal seperti itu.
Dzefa makan zendiri karena Zara terlalu sibuk dengan semua barang onlinenya.
Mengingat semua barang couple yang dibeli, membuat Dzefa tersenyum sendiri. Tak pernah terbesit sedikit pun isteri yang selalu menjauh darinya tibatiba berubah sedrastis ini.
Piring baru diambil. Meski ragu, tapi Dzefa tetap membawakan makanan untuk Zara.
"Makan dulu!"
"Uhh Suami! Terimakasih!" kata Zara senang. "Tapi aku makan nanti ya. Masih ada tiga paket lagi yang belum kubuka."
"Biar kubantu!" Dzefa mengambil salah satu paket dan mulai membuka.
Matanya menyipit melihat benda di dalamnya. "Ini taplak meja?" Dzefa mengacungkan lingerie di depan Zara.
Zara membelalakan mata lalu dengan cepat mengambilnya dari Dzefa.
"Iiii ... ini dibeli Shima bukan aku."
"Tapi punyamu kan? Benda apa itu tadi?"
"Bukan apaapa!"
"Mauzara! Benda apa itu?" Dzefa purapura marah, sengaja ingin membuat Zara malu. Dia tak bodoh. Dia sebenarnya tahu apa benda satu itu.
"Ish itu lingerie lah! Shima bilang aku harus sering memakainya di depanmu dengan begitu kita tak akan pernah bisa bercerai!"
"What?"
"Suami, benarkah kalau aku pakai itu kita tak akan bercerai?" Zara memegang lengan Dzefa.
Sentuhan tangan Zara pada lengannya membuat Dzefa beku. Kenapa tubuhnya jadi panas.
"Sebaiknya kau makan dulu!"
"Uhhh baiklah!"
Zara makan sementara Dzefa merapikan paket yang sudah dibuka.
"Suami ...."
"Habiskan makanmu baru bicara!"
Zara yang hendak mengatakan sesuatu jadi manyun setelah ditegur suami.
.
.
***
Pagi hari Dzefa memperhatikan Zara yang sudah berpakain rapi.
"Kau sudah mau pergi kerja? Kau masih belum pulih, Mauzara!"
"Tidaktidaktidak!" Zara segera menyangkal, takut Dzefa marah. Semalam dengan susah payah dia meminta Dzefa tidur dengannya lagi. Dia tak mau Dzefa marah sekarang, takut nanti malam dia akan tidur sendiri. "Aku sudah mengirim email resign! Aku sudah jadi pengangguran sekarang."
"Kenapa tibatiba?" Dzefa heran. Perusahaan tempat Zara bekerja adalah milik orangtuanya, meski jadi karyawan biasa tapi Zara keukeuh bertahan di tempat itu. Ingin membuktikan pada kedua orangtua kalau dia berguna. Tapi sekarang Zara resign dari sana, Dzefa tak mengerti.
"Aku sadar sebesar apapun usahaku untuk dekat dengan mereka, aku tak akan pernah mendapatkan kasih sayang mereka. Jadi untuk apa aku bertahan di sana? Mending melakukan hal yang kusukai saja kan. Tak memaksakan melakukan sesuatu yang tak kusuka hanya untuk membuat mereka terkesan," kata Zara sedih membayangkan kedua orangtuanya. "Huft lupakan. Lagipula setelah dipikirpikir, aku kan punya suami kaya. Untuk apa aku bekerja? Mending diam di rumah, jadi ibu rumah tangga menghabiskan uang suamiku saja kan?" Zara sudah berubah ceria lagi.
"Sekarang kau mau kemana sudah rapi begini?"
"Aku mau pergi ke toko Shima. Maaf aku lupa minta izin semalam. Boleh gak aku pergi? Hanya bermain sebentar."
"Hmm! Yasudah pergilah!"
"Yeaayyy makasih suami. Shima sudah menungguku di luar. Aku pergi dulu. Assalaamu'alaikum!"
Zara mencium pipi Dzefa lalu lari keluar. "Papay!" teriaknya.
"Bocah!" gumam Dzefa lalu bersiap untuk pergi juga. Karena dicium jadi lupa balas salam. Dosa Dzefa!
***
Di tempat Shima, Zara mencoba belajar menghias cake. Ternyata sangat menyenangkan.
"Nanti siang mau ke kantor suamimu lagi?" tanya Shima.
"Nope! Kalau tiap hari aku datang mungkin dia akan bosan. Aku harus memberi ruang padanya untuk merindukanku," jawab Zara sambil terus fokus menghias.
"Hmm baiklah! Nanti kita makan siang bersama saja kalau gitu. Di restaurant depan saja ya. Aku tak bisa mengajakmu ke tempat lain sekarang. Tunggu kau pulih dulu baru kita jalanjalan."
"Okay aku mengerti!"
Zara:
'Suami, aku makan siang dengan Shima. Setelah makan siang aku langsung pulang.'
.
.
.
"Zara!"
"Aida?" Zara terkejut melihat Aida lagi. Dari semua tempat makan, kenapa Aida harus memilih tempat yang sama dengannya.
"Kemana saja kau? Sejak pulang dari rumah sakit susah sekali dihubungi. Satpam di perumahan tempat tinggalmu juga tak membiarkan aku masuk. Aku jadi tak bisa menemuimu," kata Aida kesal.
"Suamiku menyuruhku tinggal di rumah dan tak memainkan gadget terlalu lama. Maaf!" jawab Zara lalu lanjut makan siang.
"Setidaknya kau hubungi aku biar aku tak khawatir!"
Zara sudah tersenyum sinis, "maaf!" kata Zara lagi.
"Huft sudahlah lupakan. Ini semua pasti garagara suamimu kan? Dia sangat mengekangmu. Kalau saja kau tak kecelakaan pasti sekarang aku sudah bebas darinya. Pokoknya Zara, kau harus segera bercerai dengannya. Aku tak mau dia terus membuatmu hidup dalam sangkarnya."
Zara mengepalkan tangan dengan erat.
"Aku tak akan pernah bercerai dengan suamiku!" ucap Zara berusaha mengendalikan emosi.
"Tapi kenapa Zara? Kenapa berubah pikiran? Apa yang sudah dia lakukan padamu?"
"Bisa gak kau cari meja lain? Aku tak bisa makan jika ada kau!" Shima menyela.
"Memangnya kau siapa hah? Eh wait!" Aida memandang Shima dan Zara bergantian. "Zara, kenapa kau bisa bersama wanita ini?"
"Dia sahabatku kenapa aku tak boleh bersamanya?" jawab Shima.
"Sahabat? Kau itu cuma benalu di hidup Zara. Hmm aku tahu, pasti kau yang mempengaruhi Zara agar tak bercerai kan? Kau sengaja menyuruh Zara tetap bersama suaminya agar kau bisa memanfaatkan Zara untuk mendapat keuntungan dari suaminya. Iya kan?" tuduh Aida.
"Mirror please!" ucap Shima sambil membuat roll eyes.
"Zara, kalau kau tak bercerai bagaimana dengan Ari? Kau mau mepermainkannya? Dia tulus mencintaimu. Dan kau juga mencintainya kan?"
"Cukup Aida!" Zara meletakkan sendok dan menatap Aida tajam. "Aku tak pernah ada hubungan apaapa dengan pria yang kau sebutkan. Aku tak punya perasaan apaapa. Seumur hidupku aku hanya akan menikah satu kali dan tak akan pernah bercerai."
"Zara ... kau?" Aida lalu menatap Shima dengan marah, "apa yang telah kau lakukan pada Zaraku hah? Kau pasti telah meracuni otaknya kan?"
"Hey wanita ... jika kau tak pergi juga aku akan sebarkan apa yang kau lakukan di rumah sakit!" ancam Shima.
"Apa maksudmu? Memangnya apa yang kulakukan?"
"Haruskah aku mengatakannya di sini? Di depan banyak orang? Aku takut kau akan malu. Aku mana tega mempermalukanmu dan bilang bahwa kau melakukan tindak asusila di depan orang koma. Aku tak sejahat itu," ucap Shima sambil tersenyum.
Orangorang sudah menatap ke arah mereka. Karena dari awal, baik Shima atau Aida memang sengaja menaikan suara.
Aida tergamam, dia panik. Tak menyangka Shima tahu. Dia buruburu mengalihkan pandangan pada Zara.
"Zara, apa yang dikatakannya tak benar. Dia memang tak suka aku dari dulu, jadi dia memfitnahku seperti yang selalu dia lakukan. Kau harus percaya padaku!"
"Aku mempercayai apa yang kulihat!" Zara berdiri.
"Shi, ayo pulang! Aku pusing."
Shima memegang tangan Zara dan keluar restaurant meninggalkan Aida menjadi tontonan sendiri.
"Kurang ajar! Bagaimana betinabetina itu tahu yang kulakukan! Shit!" kata Aida geram.
Dia mengeluarkan telepon, "hallo ... wanita menyebalkan itu tau semuanya. Rencana kita kacau!"
***
"Ish aku tak berharap akan ketemu makhluk menjijikan itu secepat ini. Hmm aku tak bisa purapura tak tahu apaapa lagi di depannya!" Zara menggerutu sendiri di kamar setelah pulang.
"Moodku rusak karena dia. Uhh! Menyebalkan! Mau masak buat suami pun jadi malas. Takut makananku berubah jadi racun karena aku tak bisa melupakan wajah hipokrit Aida itu. Benarbenar wanita munafik!"
Zara berbaring di kasur menatap langitlangit. Mencoba mengembalikan mood yang hancur.
Lama semakin lama, bukannya mood balik dia malah ketiduran. Bangunbangun jam empat sore.
Setelah sholat ashar, dia pergi ke dapur membantu Bi Anis memasak makan malam. Tidur membuatnya sedikit melupakan rasa bencinya pada Aida.
"Baju yang kemarin Non beli sudah selesai dicuci," beritahu Bi Anis.
"Benarkah? Jadi malam ini aku bisa memakai baju tidur couple dengan suamiku. Yeaayyyy!"
Bi Anis tersenyum melihat ekspresi girang Zara.
.
.
Saat makan malam Zara sudah memakai baju yang kemarin dia beli. Tak sabar menunggu Dzefa pulang.
"Kenapa hari ini dia harus pulang telat?" Zara meletakan kepala di atas meja makan. Memandangi jam dinding yang terus bergerak.
"Non makan duluan saja!" bujuk Bi Anis.
"Aku mau nunggu dia dulu!"
"Tapi ini sudah jam sembilan malam."
"Tak masalah! Bi Anis istirahat duluan saja tak apa."
Waktu terus berjalan. Sudah jam sepuluh dan tak ada tandatanda Dzefa akan pulang. Bahkan pesanpesan yang Zara kirim pun tak ada yang dibalas satu pun.
"Ihhh Dzefa nyebelin!" marah Zara lalu pergi ke kamar tanpa makan malam. Mengunci diri di kamar.
Dia berbaring dan menutup seluruh tubuh dengan selimut.
KREKKK!
"Allahu!" Zara bangun karena terkejut mendengar suara jendela terbuka. Dia menatap jendela dan melihat sosok aneh.
"Siapa kau?" tanya Zara takut.
"Sayang, kau lupa padaku?" pria itu membuka topi menampakkan wajahnya pada Zara.
"Ari? Apa yang kau lakukan di kamarku? Bagaimana kau bisa masuk?"
"Aku merindukanmu, Zara sayang!"
"Ciihhh merindukan kepala otak kau! Cepat keluar atau aku akan teriak dan semua penjaga keamanan menangkapmu!"
"Teriak? Aku akan menyumpal mulutmu dengan bibirku terlebih dahulu kalau begitu!" Ari mendekati Zara yang sudah ketakutan.
"Arrgghhhhh!" teriak Zara sambil membaling sesuatu di dekatnya pada Ari.
"Non! Non Zara!"
Terdengar suara Bi Anis dari luar kamar.
"Bibi tolong Zara, Bi. Bi ... mmmmppppppppp!"
Ari menekup mulut Zara dengannya.
"Sayang, kenapa kau berisik sekali hurm? Apa kau tak merindukanku?" bisik Ari di telinga Zara.
Tubuh Zara ditarik dan diletakkan di pangkuan. Tangan kanan memeluk Zara, tangan kiri menekup mulutnya.
"Malam ini bagaimana kalau kita bersenangsenang. Mumpung suamimu tak ada di rumah. Kau sudah melihat apa yang kulakukan dengan Aida kan? Aku ingin mengulanginya bersamamu. Apa kau mau?"
Zara meronta tapi pelukan Ari lebih kuat. Air mata sudah keluar, jijik, tak rela dirinya disentuh oleh pria menjijikan ini.
"Kau tak usah purapura tak suka. Aku akan memberikan semua hal yang tak pernah suamimu beri. Aku yakin kau tak akan menyesal." Ari mencium rambut Zara yang wangi.
BUKKKKK!
"Bajingan!"
Tibatiba Dzefa datang memukul Ari dari belakang! Dia masuk lewat jendela juga karena pintu kamar terkunci dari dalam.
"Berani kau menyentuh istriku, sialan!" marah Dzefa sambil terus memukuli Ari yang sebenarnya hampir pingsan karena pukulan pertama tadi.
"Suami!" panggil Zara dengan suara bergetar.
Dzefa mengalihkan pandang pada Zara.
"Suami!" Zara mendekati Dzefa dan memeluknya dengan erat. "Aku takut!"
"Ssshhhh sudah tidak apaapa!"
Dengan Zara masih di pelukan, Dzefa membuka pintu kamar Zara. Membiarkan penjaga keamanan yang dipanggil oleh Bi Anis masuk menangkap Ari yang sudah terbaring tak berdaya di lantai.
"Non Zara tak apa? Ini minum dulu!" Bi Anis menyerahkan segelas air putih.
Dzefa membantu Zara untuk minum.
"Aku mau mandi!" ucap Zara setelah sedikit tenang.
Dzefa menatap mata berkaca Zara. Tibatiba teringat saat dia menemukan Zara pingsan dalam bathub. Apa Zara bermaksud berendam berjamjam lagi?
"Sudah larut, mandinya besok saja okay?" kata Dzefa lembut.
Zara menggeleng, "pria itu baru saja memelukku. Aku tak suka. Aku merasa jejaknya masih ada di tubuhku."
"Ssshhhh yang sekarang memelukmu kan aku? Kita istirahat saja okay?"
Zara menggeleng lagi.
Dzefa menggendong Zara dan membawanya naik ke kamar.
"Aku tak mau tidur di sini!"
"Kenapa?"
"Ada bekas pria lain di tubuhku. Aku tak mau masuk ke kamarmu dengan membawa bekas pria lain."
Dzefa menurunkan Zara di depan pintu kamar. Dia masuk ke kamar meninggalkan Zara sendiri.
Tak lama kemudian dia kembali, menarik Zara masuk ke kamarnya.
Setelah pintu ditutup dia membuka baju Zara dan memakaikan kemeja dirinya yang baru dia ambil pada Zara.
Yang dilakukannya sangat cepat. Bahkan Zara tak sempat bereaksi banyak.
Dzefa melempar baju Zara ke keranjang cucian, "ayo tidur!"
Tanpa sadar Zara menurut dan berbaring di ranjang Dzefa. Ini sebenernya kali pertama dia masuk ke kamar suaminya.
Saat akan membantu menyelimuti Zara, tibatiba terdengar suara perut keroncongan.
"Skip makan malam?" tanya Dzefa.
Zara mengangguk.
"Wait aku ambilkan makanan dulu!"
"Jangan pergi!" Zara menahan tangan Dzefa.
"Hanya sebentar saja. Di kamarku kau aman. Jangan khawatir. Tunggu aku!"
Dzefa ke dapur mengambil makanan.
"Non Zara sudah baikan?" tanya Bi Anis masih khawatir.
"Dia sudah okay. Hmm Bi, besok pindahkan barangbarang Zara ke kamarku!"
Setelah yang terjadi akan lebih baik kalau Zara tidur di kamar yang sama dengannya. Dan melihat reaksi Zara, tak mungkin juga anak itu mau tidur di kamar lamanya. Sudahlah, karena Zara pun bersikeras tak mau bercerai. Apa salahnya mereka mencoba hidup bersama.
***
Bersambung.