"Ya, udah nyoba menghubungi mas Vino?" Tanyaku pada Aya saat pulang sekolah.
Aya hanya menggelengkan kepala sambil menunduk.
Terkejut aku mendengarnya, iya gimana nggak, udah dua hari dan masih belum ada perkembangan. Kan rasanya sia-sia perjuanganku ikut seleksi tonti segala, cuman buat tahu lebih deket Vino.
"Kenapa?" Kupandang Aya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Belum berani gue, takut nggak di bales." Aya masih menunduk, entah apa yang ada dipikirannya.
Kuambil ponsel Aya yang sedari hanya dia pegang, namun langsung diambil Aya kembali. Terlihat matanya seolah-olah berkata nggak Ra, gue bisa sendiri.
"Ra udah jam 4, lo nggak masuk ekstra? Pertemuan pertama kan ini?" Aya mengalihkan perhatianku dan berhasil.
Kutatap jam tanganku, dan benar saja sudah jam 4. Langsung saja aku berdiri dan meninggalkan Aya tanpa sempat berpamitan, karena aku takut telat. Apalagi ini pertemuan pertama, kan kesannya gimana gitu kalau baru pertama masuk udah telat.
Ternyata di pertemuan pertama ini kami disuruh menggambar bebas dulu. Katanya sih untuk liat seberapa jauh kemampuan anggota baru.
Sudah 10 menit berlalu, dan kalian tahu yang ada di otakku saat ini hanya Vino.
Iya Vino.
Heran juga aku kenapa bisa gini, padahal nggak ada itu niat apa-apa ataupun rencana tentang dia.
'Aish. Masa iya gambar itu orang, mikir yang lain. Ayolah Dira. Pantai? Gunung? Rumah? Hutan? Bunga? Aaahhh! Tau ah gelap, tetep gambar itu aja dah.' Aku benar-benar tidak punya ide sama sekali kecuali Vino.
"Indira, maju ke depan." Suruh pak Adi guru ekstra seni rupa. Dengan gugup aku maju ke depan, karena aku yang dipanggil pertama.
"Bagus, agak sedih ya. Kenapa? Putus cinta ini jangan-jangan?" Pak Adi menggodaku.
"Bukan pak, dia anu, saya bingung dengan semuanya. Nggak enak hati aja dan ah sudah lah malah curhat kan pak." Kataku jujur, pak Adi hanya tersenyum mendengar penuturanku.
"Baiklah, tapi saya suka gambarmu ini, kamu boleh pulang sekarang." Pak Adi mengembalikan kertas A3 berisi gambaranku.
"Terima kasih pak." Langsung saja kubereskan peralatan gambar, kuambil tas dan keluar ruangan.
Betapa kagetnya aku ketika membuka pintu. Karena hujan turun cukup deras. Kulihat di hall masih ada beberapa siswa yang belum pulang. Dilihat dari pakaiannya, mereka anak tonti mesti. Kuhampiri mereka siapa tau ada yang kenal.
Sesampainya di hall, ternyata tidak ada satupun yang aku kenal. Menyesal rasanya aku jalan cepet-cepet kesini tadi. Tapi dari pada sendiri mending begini sih.
Tapi ternyata mereka mulai pulang satu persatu, entah itu dijemput atau bareng temen yang bawa mantrol atau payung. Hingga menyisakan tiga orang sekarang, aku dan dua anak tonti dipojok aula yang sedang ngobrol seru, entah apa yang mereka obrolin.
"Kok kalian belum pulang?" Tanya seseorang menanyakan pada kedua anak tonti tadi.
"Iya nggak bawa mantrol kita kak." Kata salah satu dari mereka.
"Sama berarti. Hehe. Ya udah gue kesana dulu cari hiburan."
"Hei, lo kelas berapa? Kok belum pulang?" Sambil menepuk pundakku pelan. Dengan kaget aku langsung menengok kearah orang yang menepuk pundakku.
"Anu, itu, gue nggak bawa payung. Dan gue masih kelas 10." Kataku gugup karena orang yang bertanya padaku adalah Vino.
"Oh, eh bentar, lo temennya Anton kan? Yang waktu itu di aula didaftarin tonti sama Anton." Buset masih inget aja ini orang. Udah lama itu padahal.
"Ah, ya, itu gue." Aku benar-benar sangat gugup.
"Vino." Katanya, udah tau dalam hati aku jawabnya.
"Dira." Jawabku singkat.
"Iya, udah tau. Dir lo nggak suka ikut tonti ya? Kenapa?" Skakmat dia tahu dari mana aku nggak suka tonti.
"Soalnya pas seleksi kemarin lo nggak ada niatnya sama sekali." Lega sekali aku mendengarnya, aku kira dari Anton itu.
"Iya gitu, gue nggak terlalu suka sama kegiatan yang menguras fisik." Vino hanya mengangguk mendengar ucapanku.
"Oh iya, kok mas Vino belum pulang?"
"Gue nggak bawa mantrol, tadi ngecek ke ruang tonti siapa tahu ada mantrol ternyata nggak ada. Ya udah." Jawab Vino, aku hanya menggangguk saja karena bingung mau jawab apa.
Hening cukup lama, aku hanya memandang hujan sambil sedikit tersenyum, aku juga tidak tahu kenapa bisa tersenyum. Ingin rasanya aku berlari menikmati hujan seperti biasa, tapi pasti kena omel mama.
Drrttt
Drrttt
Drrttt
Kulihat mama menelepon. Baru aja di pikirin, udah telpon aja ini. Tanpa pikir panjang langsung ku angkat.
"Ya ma, gimana?"
"Kok belum pulang?" Ku dengar nada suara mama cemas.
"Iya ini hujan, aku nggak bawa payung, bentar lagi ya ma."
"Biasanya kamu nekat." Jleb bener juga, aku hanya bisa tertawa dalam hati.
"Anu, tadi aku ekstra kan ma, kertas sama tas ku besaran kertasnya, nanti basah gimana, kan sulit bikinnya." Memang benar, apalagi yang kugambar orangnya ada di sebelah.
Eh, tanpa kusadari ternyata Vino sedari tadi masih duduk di sampingku, ku kira sudah pindah ke tempat anak tonti yang tadi.
Eh, mereka sudah tidak ada, sejak kapan? Berarti sekarang hanya tinggal aku dan Vino dong.
"Dira? Dira?"
"Ah, iya ma."
"Ngelamun mesti. Ya udah, nanti kalau terang cepet pulang. Soalnya di rumah nggak ada orang, papa sama mama lembur kerjanya."
"Iya ma."
"O ya, jangan lupa makan."
Apa nekat aja ya, udah gelap gini lagi. Udah tinggal gerimis juga, nggak bakal basah kali ya kertasnya. Saat akan berdiri, tanganku di tarik oleh Vino.
"Masih agak deres ini, itu kertasnya basah kapok lo." Vino menahanku untuk menunda pulang.
"Udah gelap gini mas, itu satpam sekolah dimana? Perasaan tadi ada." Kataku bingung saat melihat pos satpam yang kosong, padahal tadi masih ada pak satpam yang duduk di sana.
"Gue antar mau? Itu kertasnya kenapa nggak dimasukin loker aja sih? Satpamnya tadi pas lo telponan masuk ngecek masih ada yang ekstra apa enggak." Kata Vino, membuatku reflek memukul jidatku pelan, kenapa nggak kepikiran loker dari tadi. dasar bego.
"O iya, bentar gue cari kunci loker dulu." Kataku memberikan kertasku pada Vino dan menggeledah tasku.
Anjir lupa, kuncinya kan semalem aku taruh atas meja belajar.
"Gue nggak bawa. Ya udah lah, paling basah dikit."
"Kata lo sulit bikinnya, emang bikin apa?" Vino baru mau buka gulungan kertas langsung aku cegah.
"Ya udah masukin loker gue dulu, besok gue kasih ke lo. Takutnya hujannya masih lama." Vino memberi saran. Benar juga kata Vino pikirku.
Aku pun setuju dengan usul Vino itu. Kuikuti dia jalan kearah lokernya. Kaget aku saat melihat isi loker Vino yang tertata rapi, tidak seperti lokerku. Iya secara asal naruh aja penting muat.
"Gue anter pulang mau?" Tanya Vino membuyarkan lamunanku.
'Ya mau banget lah. Ah iya, tapi Aya gimana.' Pikirku
"Nggak usah mas, rumah gue deket sini kok, jalan kaki 15 menit sampai." Tolakku padahal pengen banget, kapan lagi coba pulang dianter cogan.
Pengen? Apa-apaan aku ini. Dia gebetannya Aya sahabatku sendiri. Masa iya aku mulai tertarik sama Vino. Gimana ini.
"Udah gelap gini, nggak papa gue anter aja biar lebih cepet." Kata mas Vino sembari menarik tanganku.
Deg
Deg
Apa ini? Kenapa jantung ku berdebar kencang sekali.
"Rumah lo deketnya Anton kan?"
"Ah, ya sebelah kanannya pas."
"Eh, serius?" Vino sedikit kaget. Aku hanya mengangguk pelan.
Akhirnya sampai rumah juga, membuatku merasa lega. Kulihat kearah rumah Anton dan untung saja tidak ada orangnya. Aman kalau gini, nggak bakal ada serbuan pertanyaan dari Anton.
"Makasih ya mas." Kataku setelah turun dari motor Vino.
"Bye, sampai besok ya." Vino pamit dan tersenyum lebar.
Aish, jantungku tak bisa ku kendalikan, rasanya seperti akan meledak.