"Ra! Tumben rajin? Kesambet apa?" Aya menanyaiku sesampainya aku di kelas. Belum juga taruh tas Ya.
"Nggak tau gue juga." Kataku asal padanya, membuatku mendapatkan jitakan dari Aya.
"Serius ini." Kata Aya menatapku serius sambil memegang jidatku. "Nggak panas loh padahal."
"Gue juga serius Aya, sehat ini." Kataku sambil melepaskan tangan Aya. Iya gimana ya, risih aja dilihatin teman-teman yang di dalam kelas.
"Pagi anak-anak, sebelum mulai pelajaran kumpulkan PR kalian." Untung guru biologi datang di waktu yang tepat sebelum Aya menginterogasiku lebih dalam lagi.
Cepat-cepat kukeluarkan buku PR. Kulihat Aya juga melakukan hal yang sama, membuatku menghela nafas lega. Karena Aya pasti sudah lupa dengan segala pertanyaan di kepalanya.
Astaga aku lupa hari ini olahraga. Mana materi bola voli lagi, paling nggak bisa aku main voli. Dengan malas aku mengganti seragam olahraga. Aku berharap guru olahraga tidak datang kali ini.
"Ra, ayolah semangat seminggu sekali juga." Aya menarikku, lebih tepatnya memaksa. Aku hanya bisa pasrah ditarik paksa ke lapangan.
"Lo tahu Ra, sejak ganti jadwal pelajaran kemarin, gue lihat kalau jadwal olahraga kita barengan tempat mas ganteng." Aya bercerita panjang lebar dengan semangat.
Jadi ini penyebab Aya semangat banget dari tadi pagi. Pantas saja ada yang aneh dengannya, karena biasanya dia biasa saja saat olahraga.
"Yah, mas Vino cuman duduk di samping lapangan." Kudengar suara Adel kecewa. Kuedarkan pandanganku mencari kebenaran ucapan Adel itu.
"Wah iya, masih sakit kali ya." Kata Mutia.
Deg
Langkahku terhenti mendengar ucapan Mutia. Benar saja mas Vino sekarang ada di pinggir lapangan dan tidak mengenakan seragam olahraga. Jangan-jangan gara-gara nganter aku pulang kehujanan itu. Aku jadi merasa nggak enak padanya.
"Kenapa Ra?" Aya menyenggolku pelan. Membuyarkan pikiranku.
"Ah, nggak papa, ayo." Kugelengkan kepala lalu menggandeng Aya ke tengah lapangan.
"Ra, ini pikiran gue aja atau emang bener kalau mas ganteng lagi ngeliat kearah sini?" Aya menyenggolku sambil tersenyum bahagia.
"Heh." Ternyata memang benar mas Vino sedang memandang, langsung saja kualihkan pandanganku ke Rizal yang udah siap memimpin pemanasan.
Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembilan
Ganti tangan kanan
Pemanasan diakhiri dengan lari lapangan 2 kali putaran.
"Maaf anak-anak saya tidak bisa mengajar, jadi kalian tetap bermain voli sendiri saja ya, saya harus ke dinas soalnya. Rizal tolong teman-temannya ya."
"Siap pak." Kata Rizal semangat sambil tersenyum.
Yes! Yes!
"Zal, nggak ikut ya gue, tau lah lo kalau gue paling nggak bisa voli." Kataku memohon pada Rizal dengan muka memelas.
"Emang olahraga apa yang lo bisa Ra?" Rizal bertanya dengan sedikit bercanda.
"Lari. Lari dari kenyataan." Kataku sambil nyengir lebar.
"Halah. Ya udah tapi gantinya lo lari keliling lapangan 4 kali ya."
"Buset." Kataku kaget, iya gimana nggak kaget, baru juga selesai lari keliling lapangan dua kali, sekarang ditambah empat.
"La mau voli apa lari?" Tanya Rizal pura-pura serius sambil sesekali menatapku.
"Lari lah." Kataku pasrah, ketimbang voli mending lari lah. Lari doang mah gampang, lagian lapangannya juga nggak gede-gede amat.
Baru 2 putaran rasanya capek banget, aish, mending ngerjain soal kimia dah daripada begini, pikirku sambil memperlambat lariku.
Tanpa kusadari ternyata tali sepatuku terlepas entah sejak kapan. Aya yang melihat langsung teriak memanggilku dengan panik.
"Apa?" Teriakku balik sambil menoleh kearah Aya.
BRUUKK!!
Belum sempat Aya menjawab tanpa sengaja aku menginjak tali sepatu ku sendiri, bodoh memang. Sakit sih nggak seberapa. Malunya itu lo. Ampun dah.
Kulihat Aya berlari menghampiriku.
"Nggak papa Ra?" Tanya Aya cemas sambil membantuku berdiri.
"Iya gue nggak papa, cuman agak perih ini lutut." Kataku sambil tersenyum lebar, padahal aslinya perih banget ini lutut. Cuman aku nggak mau buat Aya tambah panik aja, jadi aku pura-pura tidak sakit.
"Udah sana ke wc cuci tu tangan lo yang berdarah, sama liat kaki lo ada lecet apa nggak." Rizal tiba-tiba muncul dan menyuruhku membersihkan luka.
"Sendiri aja." Kulihat Aya udah siap mau ngikutin aku. Aya hanya mengangguk dan pergi bersama Rizal melanjutkan bermain voli.
Sekalian ganti baju aja lah pikirku.
Aku kira lututku cuman lecet dikit taunya ya lumayan lah. Hehe. Buru-buru ku cuci kakiku di kran mushola sebelum ke UKS minta plester.
"Aish, perih amat sih." Kubersihkan telapak tangan dan lututku sambil meringis pelan menahan sakit.
"Makanya lain kali ngiket talinya yang bener." Kata seseorang yang entah sejak kapan sudah ada di sampingku.
"Bawel." Kataku sebal, udah tahu lagi sakit begini masih aja diceramahin. Untung Vino yang dateng, coba yang lain udah aku usir itu orang.
haish, mikir apa sih aku ini. Sudah lupakan pikiran-pikiran tidak masuk akal ini.
"Liat kaki lo." Kata Vino, setelah aku selesai membersihkan darah yang keluar dari lutut dan telapak tanganku.
"Pelan-pelan, sakit tahu." Rintihku saat Vino menempelkan plester pada lutut kakiku. Vino hanya tersenyum sambil menatapku sekilas, membuatku heran.
Nggak salah lihat kan ini aku, kenapa dia senyum gitu ke aku. Halusinasi kali ya aku, pikirku sambil menggelengkan kepala pelan untuk mengusir pikiran aneh.
"Mana tangan lo." Kata Vino sambil menarik tanganku lalu menempelkan plester.
"Makasih ya mas, gue ke lapangan dulu." Kataku untuk menghindari Vino, takut Aya liat nanti dia mikir macem-macem lagi.
"Gambar lo bagus buat gue aja ya." Kata Vino membuatku berhenti.
Gambar? Gambar yang mana. Perasaan nggak pernah gambar deh aku.
"Gambar yang kemarin dititipin di loker gue." Seolah membaca pikiranku.
"Aaa, ya. Eh jangan. Itu nganu. Jangan pokoknya." Larangku dengan panik, ya walaupun orang di gambar itu dia, tapikan ya kali.
"Ya udahlah." Kini Vino yang pergi meninggalkan ku duluan ke lapangan. Langsung saja kususul ke lapangan, takut Aya nyariin juga sih.
"Ra, tadi gue liat lo ngobrol sama mas ganteng. Ngapain Ra?" Tanya Aya saat aku duduk di pinggir lapangan.
Mampus Aya lihat ternyata.
"Ah, itu nggak sengaja ketemu, terus dia bilang temennya Anton yang dulu itu kan. Trus kebetulan dia bawa plester gue minta dah itu plesternya. Gitu Ya." Maaf Ya aku terpaksa berbohong, aku nggak mau aja kamu berpikir yang nggak-nggak.
"Oh, o iya Ra, gue lupa cerita. Semalem gue chatting sama mas ganteng, asyik ternyata orangnya." Aya tersenyum bahagia sekali. Tetapi kenapa aku merasa sakit sekali, padahal seharusnya aku seneng dong.
"Bagus dong." Kataku sambil mencoba tersenyum lebar.
"Yuk ah kantin." Ajak Aya kemudian, aku hanya mengangguk pelan.
Semalem chat sama Aya bisa, giliran aku cuman tanya kabar nggak di bales sama sekali. Aku kira dia sakit karena nganter aku pulang. Tapi kurasa pikiranku salah. Ya udah lah penting Aya seneng aku juga seneng.