Aku akan coba menjauh darinya, siapa tahu berhasil membuatnya hilang dari pikiranku. Pikirku sambil berjalan pelan di koridor sekolah.
Tapi kenapa semua mata menatapku dengan tatapan aneh begitu. Apa ada yang aneh dari wajahku? Atau seragamku? Kayaknya tadi di rumah aku ngaca nggak ada yang aneh.
Kulihat Aya memalingkan wajahnya saat tahu aku datang. Ada apa ini sebenarnya? Apa aku berbuat salah?
Ddrrttt
From: mas Anton
Liat ke mading sekarang!
Apaan sih mas Anton, membuatku penasaran aja. Tanpa pikir panjang kulangkahkan kaki menuju mading sekolah.
"Oh, itu orangnya." Kata kakak kelas pelan tapi aku masih dapat mendengarnya.
"Nggak cantik-cantik amat. Masih cantik kan gue jauh." Pede banget, iya percaya kalau situ cantik.
Aish.
Untung masih sabar ini, kalau enggak mah udah abis di tangan ku kalian. Kupercepat langkahku karena malas dengan tatapan tidak mengenakkan itu.
Aku hanya bisa menutup mulutku sambil melihat foto-foto di mading.
"Apa-apaan ini? Hah? Diam-diam berkencan? Gila ini orang bikin gosip begini."
Karena kulihat beberapa foto diriku bersama Vino sedang berdua.
"Itu yang duduk di meja nomor dua." Seseorang dari depan pintu kelas menunjuk kearahku.
"Yang baca novel itu?" Tanya teman di sebelahnya. Temannya lalu mengangguk.
Aish.
Membuatku tidak nyaman sekali. Sampai kapan ini? Udah seminggu lebih ini, karena bosan dengan tatapan dan bisik-bisik nggak jelas, akhirnya kutinggalkan kelas. Tapi kemana? Semua mata terus menatapku.
Ah iya, rooftop.
Dengan sembunyi-sembunyi aku berjalan, kadang jalan cepat kadang jalan lambat. Mungkin orang yang lihat kelakuanku akan menganggap aku aneh. Bodo amat, nggak peduli aku.
Dan disinilah aku, entah sudah berapa lama. Kuputuskan untuk bolos kelas, entah kenapa perasaanku nggak enak.
From: Mutia
Lo ngedeketin mas Vino? Lo bilang dia gebetannya Aya. Kok malah lo tikung.
From: Aya
Tega banget lo Ra
Tahu ah, siapa juga yang ngedeketin. Nikung? Nikung dari Hongkong? Lu kira aku ini cewek apaan.
Mana Aya salah paham juga.
Tanpa kusadari air mata ku mulai menetes.
Aku harus gimana? Jam pulang sekolah masih 2 jam lagi.
Aku hanya mondar-mandir sambil sesekali duduk atau berdiri bersandar pada tembok.
Entah sejak kapan aku tertidur. Yang aku tahu hari sudah gelap saat aku bangun. Untung saja hujan turun untuk membangunkanku. Kulihat jam menunjukkan pukul 8 malam.
HEH!?
Mampus, harus cepetan pulang ini sebelum dikunci gerbangnya.
Kudengar suara beberapa siswa sedang bermain basket. Aku merasa lega, karena masih ada orang yang belum pulang.
Kumasukkan tas ku ke dalam loker dan dengan buru-buru aku langsung pulang. Tidak peduli dengan derasnya hujan. Lagipula suasananya lagi pas buat hujan-hujanan.
"Eh, dimana ponsel gue." Kataku panik sambil merogoh kantong seragamku.
Aish, ketinggalan dimana? Rooftop atau loker?
Mau balik ke sekolah udah males, apalagi seragamku udah basah begini, apa yang bakal di pikirin pak satpam nanti. Ya udah lah, aku cari besok pagi aja nggak bakal hilang juga mesti, kalau hilang ya udah pasrah.
Skip
Pagi ini mataku sulit sekali di buka. Badanku rasanya nggak nyaman. Ingin rasanya aku bolos sekolah. Tapi mengingat hari ini ulangan kimia, kuurungkan niatku bolos sekolah.
"Dira kamu nggak papa sayang? Mukamu pucat gitu, nggak usah masuk dulu aja ya." Mama terlihat panik melihatku.
"Dira nggak papa ma, cuman semalam begadang nonton film." Gila aja bolos nanti nggak bisa ikut ulangan ditambah mesri cari ponsel ku yang hilang lagi. Kalau hilang beneran kan bahaya.
"Ya udah berangkatnya bareng mama sama papa kalau gitu." Papa yang asyik baca koran tiba-tiba ngomong. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
Sesampainya di sekolah aku langsung mengambil alat tulis dari tasku yang di loker dan menaruh tasku di kelas. Mumpung masih sepi aku langsung tancap gas ke rooftop mencari hp ku. Karena di tas yang ada di loker tidak ada. Seluruh rooftop aku kelilingi tapi hasilnya nihil. Haduh dimana ponsel ku itu.
"Cari ini?" Kata seseorang tiba-tiba sambil membawa ponsel ku.
"Iya, terima kasih udah nemuin." Kataku sambil menoleh.
Mas Iqbal!
Mampus kenapa mesti dia yang nemuin sih. Saat akan kuambil, ponselku langsung dimasukkan kedalam kantong celananya.
"Ada syaratnya." Kata Iqbal sambil melipat tangannya di dada.
"A-apa?" Tanyaku gugup.
"Lo harus jadi pacar gue seminggu."
"Hah!" Gila aja mampus aja aku kalau harus berpacaran sama preman sekolah macam dia. Mau di taruh mana mukaku ini. "Apa nggak ada pilihan lain?"
"Ada, nikah sama gue." Sial malah lebih parah ini pilihannya.
"Ya udah pacaran seminggu aja, siniin ponsel gue." Dengan terpaksa aku menerima tawaran menyedihkan dari Iqbal.
"Good job girl. Ayo ke kelas udah bel." Tanpa seijinku Iqbal menggandeng tanganku.
Kucoba melepas genggaman tangannya, tapi semakin aku berusaha melepaskan tanganku semakin erat pula genggaman tangannya. Sial betul.
"Kamu sakit? Kok agak anget tanganmu." Tiba-tiba Iqbal berhenti di depan kelas XI IIS3 atau kelasnya.
"Nggak." Jawabku singkat. "Udah lepasin gue mau ke kelas."
"Ok, tapi jangan pake gue lo manggilnya."
"Iya, bawel banget." Ribet amat ini orang satu, cuman seminggu ini doang padahal.
"Ya ya ya. Iya udah sono." Iqbal mengusirku dengan mendorong punggungku pelan.
Kurenggangkan tubuhku setelah selesai mengerjakan ulangan kimia. Untungnya habis pelajaran kimia pas jam istirahat jadi bisa refresing ini.
"Lo ada apa sama kakak kelas itu?" Aya tiba-tiba mengajakku ngobrol. Udah nggak marah apa dia sama aku.
"Nggak ada apa-apa." Jawabku sambil menunduk melihat isi laci untuk menutupi kegugupanku.
"Jangan bohong, gue lihat tadi pagi lo gandengan gitu sama dia." Skakmat. Ternyata Aya lihat kejadian tadi pagi.
"Anu, lo udah nggak marah sama gue?" Kataku mengalihkan pembicaraan.
"Nggak, gue pikir-pikir setelah membaca artikel berkali-kali itu rasanya konyol aja kalau lo pacaran sama mas ganteng." Berhasil Aya melupakan dengan cepat masalah tadi pagi aku sama Iqbal.
"Sebenarnya waktu itu dia cuman mau ngasih gambar yang gue titip di lokernya itu." Penjelasanku pada Aya.
"Gimana ceritanya?" Aya mulai kepo dan mendekatkan bangkunya dengan bangkuku.
"Jadi waktu itu habis ekstra kan hujan, gue nggak bawa payung, kebetulan hujannya sampe magrib nggak reda-reda. Terus bla bla bla, gitu Ya." Ucapku panjang lebar. Aya hanya mengangguk saja.
"Eh Ra bentar, lo sakit? pucat banget muka lo Ra?" Kata Aya sambil memegang jidatku. "Anget Ra, ke UKS atau pulang aja Ra."
"Gue nggak papa Ya." Kataku sambil senyum. Tapi tetap saja Aya menyeretku ke UKS.
"Heh! Mau dibawa kemana dia?" Iqbal menghadangku dan Aya.
"UKS." Jawab Aya singkat. Lalu menarikku lagi.
"Kan bener apa kata gue tadi pagi." Iqbal kini menggandeng tanganku yang satunya. Hadeh udah kayak anak kecil aja ini.
"Jadi lo tau mas?" Kata Aya menghentikan langkahnya. Iqbal hanya mengangguk.
"Kenapa nggak dibawa ke UKS dari pagi tolol?"
"Dia nggak mau." Kata Iqbal santai.
"Ya dipaksa lah, ini gue juga paksa dia." Aya tidak habis pikir dengan jawaban Iqbal.
"Apaan sih kalian. Udah lah gue jalan duluan." Kataku sambil melepas kedua genggaman tanganku dari mereka berdua, lalu pergi meninggalkan Aya dan Iqbal yang masih cek cok nggak jelas.
"Mana Dira?" Aya menyadari kalau aku sudah nggak ada di sampingnya. Aya langsung berlari ke UKS begitu saja untuk memastikan.
"Kenapa malah ninggal sih Ra?" Aya ngomel pas masuk UKS.
"Mas Iqbal mana?" Kataku sambil tiduran.
"Entah." Kata Aya singkat. "Ngomong-ngomong kamu belum cerita soal berandalan itu ke gue loh Ra."
"Itu nganu.."
"Ini minum susu cokelatnya sama makan ini rotinya." Kata-kataku terpotong Iqbal yang entah dari mana tiba-tiba datang.
"Lo hutang cerita sama gue, gue ke kelas dulu udah bel. Ayo mas." Kata Aya sambil menarik Iqbal.
"Ayo gue antar pulang." Baru lima menit yang lalu Iqbal pergi tahu-tahu udah nongol lagi di UKS sambil membawa tasku.
"Nanti aja." Tolakku.
"Nolak gue cium." Kata Iqbal sambil menatap tajam.
"Iya iya, pulang." Gumamku, Iqbal hanya tersenyum.