Chereads / I Will Remember You / Chapter 3 - 2. CARI MASALAH

Chapter 3 - 2. CARI MASALAH

Berulangkali aku melirik arlojiku. Waktu terus berjalan, dan Della tak kunjung tiba di kelas. Apa hari ini dia nggak sekolah? Tapi kok nggak menghubungiku? Biasanya, kalau dia nggak sekolah, dia akan bilang padaku. Kalau gini, kan, aku jadi mati kutu di kelas. Gimana nggak mati kutu? Di kelas, aku hanya berteman dengan Della.

KRINGG! KRINGG!

Bel masuk telah berbunyi. Sampai saat ini, batang hidung Della tak kunjung kelihatan. Ini, sih, bisa dipastikan Della emang nggak sekolah hari ini.

Huft, aku menghela nafas kasar. Kalau Della nggak masuk, ntar aku istirahat sama siapa dong? Della segala nggak ngabarin aku kalau mau nggak masuk. Kalau tau gitu, kan, aku ikutan nggak masuk aja. Bikin surat izin sakit dengan tulisan khas orang tua sudah sering kulakukan. Nyatanya, guru di sekolahku mudah dikelabui dan percaya begitu saja kalau surat itu memang ditulis oleh orang tuaku. Bahkan, Della yang mengetahui hal ini mengatakan kalau aku akan terkena penyakit sungguhan akibat sering mengelabuhi guru.

Aku menopang wajahku di atas kedua tanganku. Sudut mataku dengan jelas menangkap bayang seseorang duduk di sebelahku. Syukurlah. Ternyata Della masuk sekolah.

"Gue pikir lo nggak tur-" kedua mataku membulat sempurna saat sadar seseorang yang duduk di sampingku bukan Della. Melainkan, "Davin?!" dadaku naik turun melihatnya sudah duduk di sampingku lengkap dengan tasnya yang ditenggerkan di kursi Della. "Lo ngapain duduk di sini?!"

Davin mengedarkan pandangannya. Entah apa yang dilakukannya saat itu. Demi Tuhan aku tidak peduli.

"Della nggak masuk?" tanya Davin padaku.

Aku menatapnya tak percaya. Sepertinya, aku tidak akan pernah percaya apapun yang keluar dari mulutnya. Dia bertanya Della masuk atau nggak padaku? Kalau Della masuk, ngapain juga dia duduk di sampingku? Dasar si biang kerok!

"Menurut lo?" sinisku.

"Ya, kayaknya nggak masuk. Buktinya kursi ini kosong dan gue gantiin posisinya Della buat duduk di samping lo."

Aku sama sekali tak percaya ini. Bagaimana bisa dia begitu yakin dengan ucapannya itu? Segitu percaya dirikah dia mengatakan itu padaku?

"Lo mending pergi deh," usirku kemudian. Raut wajahku kubuat seserius mungkin agar Davin semakin yakin kalau aku benar-benar tidak menginginkan kehadirannya di sebelahku.

"Lo sentimen banget, sih, sama gue. Emang salah gue apa coba?" pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Davin berhasil membuat emosiku tersulut. Setiap hari dia mencari masalah denganku, dan dia masih bertanya salah dia apa? Ya Tuhan, ampunilah dia!

"Sabar, Vina. Sabar..." aku mengelus dadaku saking frustasinya. "Lo pernah ngaca nggak, sih?"

"Ya pernah lah. Tapi nggak sering-sering. Nggak kuat gue. Terlalu ganteng soalnya."

Aku berusaha sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menerkamnya saat ini. Aku masih mencoba menyikapinya lembut meskipun berakhir dengan...

BRAK!

Aku yang menggebrak keras meja.

Setelah itu, aku berlalu pergi dari sana. Keluar dari kelas tanpa peduli kalau sekarang sudah masukan.

***

Di sinilah aku berada. Di rooftop sekolah, tanpa takut barangkali aku akan terciduk guru dan dikira melakukan hal-hal negatif di atas sana. Kabarnya, rooftop ini merupakan sarang bagi para penyamun sekolah untuk merokok dan bolos pelajaran.

Baiklah. Kuakui, saat ini aku sedang bolos pelajaran. Untungnya, para penyamun sekolah tidak ada di sini. Hanya ada aku seorang ditemani dengan semilir angin yang menerbangkan beberapa helai rambutku yang berantakan.

Aku memutuskan untuk memperbaikinya. Memperbaiki ikatan rambutku agar tidak terlalu berantakan seperti saat ini.

Sayangnya, saat aku sedang memperbaikinya, ikat rambutku terjatuh ke bawah. Rasanya nggak mungkin aku rela terjun demi menangkap ikat rambutku. Jadilah aku membiarkannya jatuh ke sana sekaligus membiarkan rambutku tergerai begitu saja.

Lamat-lamat, aku mencium bebauan yang sangat familiar di hidungku. Sepertinya, ini bau asap rokok. Tapi..bukannya tidak ada siapa-siapa di sini? Lantas, bau asap dari mana ini?

Aku mencoba mengedarkan pandangan sekali lagi (sudah kulakukan sebelum aku meyakinkan diri untuk bolos pelajaran dan tinggal di rooftop sementara waktu). Aku tidak menemukan siapapun. Sebelum akhirnya...

"Hei!" seseorang menepuk bahuku dari belakang. Untungnya dia menahan tubuhku agar tidak terjatuh. Aku yang super terkejut itu nyaris meloncat dari atas rooftop yang berada di lantai empat tersebut.

Aku menoleh ke belakang. Jantungku nyaris copot kalau saja orang itu bukanlah orang yang kukenali.

"Kak Sam?" aku menatap nyaris tak percaya. Apa ini benar Kak Sam? Samuel Winanta kelas dua belas yang sangat mempesona itu? Dan dia sedang..merokok?

"Kenal gue?" Kak Sam mengangkat kedua alisnya.

"Hmm," entah kenapa, mendadak aku jadi gugup mau menjawab pertanyaannya. Gimana nggak, ini baru kali pertama aku berinteraksi dengan cowok hits kelas dua belas itu. "Aku..balik ke kelas ya! Dah!"

Tanpa pikir panjang, aku kabur menghindar darinya. Inisiatifku barangkali Kak Sam akan bertanya hal yang lebih rumit lagi. Mendingan aku kabur daripada harus berhadapan dengan kakak kelas beken sepertinya. Belum lagi kami sama-sama ada di rooftop. Bisa-bisa, bakal ada rumor yang tidak-tidak tentang aku dan Kak Sam.

***

"Kemana saja kamu?" pertanyaan dari Pak Haris-guru killer di kelasku-membuatku ingin segera bermutasi ke planet mars sebelum mendapat amukan darinya.

"Dari toilet, Pak." jawabku sambil menunduk.

Keheningan kelas menambah kengerian dari apa yang sedang terjadi padaku saat ini.

"Toilet? Selama itu?" Pak Haris berkata dengan nada tak percaya.

"Maaf, Pak." ucapku kemudian.

"Pergi sana," usir Pak Haris seketika membuatku mengangguk dan hendak balik ke kursiku. Belum sempat duduk, Pak Haris menghentikanku dengan ucapannya. "Maksud saya pergi dari kelas ini. Saya tidak mau mengajar murid pembohong seperti kamu."

Aku meneguk salivaku perlahan. Lalu memundurkan langkahku dan kembali pergi keluar kelas.

Aku pun memutuskan untuk pergi ke kantin dan mengisi kekosongan perutku. Meskipun aku tidak pernah sarapan, tapi pagi ini aku merasa cukup lapar dan ingin sekali makan. Mungkin faktor sebal dengan Davin. Kata orang, kalau bad mood dibawa makan aja.

Aku memesan semangkuk bakso dan segelas es teh untuk kujadikan menu santapan saat ini. Setelah itu aku menempatkan diri di bangku kantin yang masih kosong.

Dari awal aku memang niat bolos pelajaran karena nggak mau berurusan sama makhluk semacam Davin. Jadi aku biasa-biasa saja kalaupun sekarang aku tidak ada di kelas dan ke kantin sebelum waktunya. Masa bodoh dengan orang-orang yang menatapku bingung. Bahkan, ada juga yang sinis menatapku. Mungkin karena mereka mengira aku murid nakal yang sedang mencoba membolos dengan keluyuran ke kantin.

Aku menyantap bakso dengan sedikit kesulitan. Kesulitan karena rambutku terus tergerai ke depan menyebabkan aku kesulitan menyantap bakso saat ini. Ah, lagipula ngapain coba ikat rambutku pakai jatuh segala? Menyusahkan saja!

"Nih," tiba-tiba, seseorang menyodorkan ikat rambut untukku. "Punya lo, kan?"

Aku menengok. Davin Sanjaya, si biang kerok itu membawa ikat rambutku dan memberikannya padaku.

"Kok bisa sama lo?"

"Apa, sih, yang nggak bisa gue lakuin."

Aku memutar bola mataku dengan malas. Asal tau saja, aku paling tidak suka dengan cowok banyak bicara sepertinya.

"Gue nemu di koridor. Gue liat ikat rambutnya persis sama punya lo. Yaudah gue kasih aja ke lo." Davin yang sepertinya sadar kalau aku muak mendengarnya tadi mulai menjelaskannya secara perlahan.

"Terus, lo tau dari mana kalau gue di sini?"

"Nebak aja, sih. Gue nemu ikat rambut ini di koridor dekat rooftop. Tapi pikir gue, ya..nggak mungkinlah lo bolos ke sana. Emang lo mau ngerokok apa?"

Aku terkekeh mendengarnya. Davin tidak tau saja, kalau aku ke rooftop waktu bolos pelajaran tadi.

Tunggu dulu..kok aku keliatan baik-baik saja dengan Davin? Bukannya tadi aku pergi ke rooftop karena pengin ngehindarin dia?

"Lo ngapain di sini?" tanyaku kemudian.

"Nemenin lo." jawabnya singkat.

"Disuruh keluar juga sama Pak Haris?" tudingku.

Seketika, Davin terkekeh.

"Nggaklah. Emang gue lo apa. Lagian, lo darimana, sih, tadi?"

"Darimana aja bukan urusan lo, kan?"

Davin mengembangkan senyum masam. Mungkin capek terus-terusan kuketusi.

"Makan gih baksonya. Gue di sini cuma mau nemenin lo doang. Kalau lo ngerasa gue ngeganggu, gue bakal pergi." ucap Davin membuatku sadar kalau bakso yang kupesan tak kunjung kumakan semenjak kehadirannya di sini.

"Temenin gue." kataku lalu segera melahap baksoku sampai tak bersisa.

¤¤¤