Aku sangat bersyukur karena hari ini Della masuk sekolah. Paling tidak, aku tidak perlu direpotkan bergulat dengan Davin seperti kemarin. Tapi..kayaknya Davin nggak semenyebalkan itu, deh. Kemarin aja, dia mau nemenin aku sampai jam pelajaran Pak Haris habis. Luar biasa emang.
"Maaf ya, Vin. Gue kemarin ada urusan mendadak. Buat kirim surat izin ke sekolah aja gue nggak sempet. Sekali lagi maaf ya. Gue nggak ngabarin lo kalau mau nggak turun." jelas Della seketika membuatku merasa bersalah. Kelihatannya kayak aku bakalan marah banget kalau Della nggak ngabarin aku kalau mau nggak masuk.
"Iya, Del. Santai aja kali. Lagian gue nggak papa, kok, nggak lo kabarin." dustaku padanya. Karena faktanya, aku kesal setengah mati kemarin karena Della tidak mengabariku kalau dia akan tidak masuk. Dan semua berakhir dengan aku yang harus berurusan dengan si biang kerok, Davin.
"Terus lo gimana kemarin? Duduk sendirian?" tanya Della membuatku memutar otak sejenak. Pasalnya, semenjak Davin menemaniku di kantin, aku memutuskan untuk merelakan satu hariku di sekolah duduk sebangku dengannya.
"Hmm, ya, iya? Gu-gue duduk sendirian kemarin." sahutku terbata.
Della manggut-manggut mendengarnya. Aku menghela nafas lega karena Della sama sekali tak curiga kalau aku sedang berbohong.
"BOHONG!"
Seruan itu yang membuatku segera menoleh dan menyaksikan siapa orang yang berani-beraninya mengatakan hal itu di saat aku sedang mencoba berbohong seperti sekarang.
"Kemarin dia duduk sama gue."
Aku memelototi Davin yang semakin memperjelas kebohonganku tadi. Ternyata Davin memang kurang ajar.
"Serius?! Lo duduk sama si biang kerok ini?!" cetusnya menatap Davin dan aku bergantian.
"Serius lah. Masa iya bohong." Davin tak henti-hentinya merecokiku.
"Gue nanya sama Vina bukan sama lo!" ketus Della pada Davin.
Sementara aku hanya membisu karena tak tau mau menjawab apa.
"Iya, Vin? Lo duduk sama dia?"
"Pertama dan terakhir kalinya, kok, Del. Tenang aja."
Davin mengangkat kedua alisnya memperhatikan kami. Sepertinya dia menangkap aura lain di sini.
"Tenang aja? Emang kenapa?" Davin menatapku sekilas. "Lo suka gue, Del? Makanya cemburu tau gue duduk sama Vina?" Davin ganti menatap Della.
Della berdecih sebal. Dia lalu menarikku pergi. Entah apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Tepatnya, apa yang akan aku lakukan lagi hari ini. Setelah kemarin bolos pelajaran, apa Della akan mengajakku bolos pelajaran juga?
***
Ternyata benar. Della mengajakku bolos pelajaran pagi ini. Dia menawarkan sepiring nasi goreng gratis asalkan aku mau menemaninya membolos di kantin, lagi. Ya, lagi untukku, dan pertama untuknya. Setauku, Della tidak pernah bolos pelajaran.
Aku mengikut saja. Harga sepiring nasi goreng di sekolahku telah naik menjadi Rp.15.000/porsinya. Jauh lebih baik aku membelanjakan lima belas ribuku untuk membeli kuota dan membiarkan perutku kenyang berkat traktiran dari Della.
"Biang kerok itu bener-bener ya!" pekik Della sambil memukul sendoknya di piring. Menghasilkan suara plentingan di sana.
"Lo aja baru digituin udah sekesel ini. Gimana gue, Del?" ucapku setelah mengingat bahwa aku jauh lebih sering dibuat kesal oleh Davin.
"Lagian lo," Della mulai menatapku tajam. "Ngapain coba pakai duduk sama si biang kerok segala? Udah tau tuh anak ngeselinnya tingkat dewa!" pekiknya kemudian.
Aku mengukir senyum masam saat itu. Aku sama sekali nggak berniat untuk ikut marah pada Della karena dia menyinisiku seperti sekarang. Karena aku tau benar, kalau semua ini terjadi karena ulah Davin. Davin yang memberitahukan Della di saat aku tengah berbohong seperti tadi.
Saat aku menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutku, seseorang ikut bergabung di tempat aku dan Della menyantap nasi goreng di kantin.
"Boleh gabung?" tanyanya melirikku dan Della bergantian.
Della yang semula emosi langsung senang saat melihat seseorang yang menawarkan diri untuk bergabung itu adalah Kak Sam. Aku tunduk sejenak saat ingat kemarin aku baru saja kabur dari Kak Sam saat di rooftop kemarin.
"Boleh, Kak! Bo-boleh banget!" Della tampak antusias. Dia mengisyaratkanku agar memberikan ruang untuknya.
"Gue balik aja, deh, Del." ucapku setelah menimbang-nimbang mau tetap di sana sebagai figuran atau pergi meninggalkan mereka.
"Yah..kok balik, sih?! Jangan, dong! Ini nasi goreng lo-"
Aku segera memotong pembicaraannya.
"Gue mendadak kenyang." ucapku kemudian.
Tanpa pikir panjang, aku berlalu pergi dari sana.
***
"Sumpah demi apapun, Vin! Gue seneng banget!" setidaknya, sudah lebih dari lima kali Della menyeru kegirangan di sebelahku. Sebelumnya, aku tidak pernah melihatnya berekspresi sesenang ini.
"Apaan, sih, Del? Lo dari tadi seneng banget, seneng banget, nggak jelas, deh! Kenapa, sih? Habis menang arisan?" tudingku segera.
"Arisan, ye..siapa juga yang ikut arisan! Gue tuh seneng banget karena tadi Kak Sam minta nomer hape gue, Vin!" cetusnya dengan wajah berseri-seri.
"Oh," ucapku singkat.
"Kok jutek gitu?" Della mengangkat kedua alisnya. "Lo mau save nomer hapenya juga?"
Aku menggeleng.
Suasana pun mendadak hening. Kami sedang berjalan di koridor hendak menuju parkiran. Bel pulang telah berbunyi sedari tadi. Tetapi kami baru saja berniat ke parkiran setelah tadi mampir ke toilet terlebih dahulu. Anak cewek biasa. Pantang pulang sebelum ngaca.
Tiba-tiba, aku merasakan ada sesuatu yang tengah menyolek pipiku. Aku menengok ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Lalu menengok ke kiri, tidak ada siapa-siapa juga. Lalu,
"BAAAA!!!"
Bak hantu, Davin muncul tiba-tiba di depanku dan Della yang secara spontan mengejutkan kami berdua. Kami histeris ketakutan. Tak terkecuali Della yang bahkan telah memukuli Davin habis-habisan.
Layaknya orang psikopat, Davin hanya tertawa melihat kami tersiksa seperti sekarang.
"BIANG KEROK SIALAN!" Della tak henti-hentinya merutuki Davin. Dia juga tak kunjung menghentikan pukulannya.
"Sori, sori, sori! Gue nggak sengaja," ucap Davin membuatku segera berdecih sebal.
"Ada lagi orang ngagetin nggak sengaja," celetukku.
Davin kembali tertawa.
"Lo bawa motor, kan, Del?" tanya Davin melirik Della.
"Mobil." sahut Della sambil mengerucutkan bibirnya.
"Oh, mobil. Tadi maksud gue itu. Lo bawa, kan?" Davin mengulang pertanyaannya.
"Kalo iya emang kenapa? Mau nebeng gue?" ucap Della dengan nada ketus.
"Wah, boleh banget tuh. Kebetulan hari ini gue nggak bawa motor. Motor gue masuk bengkel semalem,"
Berani taruhan, Della punya pikiran yang sama denganku. Sama-sama tidak peduli motor Davin sedang masuk bengkel atau tidak.
Della terkekeh melihat Davin. Aku bisa melihat ada aura meledek di sana.
"Oh, jadi motor lo masuk bengkel? Dan lo mau nebeng mobil gue?"
"Benar sekali!"
Demi Tuhan aku sangat jengkel melihat Davin menyahuti dengan nada layaknya bocah umur lima tahun yang baru saja dibelikan mainan oleh orang tuanya. Sangat gembira. Juga sangat menjengkelkan.
"OGAH!" ketus Della menatap Davin sinis. Della langsung menarikku.
Aku tidak mengira Davin akan melakukan hal segila itu sekarang. Dia menahan pergelangan tanganku. Jadilah kami seperti tiga orang idiot yang sedang bermain permainan yang tidak berfaedah sama sekali. Della menarik tangan kananku, sedangkan Davin menahan pergelangan tangan kiriku.
"STOP!!!" aku berteriak murka.
Della dan Davin melepaskan tangannya bersamaan. Aku nyaris terjatuh karena Davin melepaskan pergelangan tanganku dengan sangat kasar. Bayangkan sendiri sekasar apa itu sampai aku hampir saja terjatuh kalau saja aku tidak dapat menyeimbangkan tubuhku.
"Mau lo apa, sih, Dav?" ucapku menatap Davin bingung.
"Gue mau nebeng sama salah satu diantara kalian. Boleh ya?"
Aku menghembus nafas kasar. Davin benar-benar keras kepala.
"Yaudah-yaudah. Del, lo mending tebengin dia, deh. Lo tau, kan, motor gue sering mogok. Ntar nyerocos lagi nih anak kalo tiba-tiba motor gue mogok di jalan." usulku yang benar-benar sangat kuharapkan Della akan menyetujuinya.
Della terhenyak sebentar. Seperti berpikir. Mungkin menimbang-nimbang mau mengiyakan usulku atau tidak.
"Yaudah. Tapi lo harus janji, ini adalah pertama dan terakhir lo nebeng mobil gue." ucap Della menatap Davin dengan raut wajah pasrah.
Davin terlihat antusias. Lalu tak lama, wajahnya terlihat cengo.
"Tapi, mobil lo itu ada ACnya ya?" ucap Davin membuatku dan Della meliriknya bersamaan.
"Ya ada lah! Lo pikir mobil gue mobil butut apa nggak ada ACnya?!" Della lagi-lagi mengetusinya.
"Duh, gue nggak tahan AC, Del. Apalagi AC mobil. Makasih banyak ya buat tawaran lo tadi. Kayaknya gue mau nebeng Vina aja, deh. Kalo motor, kan, nggak pakai AC. Iya, kan, Vin?" Davin melirikku.
"Ribet banget, sih, lo! Gue cabut! Vin, lo urus nih si biang kerok sinting!" Della berlalu pergi setelah menekankan kata sinting sambil menatap Davin dengan tatapan yang bahkan lebih tajam dari silet sekalipun.
Aku mendadak mati kutu. Ya ampun, apa hari ini aku harus sesial ini?
"Motor lo yang mana, Vin?"
Pertanyaan itu membuatku sadar seketika. Sadar kalau aku memang harus menjalani hari sial sekarang. Aku menghela nafas kasar. Dengan sangat berat hati, aku mengantarkan Davin pulang.
¤¤¤