"Dari awal, kan, gue udah bilang kalo motor gue itu sering mogok! Jadi lo nggak usah ngeluh ke gue sekarang!" ketusku saat sadar Davin tak henti-hentinya mengeluhkan dirinya yang saat ini terpaksa membantuku mendorong motor sampai ke bengkel.
Ya, di sinilah kami. Di jalan raya yang bahkan aku tak tau ini di mana. Aku tidak tau kalau rumah Davin sangat jauh. Entah karena jalanku yang kurang jauh, atau memang rumah si kutu kupret itu jauh dari sekolah. Yang jelas, sekarang aku benar-benar sebal karena harus mendorong motor bersama dengannya.
Aku, sih, senang-senang saja sebenarnya. Toh, dengan adanya Davin yang membantu, mendorong motor matic mungilku ini jadi tidak terasa sama sekali. Tapi masalahnya, si kutu kupret ini nggak berhenti-berhenti mengeluh di sebelahku. Bukan itu aja, dia juga ngatain motorku terlalu butut sampai-sampai dia harus ikut dorong motor seperti yang kami lakukan sekarang.
Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh (tentunya sambil mendorong motor), akhirnya kami tiba di sebuah bengkel yang kurasa dapat memperbaiki motorku.
"Kenapa, Neng, motornya?" tanya abang mekanik yang wajahnya penuh dengan noda hitam-hitam.
"Mogok, Bang! Bisa baikin, kan?" ucapku memastikan. Mungkin karena kecapekan. Aku sampai menanyakan hal itu padahal sudah jelas saat ini aku sedang berhadapan dengan seorang mekanik yang kelihatannya sangat berpengalaman dalam hal memperbaiki kerusakan motor.
"Bisa dong, Neng! Neng sama pacarnya bisa duduk di sana aja dulu," ucap abang mekanik menunjuk ke arah bangku panjang yang tersedia di sana.
Awalnya, aku mau protes karena abang mekanik itu dengan tampang tak berdosanya menudingku berpacaran dengan Davin. Tapi karena Davin tanpa aba-aba menarik tanganku, aku jadi diam saja dan berusaha tidak mempedulikan tudingan abang mekanik itu.
"Maaf ya."
Dua kata itu membuatku menoleh sekilas. Davin mengucapkannya tepat setelah kami memutuskan untuk duduk di bangku yang ditunjuk abang mekanik tadi.
"Buat apa?"
"Buat semuanya. Maaf gue suka gangguin lo. Habisnya, gue nggak tau mau gangguin siapa lagi."
Semula aku kagum karena akhirnya biang kerok sepertinya mau meminta maaf padaku. Namun melihat kelanjutan ucapannya, yang bilang kalau dia nggak tau mau gangguin siapa lagi, membuatku ingin segera menendangnya ke pluto. Biar beku sekalian!
Aku hanya menanggapinya dengan wajah datar. Bukannya aku jahat tidak mau memaafkannya, tapi..ayolah! Dari ucapan maafnya saja, aku yakin itu tidak tulus dari hatinya. Paling-paling juga dia bakal berulah lagi.
"Lo hafal jalan pulangnya nggak? Balik dari sini, deh, pokoknya," ucap Davin kemudian.
Aku mengangguk. Lalu menyaksikan Davin sedang mengambil sesuatu dari saku celananya, memberikannya padaku.
"Maaf udah bikin repot. Ini biaya buat baikin motor lo," Davin menyerahkan uang berwarna ungu padaku. Aku menautkan kedua alisku heran.
"Gue pulang duluan ya. Rumah gue ada di sebrang sana," Davin menunjuk sebuah rumah yang ada di sebrang jalan. "Dah. Sampai ketemu di sekolah."
Beberapa saat kemudian, Davin pergi dari sana. Dia memasuki rumah yang baru saja ditunjuknya tadi. Aku terdiam sebentar, lalu mulai menyadari sesuatu.
Kutu kupret sialan! Jadi sebenarnya kami sudah sampai di rumahnya? Dan dia tidak bilang padaku? Seharusnya aku sadar karena sedari tadi Davin menunjukkan arah jalan yang seperti sangat dikenalinya. Dan setibanya di bengkel tadi, aku juga sadar kalau Davin tampak memperhatikan rumah di sebrangnya.
Sialan. Jadi itu rumahnya?
"Sudah, Neng!" seru abang mekanik membuyarkan lamunanku segera.
"Eh, berapa, Bang?" tanyaku kemudian.
"Businya kotor banget, Neng. Jadi saya ganti yang baru. Semuanya jadi empat puluh ribu." ucap abang mekanik yang sekali lagi membuatku sadar akan sesuatu.
Aku menatap selembar uang berwarna ungu di tanganku.
Maaf udah bikin repot. Ini biaya buat baikin motor lo
Ya, Davin bilang uang sepuluh ribu ini untuk biaya memperbaiki motorku. Untung aku belum bilang terima kasih banyak padanya. Nyatanya, aku harus nombok tiga puluh ribu dan..aku hanya bisa membayar tiga puluh ribu. Aku baru sadar kalau aku hanya sangu dua puluh ribu perharinya.
"Sepuluh ribunya utang dulu ya, Bang. Nanti saya bakal lunasin kok, Bang. Tenang aja. Itu rumah di depan rumah temen saya. Abang bisa datengin dia kalau saya belum bayar-bayar utangnya." ucapku dengan raut memelas.
Abang mekanik itu terlihat sedang menimbang sesuatu. Tapi akhirnya, ia menyetujui. Dengan raut wajah senang, aku membawa pulang motorku ke rumah.
***
Aku menatap meja makanku sambil mengecap karena kupikir perutku benar-benar lapar malam ini. Usai menguras tenaga karena mendorong motorku sampai ke bengkel (yang ternyata bersebrangan dengan rumah Davin) membuatku semakin ingin menghabiskan hidangan makan malam di meja makan ini sendirian.
Tadinya, aku sanggup saja kalau-kalau tidak mengantarkan Davin ke tempatnya yang berada di pelosok itu. Entah karena kutukan atau apa, tapi motorku ini selalu mogok tepat di depan bengkel yang ada di dekat sekolahku. Jadilah aku tidak perlu repot-repot mendorong motor seperti tadi.
"Dorong motor capek, ya?" ucap Felicya-kakakku-memasang raut wajah meledek.
"Ya capeklah, Kak. Ya kali nggak." sahutku sambil memutar bola mataku dengan malas.
Papa Mamaku yang duduk bersebrangan dengan kami di meja makan hanya terkekeh menyaksikan kami. Sudah biasa aku dan Kak Felicya bercekcok seperti sekarang. Meskipun cekcok kali ini belum terlalu parah.
"Lagian kamu aneh. Udah dikasih mobil sama Papa, malah dikasih ke aku. Mau-maunya lagi pake motor bekasku yang butut itu." ledek Kak Felicya kemudian.
"Kalo aja aku bisa naik mobil, aku juga nggak bakal mau kali nukar mobil baru dari Papa sama motor butut kakak itu," belaku lalu mengambil dua entong nasi dan beberapa lauk di piringku. "Aku makan di kamar ya, Pa, Ma." lanjutku membawa piringku ke kamar.
***
Aku meneguk segelas air putih sampai tak bersisa setelah usai menghabiskan makan malamku dengan sempurna. Ah, aku benar-benar merasa kenyang sekarang.
By the way, mungkin ini membuat sebagian orang bertanya-tanya. Kalau memang aku nggak bisa naik mobil, kenapa Papa membelikanku mobil baru? Jawabannya sangat simple. Papa nggak tau kalau aku nggak bisa naik mobil. Masih bingung? Baik, aku akan menjelaskannya lagi.
Sewaktu ulang tahunku yang ke-17 beberapa bulan yang lalu, Papa menghadiahkanku sebuah mobil yang dia bilang juga untuk Kak Felicya. Dia memintaku dan Kak Felicya untuk memakai mobil itu bersama. Tapi nyatanya, aku tidak bisa mengendarai mobil sama sekali. Kak Felicya yang sudah dari dulu meminjam mobil ayahku dan mengendarainya, jelas lebih mahir dariku. Jadilah aku memutuskan untuk menukarkan mobil itu dengan motor butut milik Kak Felicya. Sebenarnya, aku bisa berangkat sekolah dengan mobil itu. Dengan catatan Kak Felicya yang mengendarainya dan aku bersikap seolah aku adalah 'penumpang' yang sama sekali tidak punya hak untuk mengatur keadaan mobil. Daripada ngurusin hal ribet itu, lebih baik aku menukarnya dengan motor. Lagian Papa juga, nggak nanya dulu akunya bisa naik mobil atau nggak.
Maklum, Papa selalu mikir apa yang Kak Felicya bisa lakuin berarti aku juga bisa lakuin.
Tak lama, ponselku yang berada di atas meja belajar itu berdering. Sebuah panggilan dari nomor yang tak kukenal. Nomor siapa ini? Tak mau ambil pusing, aku langsung mengangkatnya.
"Halo?" ucapku mendahului.
"..."
Tidak ada sahutan dari sana. Aku hanya bisa mendengar samar-samar suara tanpa tau pasti siapa orang dibalik penelpon ini.
Ya ampun, apa-apaan coba? Nggak tau apa kalau aku ini penakut? Sudah tau malem begini malah ditelpon sama orang iseng!
"Ini siapa ya?" aku kembali berucap. Tapi nada suaraku sudah melemah karena takut kalau-kalau setelah ini terjadi hal horor mengingat penelpon ini begitu misterius.
"Abang makenik tadi,"
Aku terdiam sebentar. Ah, apa benar ini abang makenik yang kuhutangi sepuluh ribu tadi? Dapat nomorku darimana coba? Ada yang nggak beres kayaknya.
"Kapan hutangnya mau dibayar?"
Sedetik, aku berpikir sejenak.
"Gue nanya ini."
Detik kedua, aku sadar. Mana mungkin abang makenik tadi memanggil dirinya dengan sebutan 'gue'. Aku ingat betul kalau abang makenik tadi dengan formalnya menyebut dirinya sebagai 'saya'.
"Ada apa, sih, Dav?"
Ya, aku yakin seribu persen kalau ini adalah Davin. Aku bahkan tidak peduli lagi darimana Davin mendapatkan nomor hapeku.
"Yah, kok lo tau, sih, kalau ini gue? Kangen ya?"
"Receh lo! Lagian lo. Apaan coba. Seumur hidup gue, gue nggak pernah tuh, nemu abang mekanik yang ngomong nonformal kayak gitu."
"Ah, macaaa ciiih?"
Aku tidak mengada-ngada. Dia memang berkata dengan nada semenjijikkan itu.
"Kalau nggak ada yang penting gue bakal matiin. Satu, dua,"
Belum sampai tiga, telfon sudah terputus. Aku menautkan kedua alisku sambil melirik layar ponselku. Dasar Davin kurang ajar. Berani-beraninya dia matiin telfonku duluan.
Ponselku kembali berdering. Kali ini bukan karena sebuah panggilan. Melainkan sebuah pesan masuk dari nomor yang sama seperti tadi. Ya, si biang kerok itu mengirimiku sebuah pesan.
Good night, Vin.
Aku memicingkan mataku demi mendapatkan kebenaran dari apa yang sedang kulihat sekarang. Davin mengucapkan selamat malam padaku? Ah, orang ini benar-benar aneh!
***
"Lo lagi ngapain, Del?" tanyaku memperhatikan Della yang terlihat begitu serius mengerjakan sesuatu di atas mejanya.
"PR Matematika, Vin. Lo udah emangnya?" Della melirikku sekilas, lalu balik mengerjakannya lagi.
Aku menautkan kedua alisku. Berpikir sejenak. Seketika, aku menepuk jidatku perlahan. Aku sadar kalau aku belum mengerjakan apapun kemarin.
"Oh iya gue lupa!"
Aku pun segera mengambil buku Matematikaku dari dalam tas. Sialnya, aku tidak menemukannya. Berulangkali kupastikan bahwa aku telah memasukkannya, aku mulai ingat sesuatu, semalam aku ketiduran! Aku belum memasukkan buku apapun di tasku selain buku tulis kosong dan sebuah pulpen.
KRINGG! KRINGG!
Bel masuk berbunyi. Aku tak punya pilihan lain. Aku pun memutuskan untuk...
"Gue ke toilet ya, Del!" ujarku berlalu pergi.
***
Jelas aku nggak bakal cari mati. Aku nggak bawa buku pelajaran hari ini. Jadi dengan mental baja, kuputuskan untuk berlari ke atas rooftop. Untuk kesekian kalinya, aku bolos pelajaran.
Aku duduk membisu di sudut atap. Bahkan, aku nggak peduli kalaupun ada guru yang melihatku sedang bolos pelajaran seperti sekarang.
Ah, ini pasti karena kebanyakan mikirin Davin yang tiba-tiba nelfon dan kirim ucapan selamat malam melalui pesan singkatnya.
Sebenarnya, aku cukup penasaran darimana Davin mendapatkan nomor hapeku. Tapi nyatanya, aku terlalu malas untuk sekedar bertanya bagaimana dia mendapatkannya. Bodo amat, pikirku.
Lagi-lagi, aku mencium aroma familiar di sana. Dan lagi-lagi, aku terkejut saat melihat seorang cowok sedang menghisap batang rokok berdiri tegap di belakangku.
Ada baiknya aku pura-pura tidak melihatnya. Aku menghadapkan diri ke depan tanpa peduli kehadiran kakak kelas beken di sana.
Beberapa saat kemudian, aku tak lagi mencium aroma familiar itu. Yang kudapati hanyalah Kak Sam duduk di sebelahku. Dia tak lagi menghisap rokok.
"Mau?"
Aku menoleh menghadapnya. Kak Sam ini gila atau gimana, sih? Masa dia menyodorkan sebatang rokok untukku dan menawarkannya?!
"Aku nggak ngerokok, Kak." ucapku sambil mengukir senyum tipis.
Kak Sam hanya manggut-manggut menanggapi ucapanku. Lalu memasukkan sebatang rokok itu ke dalam saku celananya.
"Kelas berapa?" tanyanya memperhatikanku.
"Sebelas," sahutku singkat.
"Beda setahun aja berarti," aku tersenyum mendengarnya. "Kok di sini? Nggak ada guru emangnya?"
Aku meneguk salivaku perlahan. Mampus. Aku harus jawab apa? Masa iya aku bilang kalau aku lagi bolos pelajaran gara-gara lupa bawa buku pelajaran?
"Bosen aja di kelas,"
"Bolos pelajaran gitu maksudnya?"
Aku mengangguk polos. "Kakak juga di sini. Emangnya nggak ada guru?" tanyaku balik.
"Nggak ada," sahutnya sambil menggeleng.
Mendadak suasana jadi canggung. Aku bahkan nggak ngerti kenapa tiap aku ke rooftop selalu ketemu sama Kak Sam. Bersyukur, sih. Paling tidak, aku nggak ketemu sama Davin. Kalau Kak Sam, kan, seenggaknya masih punya tampang yang paling nggak bisa bikin bahagia.
"Temen lo nggak diajak?" Kak Sam kembali angkat bicara.
"Della?"
Kak Sam mengangguk.
"Nggak. Della itu orangnya rajin. Mana mungkin dia bolos pelajaran,"
"Kemarin? Makan nasi goreng di jam sebelum istirahat. Itu namanya apa kalau bukan bolos pelajaran?"
Skakmat.
"Itu yang pertama dan terakhir kalinya, Kak, buat Della." ucapku membenarkan.
"Kemarin gue minta nomornya Della,"
"Aku tau,"
"Terus gue minta nomor lo,"
Aku menoleh. Menatapnya tak percaya.
"Tapi bukan buat gue," Kak Sam memperjelas.
"Terus?" tanyaku dengan raut penasaran.
"Buat Davin," sahutnya.
I got this answer. Davin mendapatkan nomorku dari Kak Sam. Sudah kuduga. Mana mungkin Davin bisa menemukan nomorku dengan sendirinya? Nyatanya ucapan Davin hanya membual saja.
***
Berulangkali aku mengengkol motor matic bututku ini, tak kunjung membuatnya menyala. Sial. Motorku mogok saat aku masih berada di sekolah. Ah, kenapa juga motorku mogok saat di sekolah seperti ini? Nggak bisa apa bikin orang tenang sedikit? Biasanya juga mogok tunggu sampai bengkel. Eh, dia malah berulah sebelum waktunya.
"Mogok ya?"
Davin datang di waktu yang tidak tepat. Di saat aku sedang bad mood setengah mati seperti ini, dia datang dan membuat suasana menjadi semakin kacau.
"Menurut lo?!" ucapku ketus.
"Sini gue bantu dorong. Bengkel masih agak jauh, kan, dari sini?" tawarnya yang sama sekali tidak berniat untuk kuiyakan.
"Nggak perlu! Lo mending pulang, deh, sana! Nggak usah ngerusuh! Gue bisa, kok, dorong motor ini sendiri," aku berhenti mengengkolkan motorku dan dengan gaya sok kuatku, mendorong motor itu sendirian.
Beberapa saat, motorku oleng. Sialan. Ternyata aku nggak kuat dorong motor ini sendirian. Biasanya, kan, aku nggak pernah dorong motor sendirian. Aku sudah bilang, kan, kalau motorku ini selalu mogok tepat di depan bengkel? Jadinya, aku nggak perlu repot-repot mendorong motorku sendirian.
Jadi malu aku.
Bak superhero, Davin membantu mendirikan motorku dan mendorongnya. Dia bahkan kelihatan nggak peduli meskipun aku sudah memakinya tadi.
Ah, aku, kan, tadi menolak tawarannya karena gengsi. Namun dengan begini, bukan hanya gengsi yang kudapatkan. Melainkan rasa malu plus aku yang kelihatan seperti orang sok kuat.
♡♡♡